Menuju Kesejatian Demokrasi
A
A
A
Musa Maliki
Dosen Hubungan Internasional di UPN Veteran Jakarta, Kandidat PhD di Charles Darwin University Australia
PADA masa peradaban Yunani Kuno atau Islam, hidup berdemokrasi sudah dijalankan dengan batasan-batasan tertentu, baik secara prinsipiil atau secara simbolis dan terminologi. Kehidupan demokrasi ini telah menjadi salah satu entitas penting dalam kehidupan modern. Itu artinya, demokrasi adalah proses panjang menuju kesejatian.
Salah satu prasyarat demokrasi dalam proses kesejatian adalah kritik. Namun, kritik tidak serta-merta berdiri sendiri. Praktik kritik akan mendorong proses menuju kesejatian demokrasi apabila praktik ilmu pengetahuan dijunjung tinggi. Dengan demikian, perjuangan demokrasi hanya bergerak mendekati kesejatian jika diikuti praktik ilmu pengetahuan yang serius dan memadai. Namun, hal itu tidak selalu menghilangkan tragedi umat manusia yang hadir di setiap zaman. Proses kesejatian demokrasi adalah proses usaha manusia untuk belajar dalam mengurangi persoalan-persoalan kemanusiaan.
Matinya Pakar
Sudah banyak ulasan yang membahas tentang melemahnya legitimasi sarjana/ahli atau matinya “sang pengarang”, yakni para ahli yang selama bertahun tahun menekuni ilmu pengetahuan tertentu.
Tom Nichols dalam The Death of Expertise (2017) adalah contoh bagus dari penulis yang mengulas tema tersebut. Menurutnya, matinya ahli di bidangnya selama bertahun-tahun bisa membahayakan kesejatian demokrasi. Demokrasi tanpa ahli/sarjana/ilmu pengetahuan akan menciptakan kerusakan masyarakat (mobokrasi), dan yang lebih buruk lagi kekacauan dan kekerasan.
Melimpahnya informasi di dunia virtual di era teknologi bagi setiap warga dunia memberi setiap akses bagi individu untuk menampilkan pengetahuan yang dianggap benar. Akibatnya tiap orang yang awam pun kini merasa dirinya paling tahu, bahkan merasa lebih tahu dan benar mengenai sesuatu melebihi seseorang yang memang ahli di bidangnya. Jika ada informasi yang bertentangan dengan apa yang dia tidak mau tahu, dengan mudah dia bisa mencari preferensi fakta yang sesuai dengan kehendaknya tanpa percaya pada ahlinya.
Itulah sebabnya kini terdapat sejumlah istilah untuk menyebut mereka yang awam tapi merasa ahli, seperti “ahlinya ahli” atau “pakarnya pakar”. Mereka mengklaim dirinya lebih ahli dari ahli yang sesungguhnya.
Terdapat banyak contoh yang bisa menunjukkan fenomena tersebut. Seorang dokter berkomentar politik seolah-olah dia lebih memahami seluk-beluk politik dibandingkan seorang peneliti politik; seorang ahli ilmu sosial merasa tidak perlu melakukan vaksinasi seolah-olah dia lebih tahu seluk-beluk vaksin ketimbang ahli vaksin; seorang ahli teknik menantang lembaga survei politik seolah-olah dia lebih tahu dari mereka yang kuliah bertahun-tahun tentang metodologi kuantitatif politik.
Oleh karena itu, menjadi wajar jika kritik menghujani para awam yang merasa ahli tersebut. Kritik tanpa modalitas ilmu pengetahuan ibarat kritik tanpa intellectual exercise (aktivitas yang melibatkan cara berpikir dan ditujukan untuk direspons dengan cara berpikir). Celakanya, awamisme kini yang justru memenuhi banyak ruang demokrasi. Ironis dan menyedihkannya, fenomena ini mereka yakini sebagai memang demokrasi sesungguhnya.
Kesejatian Demokrasi
Kritik yang membangun bukanlah kritik yang didasari pada emosi, tetapi yang menggerakkan dua belah pihak atau lebih untuk berpikir. Dengan begitu, kebuntuan berpikir dalam suatu lontaran kritik akan memberi ruang untuk berpikir secara bersama-sama terkait masalah atau isu yang sedang didiskusikan atau diperdebatkan.
Jika salah satu pihak buntu menjawab atau merasa tidak mampu menjawab atas satu isu, secara etik (berdemokrasi) ia seharusnya diam atau memberikan kesempatan pada pihak lain yang lebih ahli untuk menjawabnya. Pada saat inilah, kritik akan mengarahkan kita menuju pada kesejatian demokrasi, karena kritik telah dibekali dengan ilmu pengetahuan. Saya menyebut kritik dengan cara ini sebagai “olahraga” pikir.
Di Indonesia yang terjadi sebaliknya. Kita tahu bahwa masalah demokrasi Indonesia saat ini adalah dominannya kritik yang didasari pada luapan emosi, sakit hati, dan rasa benci. Implikasinya adalah satu pihak menjadi suka menyalahkan pihak lain secara membabi buta. Hal ini tentu saja akan merusak demokrasi dan mendistorsi makna kritik sebagai ”olahraga” pikir.
Padahal kritik sebagai “olahraga” pikir sederhana kerjanya. Ada beberapa contoh yang bisa dijadikan model kritik sebagai “olahraga” pikir, seperti jenis model debat di Australia, Inggris, dan PBB (united nations model) dengan sistemnya masing-masing. Prinsipnya, mereka memperdebatkan suatu isu dengan argumen yang dibangun secara kuat dan konsisten berdasarkan bukti-bukti untuk kemudian saling menghancurkan logika lawan. Ini adalah debat dengan ragam kritik untuk kompetisi kejuaraan. Di Indonesia, kompetisi sejenis bisa dilihat dalam acara cerdas-cermat.
Debat dengan cara ini merupakan proses demokrasi yang sehat. Meski ada negasi dalam kompetisi tersebut, negasi itu didasari pada pengetahuan. Dalam kehidupan bermasyarakat, terkadang kita juga hidup di dalam ruang kooperatif dan berbagi. Ruang itu akan memberi potensi bagi agen demokrasi untuk berbagi kritik dengan cara saling menghormati dan menghargai (mutual respect) demi tercapainya musyawarah/mufakat. Namun, di sini peran ahli di dalam masyarakat tetap menjadi sangat penting. Ahli akan memberi kerangka besar dalam suatu perdebatan yang sehat, serius, dan juga menyuburkan prinsip-prinsip demokratisasi yang sejati.
Singkatnya demokrasi akan menjadi sejati jika ia ditopang oleh para ahli yang berdiskusi semata untuk memecahkan persoalan dengan cara bekerja sama dan saling menghormati, bukan dengan semangat kompetisi saja untuk mengalahkan atau bahkan menghancurkan lawan. Dengan begitu, meski seseorang sudah tahu, merasa tahu, dan paham akan sesuatu selama ia bukan ahlinya, maka sebaiknya dia memilih diam dan bertanya untuk mengklarifikasi dan mendalami isu-isu yang tersembunyi dan kontradiktif. Diam adalah proses perenungan demi memahami isu-isu sampai pada titik di mana suatu kondisi mendorongnya untuk berdiskusi secara sehat dan mendalam. Inilah yang disebut sebagai kesejatian dalam berdemokrasi.
Dosen Hubungan Internasional di UPN Veteran Jakarta, Kandidat PhD di Charles Darwin University Australia
PADA masa peradaban Yunani Kuno atau Islam, hidup berdemokrasi sudah dijalankan dengan batasan-batasan tertentu, baik secara prinsipiil atau secara simbolis dan terminologi. Kehidupan demokrasi ini telah menjadi salah satu entitas penting dalam kehidupan modern. Itu artinya, demokrasi adalah proses panjang menuju kesejatian.
Salah satu prasyarat demokrasi dalam proses kesejatian adalah kritik. Namun, kritik tidak serta-merta berdiri sendiri. Praktik kritik akan mendorong proses menuju kesejatian demokrasi apabila praktik ilmu pengetahuan dijunjung tinggi. Dengan demikian, perjuangan demokrasi hanya bergerak mendekati kesejatian jika diikuti praktik ilmu pengetahuan yang serius dan memadai. Namun, hal itu tidak selalu menghilangkan tragedi umat manusia yang hadir di setiap zaman. Proses kesejatian demokrasi adalah proses usaha manusia untuk belajar dalam mengurangi persoalan-persoalan kemanusiaan.
Matinya Pakar
Sudah banyak ulasan yang membahas tentang melemahnya legitimasi sarjana/ahli atau matinya “sang pengarang”, yakni para ahli yang selama bertahun tahun menekuni ilmu pengetahuan tertentu.
Tom Nichols dalam The Death of Expertise (2017) adalah contoh bagus dari penulis yang mengulas tema tersebut. Menurutnya, matinya ahli di bidangnya selama bertahun-tahun bisa membahayakan kesejatian demokrasi. Demokrasi tanpa ahli/sarjana/ilmu pengetahuan akan menciptakan kerusakan masyarakat (mobokrasi), dan yang lebih buruk lagi kekacauan dan kekerasan.
Melimpahnya informasi di dunia virtual di era teknologi bagi setiap warga dunia memberi setiap akses bagi individu untuk menampilkan pengetahuan yang dianggap benar. Akibatnya tiap orang yang awam pun kini merasa dirinya paling tahu, bahkan merasa lebih tahu dan benar mengenai sesuatu melebihi seseorang yang memang ahli di bidangnya. Jika ada informasi yang bertentangan dengan apa yang dia tidak mau tahu, dengan mudah dia bisa mencari preferensi fakta yang sesuai dengan kehendaknya tanpa percaya pada ahlinya.
Itulah sebabnya kini terdapat sejumlah istilah untuk menyebut mereka yang awam tapi merasa ahli, seperti “ahlinya ahli” atau “pakarnya pakar”. Mereka mengklaim dirinya lebih ahli dari ahli yang sesungguhnya.
Terdapat banyak contoh yang bisa menunjukkan fenomena tersebut. Seorang dokter berkomentar politik seolah-olah dia lebih memahami seluk-beluk politik dibandingkan seorang peneliti politik; seorang ahli ilmu sosial merasa tidak perlu melakukan vaksinasi seolah-olah dia lebih tahu seluk-beluk vaksin ketimbang ahli vaksin; seorang ahli teknik menantang lembaga survei politik seolah-olah dia lebih tahu dari mereka yang kuliah bertahun-tahun tentang metodologi kuantitatif politik.
Oleh karena itu, menjadi wajar jika kritik menghujani para awam yang merasa ahli tersebut. Kritik tanpa modalitas ilmu pengetahuan ibarat kritik tanpa intellectual exercise (aktivitas yang melibatkan cara berpikir dan ditujukan untuk direspons dengan cara berpikir). Celakanya, awamisme kini yang justru memenuhi banyak ruang demokrasi. Ironis dan menyedihkannya, fenomena ini mereka yakini sebagai memang demokrasi sesungguhnya.
Kesejatian Demokrasi
Kritik yang membangun bukanlah kritik yang didasari pada emosi, tetapi yang menggerakkan dua belah pihak atau lebih untuk berpikir. Dengan begitu, kebuntuan berpikir dalam suatu lontaran kritik akan memberi ruang untuk berpikir secara bersama-sama terkait masalah atau isu yang sedang didiskusikan atau diperdebatkan.
Jika salah satu pihak buntu menjawab atau merasa tidak mampu menjawab atas satu isu, secara etik (berdemokrasi) ia seharusnya diam atau memberikan kesempatan pada pihak lain yang lebih ahli untuk menjawabnya. Pada saat inilah, kritik akan mengarahkan kita menuju pada kesejatian demokrasi, karena kritik telah dibekali dengan ilmu pengetahuan. Saya menyebut kritik dengan cara ini sebagai “olahraga” pikir.
Di Indonesia yang terjadi sebaliknya. Kita tahu bahwa masalah demokrasi Indonesia saat ini adalah dominannya kritik yang didasari pada luapan emosi, sakit hati, dan rasa benci. Implikasinya adalah satu pihak menjadi suka menyalahkan pihak lain secara membabi buta. Hal ini tentu saja akan merusak demokrasi dan mendistorsi makna kritik sebagai ”olahraga” pikir.
Padahal kritik sebagai “olahraga” pikir sederhana kerjanya. Ada beberapa contoh yang bisa dijadikan model kritik sebagai “olahraga” pikir, seperti jenis model debat di Australia, Inggris, dan PBB (united nations model) dengan sistemnya masing-masing. Prinsipnya, mereka memperdebatkan suatu isu dengan argumen yang dibangun secara kuat dan konsisten berdasarkan bukti-bukti untuk kemudian saling menghancurkan logika lawan. Ini adalah debat dengan ragam kritik untuk kompetisi kejuaraan. Di Indonesia, kompetisi sejenis bisa dilihat dalam acara cerdas-cermat.
Debat dengan cara ini merupakan proses demokrasi yang sehat. Meski ada negasi dalam kompetisi tersebut, negasi itu didasari pada pengetahuan. Dalam kehidupan bermasyarakat, terkadang kita juga hidup di dalam ruang kooperatif dan berbagi. Ruang itu akan memberi potensi bagi agen demokrasi untuk berbagi kritik dengan cara saling menghormati dan menghargai (mutual respect) demi tercapainya musyawarah/mufakat. Namun, di sini peran ahli di dalam masyarakat tetap menjadi sangat penting. Ahli akan memberi kerangka besar dalam suatu perdebatan yang sehat, serius, dan juga menyuburkan prinsip-prinsip demokratisasi yang sejati.
Singkatnya demokrasi akan menjadi sejati jika ia ditopang oleh para ahli yang berdiskusi semata untuk memecahkan persoalan dengan cara bekerja sama dan saling menghormati, bukan dengan semangat kompetisi saja untuk mengalahkan atau bahkan menghancurkan lawan. Dengan begitu, meski seseorang sudah tahu, merasa tahu, dan paham akan sesuatu selama ia bukan ahlinya, maka sebaiknya dia memilih diam dan bertanya untuk mengklarifikasi dan mendalami isu-isu yang tersembunyi dan kontradiktif. Diam adalah proses perenungan demi memahami isu-isu sampai pada titik di mana suatu kondisi mendorongnya untuk berdiskusi secara sehat dan mendalam. Inilah yang disebut sebagai kesejatian dalam berdemokrasi.
(mhd)