Pers dalam Era Post-truth
A
A
A
Andryan
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Direktur Pusat Kajian Konstitusi dan Kebijakan Publik
PADA 2016, Oxford menjadikan kata post-truth sebagai "Word of the Year". Jumlah penggunaan istilah post-truth pada tahun itu meningkat 2.000% bila dibandingkan tahun 2015. Sebelumnya, Ralph Keyes dalam bukunya The Post-truth Era (2004) dan komedian Stephen Colber memopulerkan istilah yang berhubungan dengan post-truth, yaitu truthiness, yang kurang lebih sebagai sesuatu seolah-olah benar, meski tidak benar sama sekali.
Di era post-truth , penguatan pers sebagai pilar demokrasi dalam menjaga profesionalisme dan kredibilitas harus disertai dengan payung hukum yang kuat. Dalam hal ini pers tidak hanya berfungsi mengawasi jalannya pemerintah, tetapi juga sebagai penyambung lidah rakyat melalui keterbukaan informasi dengan pemberitaan yang dapat dipercaya (media trust).
Pers sebagai pilar keempat demokrasi juga telah dijamin kemerdekaannya dan diakui keberadaannya oleh UUD 1945, seperti halnya tiga pilar demokrasi lainnya, yakni kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Apa yang diperjuangkan oleh pers, sama halnya dengan prinsip negara, yakni demokrasi, rule of law, dan social welfare. Sebagai salah satu dari pilar demokrasi, pers memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan profesionalisme. Dalam konsep negara hukum, salah satu roh dari rule of law adalah profesionalisme, di mana di antaranya menjaga kepercayaan (media trust).
Pers sebagai kekuatan demokrasi menjadi penopang bagi pilar-pilar demokrasi lainnya, seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pada saat pilar-pilar lainnya lumpuh, maka pers diharapkan akan tampil di depan untuk menyelamatkan tegaknya nilai-nilai demokrasi di sebuah negara demokrasi. Akses informasi melalui media massa ini sejalan dengan asas demokrasi, yaitu adanya transformasi secara menyeluruh dan terbuka yang mutlak bagi negara penganut paham demokrasi sehingga ada persebaran informasi secara merata. Agar pers bisa melakukan peranannya perlu dijunjung kebebasan dalam menyampaikan informasi publik secara jujur dan berimbang.
Kebebasan pers diperlukan untuk demokrasi, keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara; terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran; pembredelan atau pelarangan penyiaran; untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hal mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi; dan hak tolak sebagai bentuk pertanggungjawaban pemberitaan.
Era Post-truth
Di era post-truth , batas antara kebenaran dan kebohongan, kejujuran dan ketidakjujuran, fiksi dan nonfiksi menjadi semakin kabur. Menyampaikan ketidakbenaran kepada orang lain menjadi suatu tantangan, permainan, dan berakhir menjadi kebiasaan. Di era post truth , kebenaran jurnalistik mulai diambil alih oleh berita-berita bohong, berita-berita yang tidak jelas kebenarannya. Selama ini pemilik modal dan para penguasalah yang disebut-sebut paling dominan dalam mengancam kebebasan pers dan profesionalisme jurnalisme. Namun, di era post-truth ini ancaman bertambah menjadi satu, yakni hoax, fake, and false news.
Tidak dapat dimungkiri apabila di era post-truth ini memunculkan banyak kejutan, terutama terkait identitas dan eksistensi jurnalisme sebagai praktik profesional yang semakin dipertanyakan. Cukup banyak ditemui pengamat media menyampaikan pesimismenya dengan menganggap bahwa profesionalisme hanyalah sebuah dongeng di era post-truth ini.
Profesionalisme dianggap sebagai sesuatu yang tidak mungkin. Namun, tidak demikian menurut United Nations (UN) yang memandang post-truth selain fenomena yang menarik juga mengundang simpati. UN dalam Press Freedom Day menyatakan bahwa di era post-truth dengan "berita palsu" yang sedang berkembang secara masif, di mana akuntabilitas media dan kredibilitas semakin dipertanyakan, maka jurnalisme yang bebas, independen, dan profesional tidak pernah lebih penting lagi daripada hal apapun.
Pemilu Serentak 2019 di Indonesia juga diwarnai hoaks yang masif. Ada kubu yang konsisten memproduksi hoaks atau berita bohong untuk memenangkan hati pemilih. Media sosial dimanfaatkan dengan efektif oleh penyebar hoaks. Rakyat yang tidak memiliki informasi yang benar termakan juga oleh hoaks yang disebar. Secara harfiah, post-truth artinya pascakebenaran. Oxford Dictionary menjelaskan post-truth adalah era yang memberikan tempat kepada berita hoaks. Dalam membentuk opini publik, argumentasi yang didukung fakta kalah bersaing dengan argumentasi yang menyentuh emosi, meski itu hoaks.
Agar bisa menjadi clearing house informasi, media massa harus bekerja dengan benar sesuai prinsip jurnalistik dan perannya seperti diamanatkan dalam UU Pers. Pers wajib melaksanakan fungsinya sebagai lembaga yang memberikan informasi benar, informasi mendidik, dan informasi yang mampu memengaruhi pembaca mencapai peradaban tinggi. Setiap berita yang diperoleh harus diverifikasi terlebih dahulu.
Informasi yang diterima tak boleh langsung ditelan, melainkan wajib diuji silang atau cross check . Pengecekan fakta perlu dilakukan lebih dari satu kali. Untuk berita yang melibatkan dua atau lebih kubu yang berseteru, pers wajib melakukan cover both sides. Di era post-truth, media massa semakin dibutuhkan. Media yang bekerja dengan serius, menerapkan prinsip jurnalistik, menaati Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers, akan dicari masyarakat. Sebaliknya, media yang menjadi bagian dari hoaks akan ditinggalkan pembaca.
Sebagai salah satu pilar demokrasi, pers dalam sebuah negara yang berlandaskan hukum, tentu saja harus diberikan tempat dan kedudukan kuat. Hal ini bukan hanya sebatas memberikan legitimasi bahwa tidak ada suatu negara demokrasi tanpa memiliki pers yang kuat, melainkan juga pers harus senantiasa menjunjung nilai-nilai demokrasi itu sendiri sesuai dengan konsep negara hukum.
Pada era post-truth, peran pers semakin dibutuhkan, di samping memberikan informasi yang benar sesuai fakta dalam pemberitaan, pers juga harus mampu menjaga keseimbangan, terutama apabila berkaitan dengan politik yang akan menjadi alat kepentingan penguasa.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Direktur Pusat Kajian Konstitusi dan Kebijakan Publik
PADA 2016, Oxford menjadikan kata post-truth sebagai "Word of the Year". Jumlah penggunaan istilah post-truth pada tahun itu meningkat 2.000% bila dibandingkan tahun 2015. Sebelumnya, Ralph Keyes dalam bukunya The Post-truth Era (2004) dan komedian Stephen Colber memopulerkan istilah yang berhubungan dengan post-truth, yaitu truthiness, yang kurang lebih sebagai sesuatu seolah-olah benar, meski tidak benar sama sekali.
Di era post-truth , penguatan pers sebagai pilar demokrasi dalam menjaga profesionalisme dan kredibilitas harus disertai dengan payung hukum yang kuat. Dalam hal ini pers tidak hanya berfungsi mengawasi jalannya pemerintah, tetapi juga sebagai penyambung lidah rakyat melalui keterbukaan informasi dengan pemberitaan yang dapat dipercaya (media trust).
Pers sebagai pilar keempat demokrasi juga telah dijamin kemerdekaannya dan diakui keberadaannya oleh UUD 1945, seperti halnya tiga pilar demokrasi lainnya, yakni kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Apa yang diperjuangkan oleh pers, sama halnya dengan prinsip negara, yakni demokrasi, rule of law, dan social welfare. Sebagai salah satu dari pilar demokrasi, pers memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan profesionalisme. Dalam konsep negara hukum, salah satu roh dari rule of law adalah profesionalisme, di mana di antaranya menjaga kepercayaan (media trust).
Pers sebagai kekuatan demokrasi menjadi penopang bagi pilar-pilar demokrasi lainnya, seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pada saat pilar-pilar lainnya lumpuh, maka pers diharapkan akan tampil di depan untuk menyelamatkan tegaknya nilai-nilai demokrasi di sebuah negara demokrasi. Akses informasi melalui media massa ini sejalan dengan asas demokrasi, yaitu adanya transformasi secara menyeluruh dan terbuka yang mutlak bagi negara penganut paham demokrasi sehingga ada persebaran informasi secara merata. Agar pers bisa melakukan peranannya perlu dijunjung kebebasan dalam menyampaikan informasi publik secara jujur dan berimbang.
Kebebasan pers diperlukan untuk demokrasi, keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara; terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran; pembredelan atau pelarangan penyiaran; untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hal mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi; dan hak tolak sebagai bentuk pertanggungjawaban pemberitaan.
Era Post-truth
Di era post-truth , batas antara kebenaran dan kebohongan, kejujuran dan ketidakjujuran, fiksi dan nonfiksi menjadi semakin kabur. Menyampaikan ketidakbenaran kepada orang lain menjadi suatu tantangan, permainan, dan berakhir menjadi kebiasaan. Di era post truth , kebenaran jurnalistik mulai diambil alih oleh berita-berita bohong, berita-berita yang tidak jelas kebenarannya. Selama ini pemilik modal dan para penguasalah yang disebut-sebut paling dominan dalam mengancam kebebasan pers dan profesionalisme jurnalisme. Namun, di era post-truth ini ancaman bertambah menjadi satu, yakni hoax, fake, and false news.
Tidak dapat dimungkiri apabila di era post-truth ini memunculkan banyak kejutan, terutama terkait identitas dan eksistensi jurnalisme sebagai praktik profesional yang semakin dipertanyakan. Cukup banyak ditemui pengamat media menyampaikan pesimismenya dengan menganggap bahwa profesionalisme hanyalah sebuah dongeng di era post-truth ini.
Profesionalisme dianggap sebagai sesuatu yang tidak mungkin. Namun, tidak demikian menurut United Nations (UN) yang memandang post-truth selain fenomena yang menarik juga mengundang simpati. UN dalam Press Freedom Day menyatakan bahwa di era post-truth dengan "berita palsu" yang sedang berkembang secara masif, di mana akuntabilitas media dan kredibilitas semakin dipertanyakan, maka jurnalisme yang bebas, independen, dan profesional tidak pernah lebih penting lagi daripada hal apapun.
Pemilu Serentak 2019 di Indonesia juga diwarnai hoaks yang masif. Ada kubu yang konsisten memproduksi hoaks atau berita bohong untuk memenangkan hati pemilih. Media sosial dimanfaatkan dengan efektif oleh penyebar hoaks. Rakyat yang tidak memiliki informasi yang benar termakan juga oleh hoaks yang disebar. Secara harfiah, post-truth artinya pascakebenaran. Oxford Dictionary menjelaskan post-truth adalah era yang memberikan tempat kepada berita hoaks. Dalam membentuk opini publik, argumentasi yang didukung fakta kalah bersaing dengan argumentasi yang menyentuh emosi, meski itu hoaks.
Agar bisa menjadi clearing house informasi, media massa harus bekerja dengan benar sesuai prinsip jurnalistik dan perannya seperti diamanatkan dalam UU Pers. Pers wajib melaksanakan fungsinya sebagai lembaga yang memberikan informasi benar, informasi mendidik, dan informasi yang mampu memengaruhi pembaca mencapai peradaban tinggi. Setiap berita yang diperoleh harus diverifikasi terlebih dahulu.
Informasi yang diterima tak boleh langsung ditelan, melainkan wajib diuji silang atau cross check . Pengecekan fakta perlu dilakukan lebih dari satu kali. Untuk berita yang melibatkan dua atau lebih kubu yang berseteru, pers wajib melakukan cover both sides. Di era post-truth, media massa semakin dibutuhkan. Media yang bekerja dengan serius, menerapkan prinsip jurnalistik, menaati Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers, akan dicari masyarakat. Sebaliknya, media yang menjadi bagian dari hoaks akan ditinggalkan pembaca.
Sebagai salah satu pilar demokrasi, pers dalam sebuah negara yang berlandaskan hukum, tentu saja harus diberikan tempat dan kedudukan kuat. Hal ini bukan hanya sebatas memberikan legitimasi bahwa tidak ada suatu negara demokrasi tanpa memiliki pers yang kuat, melainkan juga pers harus senantiasa menjunjung nilai-nilai demokrasi itu sendiri sesuai dengan konsep negara hukum.
Pada era post-truth, peran pers semakin dibutuhkan, di samping memberikan informasi yang benar sesuai fakta dalam pemberitaan, pers juga harus mampu menjaga keseimbangan, terutama apabila berkaitan dengan politik yang akan menjadi alat kepentingan penguasa.
(maf)