Demokrasi Butuh Oposisi
A
A
A
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
MAHKAMAH Konstitusi (MK) telah menjatuhkan putusan pada gugatan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Dalam putusan tersebut MK menguatkan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait rekapitulasi hasil pemilihan umum. Berdasarkan Putusan MK tersebut artinya KPU secara resmi dapat menetapkan petahana Joko Widodo untuk menjadi presiden untuk periode kedua (2019-2024).Secara konstitusional bersamaan dengan Putusan MK tersebut maka sudah tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dilakukan. Hal ini artinya kontestasi secara konstitusional sudah berakhir, apresiasi patut diberikan kepada Mahkamah Agung (MA) yang tidak menerima gugatan permohonan sengketa pelanggaran administratif pemilu presiden dan wakil presiden 2019 yang diajukan oleh BPN Prabowo-Sandi. Ketegasan MA tersebut perlu diapresiasi, sebab jika permohonan tersebut diperiksa oleh MA maka selain akan terjadi ke kekacauan tata hukum juga tidak akan terwujud kepastian hukum itu sendiri.
Beberapa partai pengusung Prabowo-Sandi, seperti Partai Amanat Nasional (PAN) menyatakan bahwa dengan putusan MK tersebut maka koalisi juga berakhir. Sesungguhnya pernyataan tersebut hanya menggambarkan dua hal yakni pertama, koalisi dalam konteks pemenangan kontestasi politik, dan kedua, dapat dimaknai sebagai upaya untuk berganti haluan politik (baca: berpindah koalisi).
Tidak dapat dipungkiri pascakemenangan petahana dikukuhkan MK daya tarik koalisi pemerintah akan meningkat. Secara pragmatis jika bergabung dengan koalisi pemerintah dimaknai sebagai “kendaraan” untuk mendapat jatah kekuasaan maka pasca putusan MK koalisi pemerintah akan “gemuk” karena mengakomodasi kepentingan baru pascaputusan MK. JR Tillersen (2016), menyatakan bahwa dalam demokrasi yang sehat tetap harus terdiri dari dua koalisi yang kuat yakni koalisi pemerintahan dan koalisi oposisi.
Dalam konteks demokrasi, peran koalisi oposisi sangat diperlukan mengingat demokrasi memerlukan fungsi check and balances yang pada esensinya justru melindungi kepentingan rakyat itu sendiri. Jika koalisi pemerintah dan koalisi oposisi sama kuatnya maka yang paling diuntungkan adalah rakyat itu sendiri. Koalisi pemerintahan yang terlalu “gemuk” justru akan mengurangi kualitas dari demokrasi di samping dalam perspektif politik praktis akan mengurangi kelincahan pemerintah karena perlu mengakomodasi banyak kepentingan.
Memaknai Kekuasaan
Memang pada hakikatnya politik merupakan kepentingan, tapi politik dalam arti luas sebagaimana diuraikan oleh Nawiasky (1964), merupakan upaya menggunakan kekuatan untuk mewujudkan kemakmuran masyarakat. Kini kondisinya jika pascakontestasi banyak parpol berduyun-duyun masuk dalam koalisi pemerintah maka sesungguhnya hal tersebut semakin menggambarkan secara empiris bahwa politik masih dimaknai sebagai sarana untuk sekadar memperoleh kekuasaan.
Jika koalisi pemerintah terlalu gemuk maka sesungguhnya rakyat akan dirugikan karena turunnya kualitas demokrasi. Mengapa demikian? Jawabannya adalah karena pemerintah tidak dapat optimal melayani kepentingan rakyat karena kelindan kepentingan politik praktis dari koalisi yang terlalu gemuk.
Para elite politik harus membudayakan etika berpolitik yang sehat sebagai pembelajaran bagi masyarakat dalam berdemokrasi. Pemahaman etika politik dalam hal ini adalah teguh pada pilihan politik dibanding memanjakan nafsu mengejar kekuasaan. Sebagaimana contohnya partai oposisi yang semula konfrontatif pascaberakhirnya kontestasi kemudian merapat pada koalisi pemerintah yang dinyatakan memenangi kontestasi.
Artinya selama ini koalisi hanya dipergunakan untuk memenangi kontestasi saja. Oleh sebab itu makna koalisi harus di-reorientasi menjadi dua kekuatan yang mampu mewujudkan check and balances dalam demokrasi. Paradigma absolutely power tend to corrupt menggambarkan bahwa dalam negara demokrasi perlu oposisi yang kuat, seperti misalnya di AS antara pemerintah dan oposisi sama kuatnya sehingga terwujud check and balances yang melindungi kepentingan rakyat itu sendiri.
Memang dalam konteks politik praktis, posisi oposisi saat ini tidak strategis seperti kondisi oposisi pada 2014. Kala itu oposisi merupakan mayoritas di DPR RI, berbeda dengan saat ini, partai koalisi pemerintah merupakan mayoritas di parlemen dengan menguasai lebih dari 60% kursi. Artinya, jika demokrasi hanya dimaknai sebatas sharing power maka peran oposisi saat ini tidaklah menarik, sebaliknya jika demokrasi dimaknai untuk mewujudkan cita-cita rakyat maka oposisi mutlak diperlukan. Idealnya antara pemerintah dan oposisi memang harus memiliki kekuatan yang sama sehingga dapat terwujud check and balances secara sempurna.
Rekonsiliasi
Banyak pihak menyerukan agar selepas Putusan MK perlu dilakukan rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo. Memang benar, bahwa saat ini harus dilakukan rekonsiliasi untuk mengembalikan masyarakat dari keterbelahan akibat konflik yang timbul dari kontestasi Pilpres 2019. Lebih lanjut mengacu pada pemahaman rekonsiliasi sebagaimana diuraikan Huntington (1995), yakni upaya memulihkan hubungan pada keadaan semula.
Benar bahwa rekonsiliasi dua tokoh tersebut dimaksudkan untuk mengakhiri konflik yang membelah masyarakat, tetapi lebih lanjut rekonsiliasi harus sampai pada titik pemulihan hubungan awal yakni pemerintah dan oposisi, mengingat selama ini situasi hubungan tersebut telah rancu karena kontestasi politik. Dalam rekonsiliasi tersebut harus ditegaskan dukungan oposisi terhadap pemerintah, dan sebaliknya dukungan pemerintah terhadap oposisi.
Dukungan oposisi dapat dimaknai sebagai bentuk partisipasi oposisi pada jalannya pemerintahan melalui fungsi pengawasan sehingga dapat tercapai fungsi check and balances yang menjadi esensi dari demokrasi itu sendiri. Sementara dukungan pemerintah terhadap oposisi ditegaskan dengan meletakkan oposisi sejajar dengan pemerintah sebagai mitra untuk mewujudkan kemakmuran rakyat.
Rekonsiliasi nasional harus menekankan bahwa bangsa Indonesia selain memerlukan pemerintah yang kuat dan sehat juga memerlukan oposisi yang baik. Dengan demikian rekonsiliasi akan bermuara pada kepentingan bangsa untuk mengakhiri kontestasi dan kembali pada hubungan awal yang sehat, yakni pemerintah dan oposisi.
Inti yang diharapkan dari pertemuan rekonsiliasi tersebut adalah Prabowo dan Jokowi saling menyatakan bahwa kontestasi telah berakhir dan saling menegaskan dukungan serta menyatakan kepada publik secara teduh tentang peran masing-masing. Dalam hal ini juga perlu ditegaskan pada masyarakat terkait relasi pemerintah dan oposisi bahwa pada hakikatnya merupakan relasi yang bersifat saling membutuhkan dan mutualisme.
Hubungan pemerintah dan oposisi pada negara demokrasi pada hakikatnya bukan saling melemahkan. Sebaliknya kualitas pemerintahan yang baik akan lahir dengan adanya oposisi yang kuat, sebaliknya oposisi yang kuat akan teruji oleh pemerintahan yang baik demikian hakikatnya check and balances dalam demokrasi yang sehat.
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
MAHKAMAH Konstitusi (MK) telah menjatuhkan putusan pada gugatan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Dalam putusan tersebut MK menguatkan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait rekapitulasi hasil pemilihan umum. Berdasarkan Putusan MK tersebut artinya KPU secara resmi dapat menetapkan petahana Joko Widodo untuk menjadi presiden untuk periode kedua (2019-2024).Secara konstitusional bersamaan dengan Putusan MK tersebut maka sudah tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dilakukan. Hal ini artinya kontestasi secara konstitusional sudah berakhir, apresiasi patut diberikan kepada Mahkamah Agung (MA) yang tidak menerima gugatan permohonan sengketa pelanggaran administratif pemilu presiden dan wakil presiden 2019 yang diajukan oleh BPN Prabowo-Sandi. Ketegasan MA tersebut perlu diapresiasi, sebab jika permohonan tersebut diperiksa oleh MA maka selain akan terjadi ke kekacauan tata hukum juga tidak akan terwujud kepastian hukum itu sendiri.
Beberapa partai pengusung Prabowo-Sandi, seperti Partai Amanat Nasional (PAN) menyatakan bahwa dengan putusan MK tersebut maka koalisi juga berakhir. Sesungguhnya pernyataan tersebut hanya menggambarkan dua hal yakni pertama, koalisi dalam konteks pemenangan kontestasi politik, dan kedua, dapat dimaknai sebagai upaya untuk berganti haluan politik (baca: berpindah koalisi).
Tidak dapat dipungkiri pascakemenangan petahana dikukuhkan MK daya tarik koalisi pemerintah akan meningkat. Secara pragmatis jika bergabung dengan koalisi pemerintah dimaknai sebagai “kendaraan” untuk mendapat jatah kekuasaan maka pasca putusan MK koalisi pemerintah akan “gemuk” karena mengakomodasi kepentingan baru pascaputusan MK. JR Tillersen (2016), menyatakan bahwa dalam demokrasi yang sehat tetap harus terdiri dari dua koalisi yang kuat yakni koalisi pemerintahan dan koalisi oposisi.
Dalam konteks demokrasi, peran koalisi oposisi sangat diperlukan mengingat demokrasi memerlukan fungsi check and balances yang pada esensinya justru melindungi kepentingan rakyat itu sendiri. Jika koalisi pemerintah dan koalisi oposisi sama kuatnya maka yang paling diuntungkan adalah rakyat itu sendiri. Koalisi pemerintahan yang terlalu “gemuk” justru akan mengurangi kualitas dari demokrasi di samping dalam perspektif politik praktis akan mengurangi kelincahan pemerintah karena perlu mengakomodasi banyak kepentingan.
Memaknai Kekuasaan
Memang pada hakikatnya politik merupakan kepentingan, tapi politik dalam arti luas sebagaimana diuraikan oleh Nawiasky (1964), merupakan upaya menggunakan kekuatan untuk mewujudkan kemakmuran masyarakat. Kini kondisinya jika pascakontestasi banyak parpol berduyun-duyun masuk dalam koalisi pemerintah maka sesungguhnya hal tersebut semakin menggambarkan secara empiris bahwa politik masih dimaknai sebagai sarana untuk sekadar memperoleh kekuasaan.
Jika koalisi pemerintah terlalu gemuk maka sesungguhnya rakyat akan dirugikan karena turunnya kualitas demokrasi. Mengapa demikian? Jawabannya adalah karena pemerintah tidak dapat optimal melayani kepentingan rakyat karena kelindan kepentingan politik praktis dari koalisi yang terlalu gemuk.
Para elite politik harus membudayakan etika berpolitik yang sehat sebagai pembelajaran bagi masyarakat dalam berdemokrasi. Pemahaman etika politik dalam hal ini adalah teguh pada pilihan politik dibanding memanjakan nafsu mengejar kekuasaan. Sebagaimana contohnya partai oposisi yang semula konfrontatif pascaberakhirnya kontestasi kemudian merapat pada koalisi pemerintah yang dinyatakan memenangi kontestasi.
Artinya selama ini koalisi hanya dipergunakan untuk memenangi kontestasi saja. Oleh sebab itu makna koalisi harus di-reorientasi menjadi dua kekuatan yang mampu mewujudkan check and balances dalam demokrasi. Paradigma absolutely power tend to corrupt menggambarkan bahwa dalam negara demokrasi perlu oposisi yang kuat, seperti misalnya di AS antara pemerintah dan oposisi sama kuatnya sehingga terwujud check and balances yang melindungi kepentingan rakyat itu sendiri.
Memang dalam konteks politik praktis, posisi oposisi saat ini tidak strategis seperti kondisi oposisi pada 2014. Kala itu oposisi merupakan mayoritas di DPR RI, berbeda dengan saat ini, partai koalisi pemerintah merupakan mayoritas di parlemen dengan menguasai lebih dari 60% kursi. Artinya, jika demokrasi hanya dimaknai sebatas sharing power maka peran oposisi saat ini tidaklah menarik, sebaliknya jika demokrasi dimaknai untuk mewujudkan cita-cita rakyat maka oposisi mutlak diperlukan. Idealnya antara pemerintah dan oposisi memang harus memiliki kekuatan yang sama sehingga dapat terwujud check and balances secara sempurna.
Rekonsiliasi
Banyak pihak menyerukan agar selepas Putusan MK perlu dilakukan rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo. Memang benar, bahwa saat ini harus dilakukan rekonsiliasi untuk mengembalikan masyarakat dari keterbelahan akibat konflik yang timbul dari kontestasi Pilpres 2019. Lebih lanjut mengacu pada pemahaman rekonsiliasi sebagaimana diuraikan Huntington (1995), yakni upaya memulihkan hubungan pada keadaan semula.
Benar bahwa rekonsiliasi dua tokoh tersebut dimaksudkan untuk mengakhiri konflik yang membelah masyarakat, tetapi lebih lanjut rekonsiliasi harus sampai pada titik pemulihan hubungan awal yakni pemerintah dan oposisi, mengingat selama ini situasi hubungan tersebut telah rancu karena kontestasi politik. Dalam rekonsiliasi tersebut harus ditegaskan dukungan oposisi terhadap pemerintah, dan sebaliknya dukungan pemerintah terhadap oposisi.
Dukungan oposisi dapat dimaknai sebagai bentuk partisipasi oposisi pada jalannya pemerintahan melalui fungsi pengawasan sehingga dapat tercapai fungsi check and balances yang menjadi esensi dari demokrasi itu sendiri. Sementara dukungan pemerintah terhadap oposisi ditegaskan dengan meletakkan oposisi sejajar dengan pemerintah sebagai mitra untuk mewujudkan kemakmuran rakyat.
Rekonsiliasi nasional harus menekankan bahwa bangsa Indonesia selain memerlukan pemerintah yang kuat dan sehat juga memerlukan oposisi yang baik. Dengan demikian rekonsiliasi akan bermuara pada kepentingan bangsa untuk mengakhiri kontestasi dan kembali pada hubungan awal yang sehat, yakni pemerintah dan oposisi.
Inti yang diharapkan dari pertemuan rekonsiliasi tersebut adalah Prabowo dan Jokowi saling menyatakan bahwa kontestasi telah berakhir dan saling menegaskan dukungan serta menyatakan kepada publik secara teduh tentang peran masing-masing. Dalam hal ini juga perlu ditegaskan pada masyarakat terkait relasi pemerintah dan oposisi bahwa pada hakikatnya merupakan relasi yang bersifat saling membutuhkan dan mutualisme.
Hubungan pemerintah dan oposisi pada negara demokrasi pada hakikatnya bukan saling melemahkan. Sebaliknya kualitas pemerintahan yang baik akan lahir dengan adanya oposisi yang kuat, sebaliknya oposisi yang kuat akan teruji oleh pemerintahan yang baik demikian hakikatnya check and balances dalam demokrasi yang sehat.
(mhd)