Menuju Kesejatian Demokrasi

Jum'at, 17 Mei 2019 - 08:00 WIB
Menuju Kesejatian Demokrasi
Menuju Kesejatian Demokrasi
A A A
Musa Maliki

Dosen Hubungan Internasional di UPN Veteran Jakarta, Kandidat PhD di Charles Darwin University Australia

PADA masa per­adab­an Yunani Kuno atau Islam, hidup berdemo­krasi su­dah dijalankan dengan batasan-batasan tertentu, baik secara prinsipiil atau secara simbolis dan terminologi. Ke­hidup­an demokrasi ini telah menjadi salah satu entitas pen­ting dalam kehidup­an modern. Itu artinya, demokrasi adalah proses pan­jang menuju ke­sejatian.

Salah satu prasyarat demo­krasi dalam proses kesejatian adalah kritik. Namun, kritik tidak serta-merta berdiri sen­diri. Praktik kritik akan mendorong proses menuju ke­sejatian demo­krasi apabila praktik ilmu penge­tahuan dijunjung tinggi. Dengan demikian, perjuangan demokrasi hanya bergerak men­­dekati kesejatian jika diikuti praktik ilmu pengetahuan yang serius dan memadai. Namun, hal itu tidak selalu meng­hilang­kan tragedi umat manusia yang hadir di setiap zaman. Proses kesejatian demokrasi adalah proses usaha manusia untuk belajar dalam mengurangi persoalan-persoalan kemanusiaan.

Matinya Pakar

Sudah banyak ulasan yang membahas tentang melemah­nya legitimasi sarjana/ahli atau mati­nya “sang pengarang”, yakni para ahli yang selama bertahun tahun mene­kuni ilmu pengetahuan ter­tentu.

Tom Nichols dalam The Death of Expertise (2017) adalah contoh bagus dari penulis yang mengulas tema tersebut. Menurutnya, mati­nya ahli di bidangnya selama ber­tahun-tahun bisa mem­bahaya­kan ke­sejatian de­mo­krasi. Demokrasi tanpa ahli/sar­jana/ilmu penge­tahu­an akan men­ciptakan ke­rusakan ma­syarakat (mobokrasi), dan yang lebih buruk lagi ke­kacauan dan ke­kerasan.

Melimpahnya informasi di dunia virtual di era teknologi bagi setiap warga dunia mem­beri setiap akses bagi individu untuk menam­pilkan penge­tahu­an yang dianggap benar. Akibatnya tiap orang yang awam pun kini merasa dirinya paling tahu, bahkan merasa lebih tahu dan benar mengenai sesuatu me­lebihi sese­orang yang memang ahli di bidang­nya. Jika ada informasi yang bertentangan de­ngan apa yang dia tidak mau tahu, dengan mudah dia bisa mencari preferensi fakta yang sesuai dengan kehendaknya tanpa per­caya pada ahlinya.

Itulah sebabnya kini ter­dapat sejumlah istilah untuk menyebut mereka yang awam tapi merasa ahli, seperti “ahli­nya ahli” atau “pakarnya pakar”. Mereka meng­klaim dirinya lebih ahli dari ahli yang sesungguhnya.

Terdapat banyak contoh yang bisa menunjukkan feno­mena ter­sebut. Seorang dokter berkomentar politik seolah-olah dia lebih me­mahami seluk-beluk politik dibandingkan se­orang pe­neliti politik; se­orang ahli ilmu sosial me­rasa tidak perlu melakukan vaksinasi seolah-olah dia lebih tahu seluk-beluk vaksin ketimbang ahli vaksin; seorang ahli teknik menantang lem­baga survei politik seolah-olah dia lebih tahu dari me­reka yang kuliah bertahun-tahun tentang meto­dologi kuan­titatif politik.

Oleh karena itu, menjadi wajar jika kritik menghujani para awam yang merasa ahli ter­sebut. Kritik tanpa modalitas ilmu pengetahuan ibarat kritik tanpa intellectual exercise (aktivitas yang melibatkan cara ber­pikir dan ditujukan untuk direspons de­ngan cara ber­pikir). Celakanya, awamisme kini yang justru me­menuhi banyak ruang demo­krasi. Ironis dan menyedihkan­nya, feno­mena ini mereka yak­ini sebagai me­mang demo­krasi se­sungguhnya.

Kesejatian Demokrasi

Kritik yang membangun bukan­lah kritik yang didasari pada emosi, tetapi yang meng­gerakkan dua belah pihak atau lebih untuk berpikir. Dengan begitu, kebuntuan berpikir da­lam suatu lontaran kritik akan mem­beri ruang untuk berpikir secara bersama-sama terkait masalah atau isu yang sedang didiskusikan atau diperdebatkan.

Jika salah satu pihak buntu menjawab atau merasa tidak mampu menjawab atas satu isu, secara etik (berdemokrasi) ia se­harusnya diam atau mem­beri­kan kesempatan pada pihak lain yang lebih ahli untuk men­jawabnya. Pada saat inilah, kritik akan mengarahkan kita menuju pada ke­sejatian demo­krasi, ka­rena kritik te­lah di­bekali de­ngan ilmu pe­nge­­tahu­an. Saya menyebut kritik de­ngan cara ini sebagai “olahraga” pikir.

Di Indonesia yang terjadi se­balik­nya. Kita tahu bahwa ma­salah demokrasi Indonesia saat ini adalah dominannya kritik yang didasari pada luap­an emosi, sakit hati, dan rasa benci. Implikasinya adalah satu pihak menjadi suka me­nyalahkan pihak lain secara mem­b­abi buta. Hal ini tentu saja akan merusak demokrasi dan mendistorsi makna kritik sebagai ”olahraga” pikir.

Padahal kritik sebagai “olah­raga” pikir sederhana kerja­nya. Ada beberapa contoh yang bisa dijadikan mo­del kritik sebagai “olah­raga” pikir, seperti jenis model debat di Aus­tralia, Inggris, dan PBB (united nations model) de­ngan sistemnya masing-masing. Prinsipnya, me­reka mem­per­debat­kan suatu isu de­ngan argumen yang di­bangun secara kuat dan konsisten ber­dasarkan bukti-bukti untuk kemu­dian saling menghan­cur­kan log­ika lawan. Ini adalah debat de­ngan ragam kritik untuk kompetisi ke­juaraan. Di Indonesia, kompetisi sejenis bisa dilihat dalam acara cerdas-cermat.

Debat dengan cara ini me­rupa­kan proses demokrasi yang sehat. Meski ada negasi dalam kompetisi tersebut, negasi itu didasari pada pengetahuan. Dalam kehidupan bermasya­ra­kat, terkadang kita juga hidup di dalam ruang kooperatif dan ber­bagi. Ruang itu akan mem­beri potensi bagi agen demo­krasi untuk berbagi kritik de­ngan cara saling menghormati dan meng­hargai (mutual respect) demi ter­capainya musyawarah/mu­fa­kat. Namun, di sini peran ahli di dalam masyarakat tetap men­jadi sangat penting. Ahli akan memberi kerangka besar dalam suatu perdebatan yang sehat, serius, dan juga menyuburkan prinsip-prinsip demokratisasi yang sejati.

Singkatnya demokrasi akan menjadi sejati jika ia ditopang oleh para ahli yang berdiskusi semata untuk memecahkan persoalan dengan cara bekerja sama dan saling menghormati, bukan dengan semangat kom­petisi saja untuk mengalahkan atau bahkan meng­hancurkan lawan. Dengan begitu, meski seseorang sudah tahu, me­rasa tahu, dan paham akan sesuatu selama ia bukan ahlinya, maka sebaiknya dia memilih diam dan bertanya untuk meng­klarifi­kasi dan mendalami isu-isu yang ter­sembunyi dan kontra­diktif. Diam adalah proses pe­renungan demi memahami isu-isu sampai pada titik di mana suatu kondisi men­dorongnya untuk berdiskusi secara sehat dan mendalam. Inilah yang di­sebut sebagai kesejatian dalam ber­demokrasi.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8369 seconds (0.1#10.140)