Berkelit dari Stagnasi Pertumbuhan Ekonomi

Selasa, 14 Mei 2019 - 08:15 WIB
Berkelit dari Stagnasi...
Berkelit dari Stagnasi Pertumbuhan Ekonomi
A A A
Desmon Silitonga
Riset Analis PT Capital Asset Management, Alumnus Pascasarjana FE UI

BADAN Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis pertumbuhan ekonomi domestik kuartal I-2019 yang mencapai 5,07% (yoy). Hasil ini turun dibandingkan dengan kuartal IV-2018 sebesar 5,18% (yoy), meski lebih baik dibandingkan kuartal I-2018 sebesar 5,06% (yoy). Meski begitu, realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal I-2019 ini masih jauh di bawah konsensus ekonom dan pelaku pasar sebesar 5,19%.

Pertumbuhan ekonomi ini ditopang oleh konsumsi rumah tangga yang tumbuh sebesar 5,01% (yoy), belanja pemerintah yang tumbuh sebesar 5,21% (yoy), dan pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang tumbuh sebesar 5,03% (yoy). Sementara itu, ekspor dan impor tumbuh negatif masing-masing sebesar 2,1% (yoy) dan 7,75% (yoy).

Secara sektoral, pertumbuhan ekonomi ini masih tetap ditopang oleh sektor-sektor nontradeable, seperti jasa perusahaan yang tumbuh sebesar10,4% (yoy), jasa kesehatan dan kegiatan sosial yang tumbuh sebesar 8,6% (yoy), informasi dan komunikasi yang tumbuh sebesar 9,03% (yoy), dan jasa keuangan dan asuransi yang tumbuh sebesar 7,3% (yoy).

Sementara itu, sektor-sektor tradeable yang menjadi tumpuan penyerapan tenaga kerja hanya mampu tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi domestik, yaitu pertanian tumbuh sebesar 1,6% (yoy), sektor pertambangan dan penggalian tumbuh sebesar 2,3% (yoy), dan sektor pengolahan tumbuh sebesar 3,6% (yoy).

Dari realisasi pertumbuhan ekonomi ini, kita dapat menyimpulkan bahwa perekonomian domestik belum mampu berkelit dari stagnasi. Dalam satu dekade terakhir, rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional memang terus turun. Sepanjang 2014-2018, rata-rata pertumbuhan ekonomi hanya sebesar 5%. Lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan ekonomi sepanjang 2010–2013 sebesar 6,1%.

Era Slowbalation
Meski pertumbuhan ekonomi stagnan di level 5% dalam empat tahun terakhir, dibandingkan dengan negara lain capaian ini tetap harus diapresiasi. Tidak banyak negara yang perekonomiannya tumbuh 5%, apalagi di negara-negara dengan nilai nominal produk domestik bruto (PDB) sebesar USD1 triliun. Saat ini hanya 15 negara dengan yang masuk klub perekonomian USD1 triliun, termasuk Indonesia di dalamnya.

Perekonomian global saat ini sedang memasuki era kelesuan pertumbuhan. Hal ini dapat dibaca dari laporan World Economic Outlook (WEO) yang dirilis oleh Dana Moneter International (IMF) pada April 2019, yang kembali memangkas pertumbuhan ekonomi global tahun 2019 menjadi 3,3% (yoy) dari proyeksi Oktober 2018 sebesar 3,9% (yoy).

Perekonomian global saat ini sedang memasuki sebuah era slowbalisation. Istilah ini meminjam dari editorial majalah The Economist yang terbit pada 26 Januari 2019. Era ini ditandai dengan kinerja perdagangan global yang bergerak bak siput, melambatnya pertumbuhan investasi langsung (FDI), perang dagang yang tidak menemukan solusi, meningkatnya tensi geopolitik, melambatnya pertumbuhan kredit perbankan, dan makin populisnya kebijakan ekonomi.

Meski begitu, capaian pertumbuhan ekonomi domestik ini harus terus didorong lebih tinggi. Apalagi, merujuk dari data historis, Indonesia pernah mencapai pertumbuhan yang sangat tinggi. Dalam era ‘80-an, rata-rata pertumbuhan ekonomi mencapai 10%. Rata-rata pertumbuhan ekonomi sepanjang 1994-1996 menyentuh level 7–8%, sehingga jika berkaca dari data historis ini maka potensi perekonomian Indonesia untuk tumbuh lebih tinggi dari realisasi saat ini sangatlah besar.

Bagaimanapun, jika pertumbuhan ekonomi hanya tetap tumbuh rata-rata sebesar 5%, bonus demografi yang saat ini dinikmati oleh Indonesia bisa berubah jadi kutukan bagi perekonomian. Selain itu, Indonesia akan kesulitan menjajarkan diri sebagai negara kaya, seperti ramalan jangka panjang yang dilakukan oleh berbagai lembaga keuangan dunia, seperti Standard Chartered Plc.

Struktur Ekonomi
Masalahnya, ketika pertumbuhan ekonomi dipacu lebih tinggi maka memicu efek samping, yaitu mesin ekonomi menjadi panas (overheating),yang ditandai dengan inflasi yang bergerak naik, defisit transaksi berjalan yang melebar, dan rupiah yang melemah. Hal ini masih menjadi masalah laten yang belum teratasi sampai saat ini.

Maka ketika perekonomian memasuki zona pemanasan, respons kebijakan jangka pendek ialah melalui pengetatan moneter dengan menaikkan suku bunga. Dampaknya akan memukul daya beli dan menekan kinerja sektor riil. Hasilnya, pertumbuhan ekonomi melambat. Siklus seperti ini akan terus berulang jika tidak ada perombakan dalam struktur perekonomian.

Situasi makin sulit dan kompleks karena harga komoditas yang lesu, meningkatnya eskalasi perang dagang antarnegara, dan gejolak pasar keuangan global yang makin sulit diperkirakan. Tingginya ketergantungan perekonomian Indonesia terhadap pendanaan eksternal, khususnya melalui surat utang, membuat ketidakpastian dari pasar keuangan global bisa berimbas pada perekonomian domestik secara keseluruhan.

Hal ini terjadi pada 2018. Kenaikan suku bunga yang dilakukan oleh Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) memicu masifnya aliran modal keluar dari pasar modal. Dampaknya membuat nilai tukar rupiah melemah yang diikuti dengan volatilitas yang meningkat, sehingga untuk meredam pelemahan rupiah ini Bank Indonesia harus menaikkan suku bunga secara agresif. Dampaknya, pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan mengalami pelambatan.

Memperkuat Sektor Industri
Untuk melepaskan perekonomian dari permasalahan laten dan lingkaran setan ini, pembenahan struktur perekonomian harus dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan. Salah satu titik lemah dari struktur perekonomian Indonesia ialah makin meluruhnya kontribusi dari sektor manufaktur. Bahkan, pertumbuhan sektor manufaktur cenderung berada di bawah pertumbuhan ekonomi domestik.

Padahal, tidak ada negara yang perekonomiannya tumbuh kuat dan berkesinambungan tanpa ditopang oleh sektor manufaktur, seperti Thailand, China, dan Korea Selatan. Sektor manufaktur dapat meningkatkan daya saing produk ekspor dan sekaligus mendorong penciptaan lapangan kerja.

Pemerintah sesungguhnya menyadari titik lemah ini. Itulah sebabnya, berbagai deregulasi telah dilakukan oleh pemerintah secara besar-besaran sejak 2015. Selain itu, pemerintah juga terus membangun berbagai sarana infrastruktur untuk menciptakan konektivitas dan mengurangi biaya logistik. Indonesia merupakan negara dengan biaya logistik tertinggi dibandingkan dengan negara sekawasan.

Meski begitu, pembangunan infrastruktur belum cukup untuk menghadirkan sektor industri yang kuat. Dibutuhkan dukungan lainnya, seperti regulasi yang ramah investasi, akses pembiayaan, dukungan kelembagaan, penguatan riset dan teknologi, dan mendorong keterampilan sumber daya manusia (SDM).

Sejauh ini, pemerintah telah mengarahkan kebijakan ke arah tersebut. Di sinilah komitmen, konsistensi, dan keberlanjutan dibutuhkan. Selain itu, mengingat ini pekerjaan besar dengan kompleksitas yang tidak mudah maka kolaborasi dan sinergi semua pihak dibutuhkan.

Presiden sebagai kepala pemerintahan harus dapat menghadirkan kepemimpinan yang kuat dan menginspirasi. Hanya dengan jalan ini, pertumbuhan ekonomi bisa berkelit dari stagnasi serta memberikan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat seperti yang diamanatkan oleh konstitusi. Semoga!
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0583 seconds (0.1#10.140)