Kabinet Rekonsiliatif, Mungkinkah?
A
A
A
Adi Prayitno Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia
DISKURSUS tentang kabinet rekonsiliatif terus menggelinding liar bak bola salju (snow ball) seiring fragmentasi politik yang kian ekstrem. Ide ini dinilai brilian dan mendapat sambutan positif dari berbagai kalangan. Terutama untuk meredakan tensi politik di berbagai level kehidupan sosial. Terlampau banyak amunisi yang dihabiskan bangsa ini sekadar meladeni serangkaian isu tak produktif yang membuat langkah kita seakan berjalan mundur.
Susahnya upaya rekonsiliasi pascapemilihan presiden (pilpres) menjadi penegas betapa bekas luka tanding ulang dua jagoan begitu pedih. Padahal, tanda-tanda alam untuk rekonsiliasi cukup terang benderang. Setidaknya ditandai dengan sejumlah peristiwa politik mutakhir. Misalnya, ulama dan pengusaha yang semula terbelah, kini mulai islah. Meski belum berhasil, upaya mediasi Jokowi dan Prabowo terus dilakukan hingga saat ini.
Harus diakui, pilpres kali ini memang begitu menyayat hati kebangsaan kita. Saling tuding soal pemimpin kafir antiulama, prokomunis, kelompok radikal ekstrem, hingga klaim paling Islam, menjejali ruang publik. Padahal, baluran politik Jokowi dan Prabowo sangat dominan warna nasionalis ketimbang Islam. Jika pun Islam, pasti abangan serupa nukilan antroplog politik Clifford Geertz dalam tradisi “agama Jawa” karena keduanya tak memiliki corak Islam kental seperti santri.
Kita harus punya kerendahan hati mengakui bahwa fragmentasi politik terjadi akibat saling menegasi yang berlebihan. Kubu Jokowi kerap diasosiasikan kelompok pelindung aseng dan asing, didukung partai setan, dan seterusnya. Bahkan Jokowi tiada henti dituding keturunan PKI. Sementara kubu Prabowo ditengarai mengakomodasi kelompok radikal ekstrem, wahabi, serta anti-NKRI dan Pancasila.
Padahal, pilpres medium pertarungan ide tentang masa depan Indonesia. Namun yang terjadi malah tawuran opini berbasis isu abad kegelapan. Isunya tak beranjak. Melulu soal agama dan berebut klaim paling benar (claim of truth). Efeknya, pilpres lebih kentara pertentangan antarfaksi agama tertentu ketimbang konfrontasi antarideologi parpol.
Ikhtiar politik sudah kita lakukan. Semua tahapan, proses, hingga sengketa hasil pemilu sudah ditempuh melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Apa pun hasilnya harus diterima sebagai keniscayaan demokrasi. Babak baru kehidupan demokrasi kita meski segera dimulai. Yakni, rekonsiliasi nasional sebagai upaya menyatukan elemen bangsa yang terserak akibat friksi politik yang cukup tajam.
Di antara sekian banyak menu opsi rekonsiliasi, usulan membentuk kabinet rekonsiliatif paling banyak diperdebatkan di kalangan publik, yakni satu komposisi kabinet yang mengakomodasi parpol pendukung Prabowo menjadi bagian kekuasaan politik Jokowi yang menjadi pemenang pilpres. Pertanyaan kemudian, apakah mungkin kabinet rekonsiliatif bisa diwujudkan?
Sharing Power
Banyak pihak menengarai pembagian kekuasaan (sharing power) menjadi solusi akhir dari kebuntuan rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo. Karena hakikat politik hanya kepentingan abadi bukan teman apalagi musuh abadi. Diktum fenomenal Harold Laswell sangat relevan dalam konteks menarasikan fenomena ini. Politik itu soal siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana cara mendapatkannya (politics is who gets what, when, dan how). Sekali lagi, politik menyangkut fleksibilitas yang tak bisa diukur dengan frasa hitam putih.
Jika kita percaya bahwa politik soal bagaimana mendapat kekuasaan, maka upaya membagi kekuasaan ke Prabowo adalah cara paling rasional meredam gejolak. Kekuasaan menjadi alat barter paling sahih rekonsiliasi. Bukan yang lain. Posisi strategis di kabinet, pimpinan DPR dan MPR, serta posisi lain di kementerian “basah” menjadi instrumen yang bisa meluluhkan dua iman politik dua kubu yang saling bertentangan.
Di samping itu, sistem presidensialisme multipartai ekstrem yang kita anut turut mendukung kemungkinan rekonsiliasi berbasis sharing power. Pilpres pascareformasi menyuguhkan satu fenomena tak lazim. Yakni, tipisnya sekat antara oposisi dengan pemerintah. Politik hanya ramai jelang pencoblosan, namun saat pembentukan kabinet pihak yang kalah segera melakukan persuasi politik untuk menjadi bagian kelompok pemenang.
Potret pilpres 2004 hingga 2014 menarasikan secara telanjang mayoritas parpol yang semula berseberangan memilih jalan “damai” menjadi bagian penguasa. Sepanjang dua periode SBY hanya PDI Perjuangan yang konsisten menahbiskan diri sebagai oposisi. Selebihnya merapat dan bermanuver dari dalam. Serupa periode awal Jokowi, Golkar, PAN, dan PPP, yang semula mendukung Prabowo lompat pagar dan hanya menyisakan Gerindra dan PKS yang menjadi oposan. Sementara Demokrat lebih memilih nonblok menjadi penyeimbang.
Pilpres kali ini cenderung mengulang peristiwa serupa. Parpol yang sejak awal konfrontatif cenderung merapat ke Jokowi. Gelagat awal sudah dipertontonkan PAN dan Demokrat yang terlihat mesra dengan Jokowi. Belakangan Gerindra mulai digosipkan bakal merapat dengan tawaran menggiurkan yang susah ditolak parpol besutan Prabowo itu. Sepertinya hanya PKS yang memilih setia di jalan sunyi menjadi oposisi sendirian.
Sekali lagi, jika kita percaya diktum politik bahwa hanya kepentingan yang abadi, maka bukan mustahil jika Gerindra, PAN, dan Demokrat, akhirnya berjamaah pindah haluan merapat ke Jokowi. Beginilah cara demokrasi itu bekerja. Menyebalkan memang. Problemnya adalah apa mungkin Gerindra begitu mudah dirayu dengan kekuasaan? Bukankah menjaga marwah partai lebih penting bagi Gerindra ketimbang sharing power itu? Lalu, bagaimana penerimaan parpol koalisi yang sejak awal “berkeringat” memenangkan Jokowi? Waktu yang akan menjawab semuanya.
Merawat Indonesia Kita
Di luar politik elektoral, merawat Indonesia jauh lebih penting ketimbang urusan lainnya. Menegakkan tatanan demokrasi juga terhormat. Karenanya, politik kita sejak awal harus diarahkan untuk membangun Indonesia utuh kembali tanpa sekat primordialisme politik sempit.
Cukup sudah kita saling membenci, membongkar makam keluarga, dan suami-istri bercerai efek kerasnya perbedaan pilihan politik. Sejatinya, politik kita adalah politik perkawanan. Jokowi dan Prabowo memiliki basis historis kuat dalam pilkada Jakarta 2012. Kisah sukses duet Jokowi dan Ahok tak terlepas dari racikan dingin Prabowo dan Megawati saat itu.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah berpesan, yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Sebagai anak bangsa, tentu politik kita harus diupayakan untuk politik kemanusiaan yang melampaui sekat agama, etnis, dan suku. Rasa hormat terhadap sesama anak bangsa tanpa memandang perbedaan politik apapun seyogianya dikedepankan. Indonesia kita adalah politik yang menjunjung tinggi humanisme di atas segalanya. Beda dukungan politik bukan alasan memusuhi pihak lain.
Indonesia kita adalah Indonesia tanpa permusuhan, tanpa fitnah, dan tanpa kebencian. Sebab, yang menyatukan kita sebagai bangsa adalah nilai kemanusiaan universal yang diterjemahkan melalui bahasa kemerdekaan. Khittah politik inilah yang mesti selalu dirawat dengan baik oleh seluruh anak bangsa.
DISKURSUS tentang kabinet rekonsiliatif terus menggelinding liar bak bola salju (snow ball) seiring fragmentasi politik yang kian ekstrem. Ide ini dinilai brilian dan mendapat sambutan positif dari berbagai kalangan. Terutama untuk meredakan tensi politik di berbagai level kehidupan sosial. Terlampau banyak amunisi yang dihabiskan bangsa ini sekadar meladeni serangkaian isu tak produktif yang membuat langkah kita seakan berjalan mundur.
Susahnya upaya rekonsiliasi pascapemilihan presiden (pilpres) menjadi penegas betapa bekas luka tanding ulang dua jagoan begitu pedih. Padahal, tanda-tanda alam untuk rekonsiliasi cukup terang benderang. Setidaknya ditandai dengan sejumlah peristiwa politik mutakhir. Misalnya, ulama dan pengusaha yang semula terbelah, kini mulai islah. Meski belum berhasil, upaya mediasi Jokowi dan Prabowo terus dilakukan hingga saat ini.
Harus diakui, pilpres kali ini memang begitu menyayat hati kebangsaan kita. Saling tuding soal pemimpin kafir antiulama, prokomunis, kelompok radikal ekstrem, hingga klaim paling Islam, menjejali ruang publik. Padahal, baluran politik Jokowi dan Prabowo sangat dominan warna nasionalis ketimbang Islam. Jika pun Islam, pasti abangan serupa nukilan antroplog politik Clifford Geertz dalam tradisi “agama Jawa” karena keduanya tak memiliki corak Islam kental seperti santri.
Kita harus punya kerendahan hati mengakui bahwa fragmentasi politik terjadi akibat saling menegasi yang berlebihan. Kubu Jokowi kerap diasosiasikan kelompok pelindung aseng dan asing, didukung partai setan, dan seterusnya. Bahkan Jokowi tiada henti dituding keturunan PKI. Sementara kubu Prabowo ditengarai mengakomodasi kelompok radikal ekstrem, wahabi, serta anti-NKRI dan Pancasila.
Padahal, pilpres medium pertarungan ide tentang masa depan Indonesia. Namun yang terjadi malah tawuran opini berbasis isu abad kegelapan. Isunya tak beranjak. Melulu soal agama dan berebut klaim paling benar (claim of truth). Efeknya, pilpres lebih kentara pertentangan antarfaksi agama tertentu ketimbang konfrontasi antarideologi parpol.
Ikhtiar politik sudah kita lakukan. Semua tahapan, proses, hingga sengketa hasil pemilu sudah ditempuh melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Apa pun hasilnya harus diterima sebagai keniscayaan demokrasi. Babak baru kehidupan demokrasi kita meski segera dimulai. Yakni, rekonsiliasi nasional sebagai upaya menyatukan elemen bangsa yang terserak akibat friksi politik yang cukup tajam.
Di antara sekian banyak menu opsi rekonsiliasi, usulan membentuk kabinet rekonsiliatif paling banyak diperdebatkan di kalangan publik, yakni satu komposisi kabinet yang mengakomodasi parpol pendukung Prabowo menjadi bagian kekuasaan politik Jokowi yang menjadi pemenang pilpres. Pertanyaan kemudian, apakah mungkin kabinet rekonsiliatif bisa diwujudkan?
Sharing Power
Banyak pihak menengarai pembagian kekuasaan (sharing power) menjadi solusi akhir dari kebuntuan rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo. Karena hakikat politik hanya kepentingan abadi bukan teman apalagi musuh abadi. Diktum fenomenal Harold Laswell sangat relevan dalam konteks menarasikan fenomena ini. Politik itu soal siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana cara mendapatkannya (politics is who gets what, when, dan how). Sekali lagi, politik menyangkut fleksibilitas yang tak bisa diukur dengan frasa hitam putih.
Jika kita percaya bahwa politik soal bagaimana mendapat kekuasaan, maka upaya membagi kekuasaan ke Prabowo adalah cara paling rasional meredam gejolak. Kekuasaan menjadi alat barter paling sahih rekonsiliasi. Bukan yang lain. Posisi strategis di kabinet, pimpinan DPR dan MPR, serta posisi lain di kementerian “basah” menjadi instrumen yang bisa meluluhkan dua iman politik dua kubu yang saling bertentangan.
Di samping itu, sistem presidensialisme multipartai ekstrem yang kita anut turut mendukung kemungkinan rekonsiliasi berbasis sharing power. Pilpres pascareformasi menyuguhkan satu fenomena tak lazim. Yakni, tipisnya sekat antara oposisi dengan pemerintah. Politik hanya ramai jelang pencoblosan, namun saat pembentukan kabinet pihak yang kalah segera melakukan persuasi politik untuk menjadi bagian kelompok pemenang.
Potret pilpres 2004 hingga 2014 menarasikan secara telanjang mayoritas parpol yang semula berseberangan memilih jalan “damai” menjadi bagian penguasa. Sepanjang dua periode SBY hanya PDI Perjuangan yang konsisten menahbiskan diri sebagai oposisi. Selebihnya merapat dan bermanuver dari dalam. Serupa periode awal Jokowi, Golkar, PAN, dan PPP, yang semula mendukung Prabowo lompat pagar dan hanya menyisakan Gerindra dan PKS yang menjadi oposan. Sementara Demokrat lebih memilih nonblok menjadi penyeimbang.
Pilpres kali ini cenderung mengulang peristiwa serupa. Parpol yang sejak awal konfrontatif cenderung merapat ke Jokowi. Gelagat awal sudah dipertontonkan PAN dan Demokrat yang terlihat mesra dengan Jokowi. Belakangan Gerindra mulai digosipkan bakal merapat dengan tawaran menggiurkan yang susah ditolak parpol besutan Prabowo itu. Sepertinya hanya PKS yang memilih setia di jalan sunyi menjadi oposisi sendirian.
Sekali lagi, jika kita percaya diktum politik bahwa hanya kepentingan yang abadi, maka bukan mustahil jika Gerindra, PAN, dan Demokrat, akhirnya berjamaah pindah haluan merapat ke Jokowi. Beginilah cara demokrasi itu bekerja. Menyebalkan memang. Problemnya adalah apa mungkin Gerindra begitu mudah dirayu dengan kekuasaan? Bukankah menjaga marwah partai lebih penting bagi Gerindra ketimbang sharing power itu? Lalu, bagaimana penerimaan parpol koalisi yang sejak awal “berkeringat” memenangkan Jokowi? Waktu yang akan menjawab semuanya.
Merawat Indonesia Kita
Di luar politik elektoral, merawat Indonesia jauh lebih penting ketimbang urusan lainnya. Menegakkan tatanan demokrasi juga terhormat. Karenanya, politik kita sejak awal harus diarahkan untuk membangun Indonesia utuh kembali tanpa sekat primordialisme politik sempit.
Cukup sudah kita saling membenci, membongkar makam keluarga, dan suami-istri bercerai efek kerasnya perbedaan pilihan politik. Sejatinya, politik kita adalah politik perkawanan. Jokowi dan Prabowo memiliki basis historis kuat dalam pilkada Jakarta 2012. Kisah sukses duet Jokowi dan Ahok tak terlepas dari racikan dingin Prabowo dan Megawati saat itu.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah berpesan, yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Sebagai anak bangsa, tentu politik kita harus diupayakan untuk politik kemanusiaan yang melampaui sekat agama, etnis, dan suku. Rasa hormat terhadap sesama anak bangsa tanpa memandang perbedaan politik apapun seyogianya dikedepankan. Indonesia kita adalah politik yang menjunjung tinggi humanisme di atas segalanya. Beda dukungan politik bukan alasan memusuhi pihak lain.
Indonesia kita adalah Indonesia tanpa permusuhan, tanpa fitnah, dan tanpa kebencian. Sebab, yang menyatukan kita sebagai bangsa adalah nilai kemanusiaan universal yang diterjemahkan melalui bahasa kemerdekaan. Khittah politik inilah yang mesti selalu dirawat dengan baik oleh seluruh anak bangsa.
(pur)