Sidang Sengketa Pilpres di MK seperti Dijadikan Panggung Politik
A
A
A
JAKARTA - Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti menilai sidang sengketa hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi panggung politik bagi kedua pasangan calon capres-cawapres 01 dan 02.
Menurut dia, hal itu sangat terlihat jelas kubu Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi memanfaatkan sidang sebagai sarana untuk menyampaikan komunikasi politik terhadap pendukung masing-masing.
"Memang nyata betul bahwa yang kita alami selama seminggu ini seperti panggung politik," ujar Bivitri di Jakarta, Senin (24/6/2019).
"Begitu banyak yang diungkapkan di sidang itu sebenarnya untuk mengkomunikasikan pesan kepada masing-masing pendukung. Salah satu kuasa hukum juga berulang kali mengungkapkan ini harus diperjelas, karena publik juga harus tahu," sambungnya.
Hal itu kata dia, terlihat dari banyaknya penggunaan diksi-diksi politis oleh para saksi selama sidang MK berlangsung. Contohnya seperti ungkapan KTP palsu, kecamatan siluman, KK manipulatif, hingga NIK rekayasa.
"Tentu saja MK tak bisa dihindarkan menjadi panggung politik karena jutaan orang menontonnya setiap saat. Ini merupakan cara yang efektif bagi kedua kubu menyampaikan narasi-narasi politisnya," jelasnya.
Semua diksi tersebut, kata Bivitri, menjadi bahasa politik yang digunakan para saksi untuk menyampai pesan-pesan tertentu kepada publik yang menonton jalannya persidangan. Dan diksi tersebut merupakan kesimpulan yang seharusnya dikatakan seorang ahli, bukan saksi.
"Kita juga paham bahwa selama berbulan-bulan diksi-diksi tersebut yang digunakan oleh kubu kampanye, melalui kampanye, media sosial, secara konsisten," ungkapnya.
Menurut dia, hal itu sangat terlihat jelas kubu Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi memanfaatkan sidang sebagai sarana untuk menyampaikan komunikasi politik terhadap pendukung masing-masing.
"Memang nyata betul bahwa yang kita alami selama seminggu ini seperti panggung politik," ujar Bivitri di Jakarta, Senin (24/6/2019).
"Begitu banyak yang diungkapkan di sidang itu sebenarnya untuk mengkomunikasikan pesan kepada masing-masing pendukung. Salah satu kuasa hukum juga berulang kali mengungkapkan ini harus diperjelas, karena publik juga harus tahu," sambungnya.
Hal itu kata dia, terlihat dari banyaknya penggunaan diksi-diksi politis oleh para saksi selama sidang MK berlangsung. Contohnya seperti ungkapan KTP palsu, kecamatan siluman, KK manipulatif, hingga NIK rekayasa.
"Tentu saja MK tak bisa dihindarkan menjadi panggung politik karena jutaan orang menontonnya setiap saat. Ini merupakan cara yang efektif bagi kedua kubu menyampaikan narasi-narasi politisnya," jelasnya.
Semua diksi tersebut, kata Bivitri, menjadi bahasa politik yang digunakan para saksi untuk menyampai pesan-pesan tertentu kepada publik yang menonton jalannya persidangan. Dan diksi tersebut merupakan kesimpulan yang seharusnya dikatakan seorang ahli, bukan saksi.
"Kita juga paham bahwa selama berbulan-bulan diksi-diksi tersebut yang digunakan oleh kubu kampanye, melalui kampanye, media sosial, secara konsisten," ungkapnya.
(maf)