PLN Meraub Laba Bersih 2018 Rp11,6 Triliun
A
A
A
Fahmy Radhi
Pengamat Ekonomi Energi dan Pertambangan Universitas Gadjah Mada
PT Perusahaan Listrik Negara Persero (PLN) akhirnya mempublikasikan laporan Keuangan 2018, yang sudah diaudit, pada akhir Mei 2019. Laporan keuangan PLN itu memang dinanti-dinantikan oleh berbagai pihak, baik pihak internal manajemen PLN, maupun pihak eksternal termasuk: Pemerintah, Investor, Kreditor, dan Publik. Meskipun agak terlambat, publikasi laporan keuangan 2018 dapat menepis anggapan bahwa PLN sengaja memperlambat publikasi laporan keuangan sebagai upaya untuk melakukan pencitraan di tahun politik.
Publikasi laporan keuangan PLN audited itu sekaligus menyangkal bahwa ada upaya memoles agar kinerja PLN kelihatan “moncer”. Sebagai BUMN besar dan strategis, yang mengeluarkan global bond dan mendapatkan kredit dari lembaga keuangan internasional, kayaknya mustahil bagi PLN untuk memoles laporan keuangan tahun berjalan. Pasalnya, polesan laporan keuangan akan menurunkan kredibilitas PLN di mata pembeli global bond dan kreditor international, serta Pemerintah dan Publik. Selain itu, laporan keuangan PLN juga diaudit secara berlapis oleh BPKP, BPK dan Kantor Akuntan Publik sehingga tidak ada celah bagi PLN untuk merekayasa.
Bahkan hasil audit dari kantor akuntan publik RSM Amir Abadi Yusuf dan rekan telah memberikan opini bahwa Laporan Keuangan PLN 2018 disajikan secara wajar dalam semua hal yang material, posisi keuangan konsolidasi anak-anak perusahaan, serta kinerja keuangan dan arus kas konsolidasi untuk tahun berjalan, sesuai dengan Prinsip Akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Berdasarkan hasil audit kantor akuntan publik dan BPK, PLN mencetak Laba Bersih 2018 sebesar Rp11,6 triliun meningkat signifikan dibanding Laba Bersih 2017 yang hanya mencapai Rp4,4 triliun. Peningkatan laba bersih itu ditopang peningkatan pendapatan usaha dan pendapatan lain-lain, serta penurunan biaya operasional, termasuk penguatan kurs mata uang rupiah terhadap mata uang US Dollar.
Peningkatan pendapatan diperoleh dari kenaikan penjualan setrum yang meningkat sebesar 6,85% dari Rp246,6 pada 2017 naik menjadi Rp263,5 pada 2018. Kendati tarif listrik tidak dinaikkan dan penyesuaian tarif otomatis (automatic adjustment) tidak diberlakukan sejak awal Januari 2017, kenaikan pendapatan PLN lebih dipicu oleh kenaikan jumlah pelanggan, seiring dengan capaian rasio elektrifikasi yang sudah mencapai 98,3% pada 2018. Jumlah pelanggan mengalami kenaikan dari 68,1 juta pelanggan pada 2017 menjadi 71,9 juta pelanggan pada 2018, naik sekitar 3,8 juta pelanggan.
Volume penjualan listrik naik sebesar 6,93%, dari Rp181,8 triliun pada 2017 menjadi Rp 194,4 triliun. Nilai penjualan daya listrik juga mengalami peningkatan sekitar 5,15%, dari 223 Terra Watt hour (TWh) pada 2017 menjadi 234,5 TWh pada 2018. Peningkatan penjualan listrik itu sejalan dengan keberhasilan PLN selama 2018 dalam menambah kapasitas pembangkit dan jaringan transmisi sepanjang 5.323 kilometer sirkuit (kms) menjadi 53.606 kms, serta menambah gardu induk sebesar 20.645 MVA menjadi 131.164 MVA.
Sedangkan pendapatan lain-lain yang cukup signifikan diperoleh dari pendapatan kompensasi Pemerintah dan Penyesuaian harga pembelian bahan bakar dan pelumas, yang dibukukan secara akrual sebesar Rp7,45 triliun. Berdasarkan laporan keuangan PLN 2018 yang diunggah ke situs Bursa Efek Indonesia (BEI) dijelaskan bahwa Pendapatan Kompensasi merupakan pendapatan dari pemerintah atas penggantian Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik beberapa golongan pelanggan, yang tarif penjualan tenaga listriknya lebih rendah dibandingkan BPP. Namun, pendapatan kompensasi itu belum diperhitungkan dalam subsidi, yang diakui sebagai pendapatan atas dasar akrual.
Total pendapatan usaha dan pendapatan lain-lain, tidak hanya dapat menutup biaya usaha, tetapi juga dapat menutup biaya lain-lain termasuk kerugian belum direalisasikan (unrealized loss), yang muncul akibat selisih kurs. Seiring dengan penguatan kurs rupiah terhadap kurs US Dollar, pada triwulan ketiga 2018 unrealized loss dicatatakan sebesar Rp17,3 triliun turun menjadi Rp10,9 triliun pada triwulan keempat 2018.
Perolehan laba bersih sebesar Rp11,6 triliun itu juga diperoleh dari upaya efisiensi yang dilakukan oleh PLN dalam mengendalikan biaya energi pembangkit, yang ditopang oleh kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) Batubara dan keringanan harga Gas. Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 1395K/30/MEM/2018 yang menetapkan DMO harga Batubara yang dijual kepada PLN ditetapkan sebesar US$ 70 per ton, yang berlaku sejak 12 Maret 2018. Sedangkan, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Harga Jual Gas Bumi dan Keputusan Menteri ESDM Nomor 434K/2017, PLN juga dapat keringanan harga gas melalui optimalisasi kontrak pembelian gas dalam jangka panjang.
Dengan DMO harga Batubara dan keringanan harga gas tersebut, beban biaya operasional PLN dapat diturunkan, sehingga menurunkan BPP tenaga listrik, yang menaikkan laba bersih usaha. Sedangkan, meningkatnya Indonesia Crude Price (ICP) tidak begitu memberatkan biaya operasional PLN. Pasalnya, penggunaan BBM dalam bauran energi Pembangkit PLN tinggal 5,9%. Sedangkan penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT), yang sumber dayanya tersedia di dalam negeri, semakin meningkat, yang mencapai 12%. Kapasitas pembangkit EBT akan meningkat lagi dengan beroperasinya Pembangkit Tenaga Bayu (Wind Power Plant) 75 MW di Sulawesi Selatan.
Dari Laporan Keuangan 2018 audited itu tidak berlebihan dikatakan bahwa kinerja keuangan PLN 2018 meningkat cukup signifikan dibanding 2017. Peningkatan kinerja itu bukan karena pemolesan laporan keuangan. Namun lebih karena peningkatan penjualan, efisiensi operasi, serta dukungan Pemerintah melalui DMO Batubara, serta penghasilan konpensasi dari pemerintah dan optimalisasi pembelian gas. Di samping itu, membaiknya kinerja PLN itu juga dikarenakan penguatan kurs mata uang rupiah terhadap kurs US Dollar, sehingga menurunkan unrealized loss dan penurunan harga ICP pada trilwulan keempat, dibanding dengan triwulan ketiga 2018.
Pengamat Ekonomi Energi dan Pertambangan Universitas Gadjah Mada
PT Perusahaan Listrik Negara Persero (PLN) akhirnya mempublikasikan laporan Keuangan 2018, yang sudah diaudit, pada akhir Mei 2019. Laporan keuangan PLN itu memang dinanti-dinantikan oleh berbagai pihak, baik pihak internal manajemen PLN, maupun pihak eksternal termasuk: Pemerintah, Investor, Kreditor, dan Publik. Meskipun agak terlambat, publikasi laporan keuangan 2018 dapat menepis anggapan bahwa PLN sengaja memperlambat publikasi laporan keuangan sebagai upaya untuk melakukan pencitraan di tahun politik.
Publikasi laporan keuangan PLN audited itu sekaligus menyangkal bahwa ada upaya memoles agar kinerja PLN kelihatan “moncer”. Sebagai BUMN besar dan strategis, yang mengeluarkan global bond dan mendapatkan kredit dari lembaga keuangan internasional, kayaknya mustahil bagi PLN untuk memoles laporan keuangan tahun berjalan. Pasalnya, polesan laporan keuangan akan menurunkan kredibilitas PLN di mata pembeli global bond dan kreditor international, serta Pemerintah dan Publik. Selain itu, laporan keuangan PLN juga diaudit secara berlapis oleh BPKP, BPK dan Kantor Akuntan Publik sehingga tidak ada celah bagi PLN untuk merekayasa.
Bahkan hasil audit dari kantor akuntan publik RSM Amir Abadi Yusuf dan rekan telah memberikan opini bahwa Laporan Keuangan PLN 2018 disajikan secara wajar dalam semua hal yang material, posisi keuangan konsolidasi anak-anak perusahaan, serta kinerja keuangan dan arus kas konsolidasi untuk tahun berjalan, sesuai dengan Prinsip Akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Berdasarkan hasil audit kantor akuntan publik dan BPK, PLN mencetak Laba Bersih 2018 sebesar Rp11,6 triliun meningkat signifikan dibanding Laba Bersih 2017 yang hanya mencapai Rp4,4 triliun. Peningkatan laba bersih itu ditopang peningkatan pendapatan usaha dan pendapatan lain-lain, serta penurunan biaya operasional, termasuk penguatan kurs mata uang rupiah terhadap mata uang US Dollar.
Peningkatan pendapatan diperoleh dari kenaikan penjualan setrum yang meningkat sebesar 6,85% dari Rp246,6 pada 2017 naik menjadi Rp263,5 pada 2018. Kendati tarif listrik tidak dinaikkan dan penyesuaian tarif otomatis (automatic adjustment) tidak diberlakukan sejak awal Januari 2017, kenaikan pendapatan PLN lebih dipicu oleh kenaikan jumlah pelanggan, seiring dengan capaian rasio elektrifikasi yang sudah mencapai 98,3% pada 2018. Jumlah pelanggan mengalami kenaikan dari 68,1 juta pelanggan pada 2017 menjadi 71,9 juta pelanggan pada 2018, naik sekitar 3,8 juta pelanggan.
Volume penjualan listrik naik sebesar 6,93%, dari Rp181,8 triliun pada 2017 menjadi Rp 194,4 triliun. Nilai penjualan daya listrik juga mengalami peningkatan sekitar 5,15%, dari 223 Terra Watt hour (TWh) pada 2017 menjadi 234,5 TWh pada 2018. Peningkatan penjualan listrik itu sejalan dengan keberhasilan PLN selama 2018 dalam menambah kapasitas pembangkit dan jaringan transmisi sepanjang 5.323 kilometer sirkuit (kms) menjadi 53.606 kms, serta menambah gardu induk sebesar 20.645 MVA menjadi 131.164 MVA.
Sedangkan pendapatan lain-lain yang cukup signifikan diperoleh dari pendapatan kompensasi Pemerintah dan Penyesuaian harga pembelian bahan bakar dan pelumas, yang dibukukan secara akrual sebesar Rp7,45 triliun. Berdasarkan laporan keuangan PLN 2018 yang diunggah ke situs Bursa Efek Indonesia (BEI) dijelaskan bahwa Pendapatan Kompensasi merupakan pendapatan dari pemerintah atas penggantian Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik beberapa golongan pelanggan, yang tarif penjualan tenaga listriknya lebih rendah dibandingkan BPP. Namun, pendapatan kompensasi itu belum diperhitungkan dalam subsidi, yang diakui sebagai pendapatan atas dasar akrual.
Total pendapatan usaha dan pendapatan lain-lain, tidak hanya dapat menutup biaya usaha, tetapi juga dapat menutup biaya lain-lain termasuk kerugian belum direalisasikan (unrealized loss), yang muncul akibat selisih kurs. Seiring dengan penguatan kurs rupiah terhadap kurs US Dollar, pada triwulan ketiga 2018 unrealized loss dicatatakan sebesar Rp17,3 triliun turun menjadi Rp10,9 triliun pada triwulan keempat 2018.
Perolehan laba bersih sebesar Rp11,6 triliun itu juga diperoleh dari upaya efisiensi yang dilakukan oleh PLN dalam mengendalikan biaya energi pembangkit, yang ditopang oleh kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) Batubara dan keringanan harga Gas. Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 1395K/30/MEM/2018 yang menetapkan DMO harga Batubara yang dijual kepada PLN ditetapkan sebesar US$ 70 per ton, yang berlaku sejak 12 Maret 2018. Sedangkan, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Harga Jual Gas Bumi dan Keputusan Menteri ESDM Nomor 434K/2017, PLN juga dapat keringanan harga gas melalui optimalisasi kontrak pembelian gas dalam jangka panjang.
Dengan DMO harga Batubara dan keringanan harga gas tersebut, beban biaya operasional PLN dapat diturunkan, sehingga menurunkan BPP tenaga listrik, yang menaikkan laba bersih usaha. Sedangkan, meningkatnya Indonesia Crude Price (ICP) tidak begitu memberatkan biaya operasional PLN. Pasalnya, penggunaan BBM dalam bauran energi Pembangkit PLN tinggal 5,9%. Sedangkan penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT), yang sumber dayanya tersedia di dalam negeri, semakin meningkat, yang mencapai 12%. Kapasitas pembangkit EBT akan meningkat lagi dengan beroperasinya Pembangkit Tenaga Bayu (Wind Power Plant) 75 MW di Sulawesi Selatan.
Dari Laporan Keuangan 2018 audited itu tidak berlebihan dikatakan bahwa kinerja keuangan PLN 2018 meningkat cukup signifikan dibanding 2017. Peningkatan kinerja itu bukan karena pemolesan laporan keuangan. Namun lebih karena peningkatan penjualan, efisiensi operasi, serta dukungan Pemerintah melalui DMO Batubara, serta penghasilan konpensasi dari pemerintah dan optimalisasi pembelian gas. Di samping itu, membaiknya kinerja PLN itu juga dikarenakan penguatan kurs mata uang rupiah terhadap kurs US Dollar, sehingga menurunkan unrealized loss dan penurunan harga ICP pada trilwulan keempat, dibanding dengan triwulan ketiga 2018.
(mhd)