111 Tahun Kebangkitan Nasional

Rabu, 22 Mei 2019 - 09:04 WIB
111 Tahun Kebangkitan...
111 Tahun Kebangkitan Nasional
A A A
Ruchman Basori
Ketua Pimpinan Pusat Ansor, Kasi Kemahasiswaan Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI

KESADARAN sejarah menjadi sangat penting. Dari situ titik kita berangkat, perahu yang akan kita lewati menuju impian-impian sebagai bangsa. Bangsa yang abai terhadap sejarahnya akan sulitmenapakkan kakinya melewati jengkal demi jengkal kemajuan.

Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908 adalah titik berangkat kita, di saat kita berjuang sendiri-sendiri dan mudah terpecah belah karena pelbagai adu domba jurus maut para penjajah.

Era kerajaan hampir habis digantikan transisi menuju Indonesia modern.

111 tahun yang lalu lahir organisasi sosial, ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan Budi Utomo. Diprakarsai oleh kalangan terpelajar seperti Dr Soetomo dan para pelajar School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) di antaranya Goenawan Mangoen Koesoemo, Soeraji, dan Suryadi Soeryaningrat (Ki Hadjar Dewantara). Penggagasnya adalah Dr Wahidin Soedirohusodo.



Membaca sejarah kebangkitan nasional seperti membaca diri kita sendiri saat ini. Saat kita mulai tercabik-cabik oleh pelbagai perbedaan yang sulit dipertemukan. Saling curiga, saling menyalahkan dari konsumsi informasi yang penuh dengan kebohongan (hoaks). Fitnah dan fenomena merasa benar sendiri (truth claim) yang juga terjadi dalam diksi-diksi keagamaan sulit rasanya mengakhirinya. Bahkan di antara saudara kita sudah berani mengafirkan yang lain. Sebuah diksi yang sangat mengerikan bagi perkembangan kebangsaan dan keagamaan kita.



Tiga Masalah

Setidaknya ada tiga masalah besar yang melingkupi bangsa Indonesia dalam konteks kehidupan, meminjam istilah Ketua Umum GP Ansor Yaqut Cholil Qaumas. Pertama, munculnya kelompok yang ingin mempertanyakan konsensus nasional, yang telah diijtihadkan oleh bapak pendiri bangsa.

Kelompok ini kerap mengusung ideologi khilafah, padahal Pancasila dan NKRI dianggap telah final. Kenyataan kita adalah sebagai bangsa yang majemuk, plural menjadi kesadaran bersama, karenanya dirumuskan Bhinneka Tunggal Ika. Bagi mereka, Pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 45 tidak sesuai dengan konsep dasar negara Islam.

Kedua, munculnya kelompok yang kerap mengklaim kebenaran agama. Mereka merasa diri dan kelompoknya yang paling benar. Cara berpikirnya literalistik dan kadang mengabaikan spirit dari substansi agama. Agama yang rahmah berubah menjadi marah. Nilai dan ajaran kasih sayang, damai, dan toleran menjadi kehilangan elan vital-nya.

Dalam sejarah Islam pernah muncul Abdullah Ibnu Muljam, seorang yang hafidzul Quran, ahli ibadah, dan ahli puasa.

Dengan keyakinannya menuduh Sayyidina Alibin Abi Thalib adalah kafir dan halal darahnya. Karenanya, dia tega membunuh khalifah yang telah dijamin masuk surga oleh Nabi Muhammad SAW itu. Saat ini dikhawatirkan paham dan ideologi takfiri telah mulai berkembang. Muncul generasi Abdullah Ibnu Muljam yang menghilangkan makna keagamaan yang moderat, toleran, dan damai.


Ketiga, munculnya kelompok mayoritas diam. Kebanyakan dari kita cenderung abai melihat berbagai hal yang melingkupi bangsa ini. Abai terhadap wacana yang berkembang, laku yang membahayakan kepentingan bangsa dan berbagai kontestasi yang jauh dari nilai-nilai agama dan kemanusiaan.

Pola-pola dan langgam gerakan yang digunakan mirip-mirip dan bertemu di satu sisi Islam politik; ada yang menyebutnya sebagai politik berbaju agama sebagai fenomena menguatnya politik identitas.

Media sosial (medsos) menjadi instrumen gerakan yang ditempuh oleh saudara-saudara kita saat ini dengan bumbu berita-berita hoaks. Betapa ngerinya hilangnya kesantunan, kesejukan sebagai warga bangsa yang selama ini dikenal sebagai bangsa yang santun dan damai. Ada pribadi yang terbelah antara kepentingan kekuasaan yang dominan dan kepentingan bangsa yang lebih luhur.

Kaum muda harus bangkit dan mengawal kesatuan nasional. Harus muncul kesadaran nasional bahwa kita adalah bangsa besar dengan agenda-agenda besar. 20 Mei adalah titik pijak untuk kita berubah.

Titik berangkat untuk kita merajut kain kebangsaan yang robek karena ulah segelintir saudara sebangsa kita. Kebangkitan Nasional adalah titik bangkit untuk rekonsiliasi nasional pascapemilihan umum dan hajat pergantian kepemimpinan nasional.

111 Tahun Kebangkitan Nasional momentum merajut tali kebinekaan. Walau kita berbeda suku, bangsa, dan agama juga berbeda kepentingan politik, namun yang harus kita kedepankan adalah kepentingan bangsa. Bangsa-bangsa lain di dunia sedang menaruh harapan dan menyanjung kehebatan bangsa kita. Tapi, kenapa kita sendiri sulit merasa bangga atas pelbagai capaian-capaian bangsa yang hebat itu? Wallahu a'lam bi-al shawab.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0545 seconds (0.1#10.140)