Kebudayaan Solusi Keutuhan NKRI

Jum'at, 10 Mei 2019 - 06:43 WIB
Kebudayaan Solusi Keutuhan NKRI
Kebudayaan Solusi Keutuhan NKRI
A A A
Nadjamuddin Ramly
Dosen FKIP Universitas Tadulako Palu, Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Kemendikbud

SETELAH pemungutan suara pemilu (17 April 2019), interaksi politik dirasakan makin mencemaskan dan mengkhawatirkan dengan munculnya berbagai bentuk sentimen atas perbedaan pilihan pasangan calon presiden. Yang terjadi kini adalah fenomena politik kebencian yang menimbulkan permusuhan berlarut.

Politik kebencian tersebut mengeksploitasi isu politik ideologi, sentimen moralitas agama, dan nasionalisme sempit oleh aktor negara dan bukan negara yang mengajak para pengikutnya dan masyarakat luas untuk membenci mereka yang dianggap berbeda.

Akibatnya, kesadaran berbangsa dan bernegara semakin terpuruk karena rendahnya etika sosial dan habitus politik, dan jika tidak terkendali maka terjadilah perpecahan yang akan membawa dampak politik dan sosial yang berkepanjangan yang bermuara pada disintegrasi bangsa.

Budaya Fondasi Berbangsa dan Bernegara

Padahal, sejak lama kesadaran berbangsa sudah menjadi wacana pelik bagi para pendiri bangsa dengan mengaitkannya pada permasalahan terpuruknya nilai-nilai budaya dalam masyarakat. Sejak 1918, Kongres Kebudayaan (KK) pertama digelar di antara dua peristiwa penting, yaitu lahirnya Boedi Oetomo (1908) dan Sumpah Pemuda (1928).

Kongres Kebudayaan ini disebut sebagai peristiwa budaya yang bersejarah karena pranata awal kebangkitan "kesadaran tentang nasib budaya bangsa", di samping "lahirnya kesadaran berbangsa". Seiring tumbuhnya kesadaran berbangsa, tumbuh pula kesadaran untuk menentukan konsep, kebijakan, dan strategi pemajuan kebudayaan ke depan. Sejak itu, kesadaran berbangsa dan memajukan kebudayaan menjadi isu-isu hangat dan perdebatan bagi para pendiri bangsa sebagai solusi pemerintahan dan arah pembangunan.

Dalam Kongres Kebudayaan 1948, Mohammad Hatta mengatakan, "Pemerintahan sesuatu negara dapat hidup subur apabila kebudayaannya tinggi tingkatnya, karena kebudayaan berpengaruh pula pada sifat pemerintahan negara. Kebudayaan lambat laun mesti sangat kuat tumbuhnya, karena kebudayaan adalah ciptaan hidup daripada sesuatu bangsa".

Trisakti Bung Karno

Belum lagi ketika kita mencermati rumusan Trisakti oleh Bung Karno sebagai tiga prinsip kemandirian berbangsa dan bernegara dalam pola pembangunan nasional. Sejak 1964, Presiden Soekarno menggagas Trisakti sebagai jalan revolusi bangsa akibat gencarnya ancaman, yang disebutnya, neokolonialisme-kolonialisme-imperialisme (Nekolim), terutama melekatnya kapitalisme liberal ke dalam sistem pemerintahan Indonesia setelah kemerdekaan.

Pesan Soekarno kepada bangsa ini tersirat bahwa kekuatan budaya merupakan kekuatan utama dalam membangun negara ini. Kebudayaan merupakan DNA-nya Indonesia dan merupakan potensi yang harus dioptimalkan agar dapat bersaing dengan negara lain. Indonesia harus memiliki karakter yang berbeda dengan negara-negara lain di dunia dan mengenali dirinya sendiri untuk menentukan arah.

Menjadi bangsa besar dan kuat, dengan terus mengembangkan kekayaan budaya yang kita miliki. Dapat disimpulkan di sini bahwa budaya memiliki peranan yang sangat penting pada dimensi yang mendasar. Budaya mestinya tidak hanya dipandang sebagai tontonan kesenian dalam bentuk seni tari, pertunjukan, lukis, patung, maupun seni lainnya. Budaya mestinya dipandang sekaligus sebagai tuntunan. Budaya berfungsi sebagai tuntunan berupa norma-norma, nilai-nilai kemasyarakatan, tata kelakuan, religi, filsafat, dan ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan.

Ketika hal ini sudah terpahami, kita dapat percaya bahwa pembangunan berbasis budaya di Indonesia adalah peluang yang harus direbut, karena begitu banyak warisan tradisi yang dimiliki. Indonesia merupakan tambang emas budaya yang seharusnya bisa mengangkat kekayaan budayanya untuk pembangunan nasional dan bersaing di kancah internasional.

Berkepribadian dengan kebudayaan Indonesia dari Trisakti Bung Karno ini, memberikan pesan mendalam bahwa jikalau pun Indonesia sudah mengalami kemajuan yang pesat dan supermodern maka tetaplah kita menjadi orang Indonesia yang teguh mewujudkan sebuah bangsa yang senantiasa kokoh dan konsisten berkepribadian Indonesia, selalu dan selamanya.

Hal ini juga memberikan metafora, apa pun masalah kita sebagai sebuah bangsa pascademokrasi pemilu dan pilpres dua pekan yang lalu seyogianya kebudayaan Indonesia diletakkan menjadi kiblat dan tuntunan bagi semua anak bangsa dalam memecahkan seluruh masalah yang dihadapinya, yang juga merupakan solusi menyeluruh bagi utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4738 seconds (0.1#10.140)