Pelajaran atas Pemblokiran Media Sosial
A
A
A
Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI
AKHIRNYA masyarakat Indonesia, khususnya warganet, kembali tersenyum lega setelah tiga hari lamanya dibuat manyun dan gundah gulana akibat pemblokiran media sosial (medsos) oleh pemerintah. Pemerintah dengan jurus mautnya, demi keamanan nasional, memblokir jejaring sosial WhatsApp , Facebook, dan Instagram , khususnya untuk memposting foto dan video. Praktis, akibat pemblokiran itu nyaris aktivitas warganet yang saat ini jumlahnya sekitar 172-jutaan lumpuh. Rupanya pemblokiran itu juga melumpuhkan aktivitas digital ekonomi masyarakat yang saat ini gandrung dengan belanja online atau daring.
Secara awam pemblokiran itu bisa dikatakan melanggar hak-hak konsumen dan bahkan melanggar hak publik secara luas. Banyak yang mendalilkan bahwa pemblokiran itu melanggar konstitusi, khususnya melanggar Pasal 28 huruf F Undang-Undang Dasar 1945. Juga dianggap melanggar hak-hak konsumen yang dijamin dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Namun, aksi pemblokiran media sosial oleh pemerintah bisa dipahami mengingat kondisi aktual yang kala itu sudah merongrong keamanan nasional dan negara. Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi di banyak negara lainnya, khususnya fenomena Arab Spring di Timur Tengah. Aksi pemblokiran itu bahkan bisa dibilang terlambat. Sebab, selama masa kampanye pemilihan presiden (pilpres) praktis masyarakat Indonesia sudah kadung terbelah, terfragmentasi dalam kelompok-kelompok yang menjurus pada "radikalisasi" terhadap calon presiden pujaannya.
Namun, aksi pemerintah memblokir media sosial ini harus menjadi pelajaran berharga, bukan hanya bagi pemerintah, tetapi juga masyarakat. Ada beberapa hal krusial yang harus dicermati terkait hal ini.
Pertama, bukti bahwa ketergantungan masyarakat terhadap internet dan media sosial sudah sangat tinggi. Bahkan, masyarakat sudah pada level addict , kecanduan terhadap internet dan media sosial. Aktivitas masyarakat nyaris tak bisa dipisahkan dengan media sosial dan instrumen over the top seperti WhatsApp . Jika dirujuk pada data, ini fenomena yang rasional. Sebab, masyarakat Indonesia memang menjadi pengguna media sosial terbesar di dunia seperti Facebook , Twitter , Instragram , dll sehingga sedikit saja ada gangguan kualitas internet dan media sosial, seolah dunia menjadi gelap. Apalagi, sampai diblokir oleh pemerintah seperti pekan lalu, ah, rasanya seperti kiamat saja.
Kedua, bukti bahwa internet dan media sosial sudah menjadi salah satu "panglima" di sektor ekonomi, yakni ekonomi yang berbasis digital. Salah satu garda depan wujud digital ekonomi adalah e -commerce alias belanja daring (belanja online ). Akibat pemblokiran itu, aktivitas ekonomi yang berbasis e-commerce praktis lumpuh, karena pihak pedagang atau market place-n ya tidak bisa berkomunikasi interaktif dengan konsumennya. Padahal, selama ini dalam rangka menawarkan produknya, mereka berkomunikasi (berpromosi) dengan konsumennya via gambar/foto dan video yang di-posting di laman media sosialnya atau di-share via WhatsApp . Maka, tidak aneh jika selama tiga hari masa pemblokiran itu asosiasi pedagang online mengaku terpukul berat, menderita kerugian sebesar Rp628 miliar per hari! Bisa dibayangkan dampaknya jika pemblokiran itu sampai berhari-hari, berminggu-minggu, atau bahkan diblokir selamanya seperti kasus di Negeri Tirai Bambu China.
Ketiga, akhir-akhir ini, yang tak bisa dilepaskan dari pilpres dan pemilihan anggota legislatif (pileg) adalah maraknya berita bohong (hoaks), berita fitnah yang menjurus pada aksi provokatif. Ini memang sangat marak dan sangat meresahkan. Setiap detik berseliweran berita bohong seputar politik, agama, bahkan kesehatan. Kuatnya distribusi hoaks tak bisa dilepaskan oleh masih rendahnya literasi digital masyarakat. Ini sejatinya hal yang ironis di tengah derasnya gempuran era digital, tetapi literasi digital masyarakat Indonesia masih jauh dari memadai. Akibat masih rendahnya literasi digital ini, masyarakat sulit (dan juga malas) membedakan mana berita faktual dan mana berita palsu, bohong alias hoaks. Dan, lebih celaka lagi, rendahnya literasi digital tak bisa dipisahkan dengan kenyataan masih sangat rendahnya literasi masyarakat Indonesia dalam membaca buku. Terbukti, menurut data PBB, literasi membaca buku masyarakat Indonesia terendah kedua di dunia dengan skor 1:1.000. Artinya, dari seribu orang Indonesia yang aktif membaca buku, hanya satu orang! Maka, pantaslah jika mayoritas masyarakat begitu memercayai sebuah berita digital. Rata-rata hanya membaca judulnya, tanpa mencerna substansinya, atau mencari sumber berita yang lainnya, dan kemudian langsung men-share ke pihak lainnya. Hebohlah berita tersebut dan menjadi viral. Seperti dugaan adanya polisi asing (dari China) yang terbukti hoaks. Sebab, polisi yang bersangkutan ternyata berkewarganegaraan Indonesia, asli dari Manado.
Lalu, langkah apa yang harus diperbaiki dan diantisipasi untuk ke depannya agar aksi pemblokiran tidak terulang?
Kita berharap bahwa aksi pemblokiran oleh pemerintah terhadap media sosial adalah pertama kali dan terakhir (tak perlu terulang). Sebab, bagaimanapun, aksi pemblokiran itu terbukti sangat kontra produktif dan menjadi preseden buruk. Oleh karena itu, pemerintah harus secara jelas dan terukur membuat parameter tentang kondisi darurat plus melakukan mitigasinya. Sebab, pascapemblokiran, masyarakat langsung bermanuver menggunakan akses lainnya untuk tetap menghidupkan medsosnya, yakni dengan menggunakan akses VPN (virtual private number ), khususnya VPN gratisan. Penggunaan VPN, selain membuat aksi pemblokiran kurang efektif, juga terbukti membahayakan konsumennya, terutama terkait penjebolan data pribadi bahkan akun bank miliknya. Seharusnya, saat melakukan pemblokiran, pemerintah juga memberikan public warning perihal sisi bahaya jika masyarakat bermigrasi ke akses VPN. Dan, terbukti beberapa hari setelah menggunakan VPN banyak konsumen mengeluh bahwa akun banknya dijebol. Isi rekeningnya menjadi nol, kosong melompong.
Dan, bagaimanapun, benteng terakhir untuk melawan fenomena berita bohong, berita palsu, fitnah, dan sejenisnya adalah meningkatkan literasi digital masyarakat. Tanpa ada upaya serius dan sistematis untuk meningkatkan literasi digital ini maka fenomena hoaks akan terus marak dan menjadi dagangan yang amat menggiurkan bagi oknum-oknum tertentu. Akibatnya, masyarakat akan semakin bodoh dan gampang dibodohi oleh berita hoaks itu. Pemerintah dan masyarakat punya andil besar untuk mewujudkan ruang cyber yang sehat dan mencerdaskan tanpa kontaminasi berita hoaks, palsu, fitnah, dan sejenisnya. Sebersih dan sesegar udara pegunungan yang nyaris tanpa polusi.
Ketua Pengurus Harian YLKI
AKHIRNYA masyarakat Indonesia, khususnya warganet, kembali tersenyum lega setelah tiga hari lamanya dibuat manyun dan gundah gulana akibat pemblokiran media sosial (medsos) oleh pemerintah. Pemerintah dengan jurus mautnya, demi keamanan nasional, memblokir jejaring sosial WhatsApp , Facebook, dan Instagram , khususnya untuk memposting foto dan video. Praktis, akibat pemblokiran itu nyaris aktivitas warganet yang saat ini jumlahnya sekitar 172-jutaan lumpuh. Rupanya pemblokiran itu juga melumpuhkan aktivitas digital ekonomi masyarakat yang saat ini gandrung dengan belanja online atau daring.
Secara awam pemblokiran itu bisa dikatakan melanggar hak-hak konsumen dan bahkan melanggar hak publik secara luas. Banyak yang mendalilkan bahwa pemblokiran itu melanggar konstitusi, khususnya melanggar Pasal 28 huruf F Undang-Undang Dasar 1945. Juga dianggap melanggar hak-hak konsumen yang dijamin dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Namun, aksi pemblokiran media sosial oleh pemerintah bisa dipahami mengingat kondisi aktual yang kala itu sudah merongrong keamanan nasional dan negara. Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi di banyak negara lainnya, khususnya fenomena Arab Spring di Timur Tengah. Aksi pemblokiran itu bahkan bisa dibilang terlambat. Sebab, selama masa kampanye pemilihan presiden (pilpres) praktis masyarakat Indonesia sudah kadung terbelah, terfragmentasi dalam kelompok-kelompok yang menjurus pada "radikalisasi" terhadap calon presiden pujaannya.
Namun, aksi pemerintah memblokir media sosial ini harus menjadi pelajaran berharga, bukan hanya bagi pemerintah, tetapi juga masyarakat. Ada beberapa hal krusial yang harus dicermati terkait hal ini.
Pertama, bukti bahwa ketergantungan masyarakat terhadap internet dan media sosial sudah sangat tinggi. Bahkan, masyarakat sudah pada level addict , kecanduan terhadap internet dan media sosial. Aktivitas masyarakat nyaris tak bisa dipisahkan dengan media sosial dan instrumen over the top seperti WhatsApp . Jika dirujuk pada data, ini fenomena yang rasional. Sebab, masyarakat Indonesia memang menjadi pengguna media sosial terbesar di dunia seperti Facebook , Twitter , Instragram , dll sehingga sedikit saja ada gangguan kualitas internet dan media sosial, seolah dunia menjadi gelap. Apalagi, sampai diblokir oleh pemerintah seperti pekan lalu, ah, rasanya seperti kiamat saja.
Kedua, bukti bahwa internet dan media sosial sudah menjadi salah satu "panglima" di sektor ekonomi, yakni ekonomi yang berbasis digital. Salah satu garda depan wujud digital ekonomi adalah e -commerce alias belanja daring (belanja online ). Akibat pemblokiran itu, aktivitas ekonomi yang berbasis e-commerce praktis lumpuh, karena pihak pedagang atau market place-n ya tidak bisa berkomunikasi interaktif dengan konsumennya. Padahal, selama ini dalam rangka menawarkan produknya, mereka berkomunikasi (berpromosi) dengan konsumennya via gambar/foto dan video yang di-posting di laman media sosialnya atau di-share via WhatsApp . Maka, tidak aneh jika selama tiga hari masa pemblokiran itu asosiasi pedagang online mengaku terpukul berat, menderita kerugian sebesar Rp628 miliar per hari! Bisa dibayangkan dampaknya jika pemblokiran itu sampai berhari-hari, berminggu-minggu, atau bahkan diblokir selamanya seperti kasus di Negeri Tirai Bambu China.
Ketiga, akhir-akhir ini, yang tak bisa dilepaskan dari pilpres dan pemilihan anggota legislatif (pileg) adalah maraknya berita bohong (hoaks), berita fitnah yang menjurus pada aksi provokatif. Ini memang sangat marak dan sangat meresahkan. Setiap detik berseliweran berita bohong seputar politik, agama, bahkan kesehatan. Kuatnya distribusi hoaks tak bisa dilepaskan oleh masih rendahnya literasi digital masyarakat. Ini sejatinya hal yang ironis di tengah derasnya gempuran era digital, tetapi literasi digital masyarakat Indonesia masih jauh dari memadai. Akibat masih rendahnya literasi digital ini, masyarakat sulit (dan juga malas) membedakan mana berita faktual dan mana berita palsu, bohong alias hoaks. Dan, lebih celaka lagi, rendahnya literasi digital tak bisa dipisahkan dengan kenyataan masih sangat rendahnya literasi masyarakat Indonesia dalam membaca buku. Terbukti, menurut data PBB, literasi membaca buku masyarakat Indonesia terendah kedua di dunia dengan skor 1:1.000. Artinya, dari seribu orang Indonesia yang aktif membaca buku, hanya satu orang! Maka, pantaslah jika mayoritas masyarakat begitu memercayai sebuah berita digital. Rata-rata hanya membaca judulnya, tanpa mencerna substansinya, atau mencari sumber berita yang lainnya, dan kemudian langsung men-share ke pihak lainnya. Hebohlah berita tersebut dan menjadi viral. Seperti dugaan adanya polisi asing (dari China) yang terbukti hoaks. Sebab, polisi yang bersangkutan ternyata berkewarganegaraan Indonesia, asli dari Manado.
Lalu, langkah apa yang harus diperbaiki dan diantisipasi untuk ke depannya agar aksi pemblokiran tidak terulang?
Kita berharap bahwa aksi pemblokiran oleh pemerintah terhadap media sosial adalah pertama kali dan terakhir (tak perlu terulang). Sebab, bagaimanapun, aksi pemblokiran itu terbukti sangat kontra produktif dan menjadi preseden buruk. Oleh karena itu, pemerintah harus secara jelas dan terukur membuat parameter tentang kondisi darurat plus melakukan mitigasinya. Sebab, pascapemblokiran, masyarakat langsung bermanuver menggunakan akses lainnya untuk tetap menghidupkan medsosnya, yakni dengan menggunakan akses VPN (virtual private number ), khususnya VPN gratisan. Penggunaan VPN, selain membuat aksi pemblokiran kurang efektif, juga terbukti membahayakan konsumennya, terutama terkait penjebolan data pribadi bahkan akun bank miliknya. Seharusnya, saat melakukan pemblokiran, pemerintah juga memberikan public warning perihal sisi bahaya jika masyarakat bermigrasi ke akses VPN. Dan, terbukti beberapa hari setelah menggunakan VPN banyak konsumen mengeluh bahwa akun banknya dijebol. Isi rekeningnya menjadi nol, kosong melompong.
Dan, bagaimanapun, benteng terakhir untuk melawan fenomena berita bohong, berita palsu, fitnah, dan sejenisnya adalah meningkatkan literasi digital masyarakat. Tanpa ada upaya serius dan sistematis untuk meningkatkan literasi digital ini maka fenomena hoaks akan terus marak dan menjadi dagangan yang amat menggiurkan bagi oknum-oknum tertentu. Akibatnya, masyarakat akan semakin bodoh dan gampang dibodohi oleh berita hoaks itu. Pemerintah dan masyarakat punya andil besar untuk mewujudkan ruang cyber yang sehat dan mencerdaskan tanpa kontaminasi berita hoaks, palsu, fitnah, dan sejenisnya. Sebersih dan sesegar udara pegunungan yang nyaris tanpa polusi.
(wib)