Masa Depan Cerah Pangan dan Pertanian RI

Selasa, 07 Mei 2019 - 07:19 WIB
Masa Depan Cerah Pangan...
Masa Depan Cerah Pangan dan Pertanian RI
A A A
Para pelaku pem­bangunan sektor pertanian, ter­ma­suk tanaman pa­ngan, telah bekerja keras untuk mendorong pembangunan per­tanian tumbuh se­cara positif. Salah satu indi­ka­tor per­tum­buh­an positif pem­bangun­an per­tani­an dapat dilihat dari tren produk do­mestik bruto (PDB) tanaman pangan Indo­nesia.

Pada awal kepemimpinan Kementerian Pertanian (Kemen­tan) diambil alih oleh Mentan Andi Amran Sulaiman (akhir 2014), PDB tanaman pangan tercatat hanya 0,06%. Padahal, pada dua tahun se­belumnya bahkan menyen­tuh 1,97 dan kemudian minus. Tapi pada 2015, PDB sektor per­tani­an telah tumbuh signifikan se­besar 4,32%.

Kementan sebagai fasilita­tor pembangunan pertanian pun melakukan upaya-upaya stra­tegis untuk mendorong per­tum­buhan sektor pertani­an, ter­masuk ta­nam­­an pangan. Salah satu pro­gram yang telah dijalan­kan adalah Program Upaya Khusus Pajale (padi, jagung, kedelai). Program ini merupakan salah satu tero­bos­an Kementan di bawah kepe­mim­pinan Amran Sulaiman yang ditujukan untuk me­ning­katkan produksi tiga komo­ditas pangan strategis tersebut.

Selain itu, Kementan juga memfokuskan anggaran pem­bangunan pertanian untuk sa­rana dan prasarana pertanian, seperti rehabilitasi jaringan irigasi seluas 3,5 juta hektare, mekanisasi 460.000 unit alat mesin pertanian, distribusi jutaan benih unggul, pupuk ber­subsidi, asuransi usaha tani, serta beragam sarana dan pra­sarana pertanian lainnya.

Data BPS menunjukkan bahwa berdasarkan harga kon­stan 2010, pertumbuhan PDB sektor pertanian selama kurun 2015-2018 terus meningkat se­tiap tahunnya. Pada 2015 tum­buh sebesar 3,00%; dan pada 2016 dan 2017 tumbuh masing-masing 3,26% dan 3,57%. Pada 2018 tumbuh 3,68% dan lebih tinggi dari target 3,5%.

Bukan Sekadar Deretan Angka

Bagaimana membuktikan catatan BPS bahwa PDB sektor tanaman pangan me­mang benar mening­kat? Agar tak se­kadar berbicara deretan ang­ka di atas kertas, beberapa hal berikut kiranya bisa men­jadi bukti konfir­masi di lapangan.

Pada awal 2019 ini, peme­rintah me­lalui Kementan telah me­minta Badan Urus­an Logis­tik (Bulog), ter­masuk semua pihak yang terlibat di sektor pertanian, agar melaku­kan penyerapan ga­bah hasil panen raya di sejumlah daerah. Langkah ini dilakukan untuk menjaga sta­bilitas harga gabah yang meng­alami penu­run­an karena produksi padi yang me­limpah. Mentan meng­ingatkan bahwa pembelian harga gabah petani tidak boleh di bawah Rp4.070, sesuai harga acuan pembelian oleh Bulog.

Kinerja sektor pangan na­sio­nal khususnya beras, telah menarik perhatian Lembaga Pangan Malaysia Bernas yang telah membuka peluang kerja sama perdagangan dengan Perum Bulog. Kepala Depar­temen Industri Penelitian dan Analisa Bernas menyampaikan Bernas Malaysia sudah sejak lama mengetahui kualitas beras Bulog yang baik. Sehing­ga perlu dilakukan kerja sama lebih serius yang bisa mem­beri­kan banyak manfaat dan saling menguntungkan bagi kedua negara.

Indikasi produksi dan stok melimpah juga tergambar dari rencana Dirut Bulog Budi Wa­seso untuk melakukan ekspor beras ke sejumlah negara.

Ada yang bertanya, jika memang angka produksi me­ningkat bahkan ada rencana ekspor, lalu mengapa masih ada beras impor yang masuk? Jika kita melihat rekaman data yang lebih luas maka akan kita pahami angka impor beras secara lebih menyeluruh.

Sepanjang sejarah negeri ini, jumlah impor beras di era Jokowi-JK adalah yang teren­dah yakni 0,43 juta ton per tahun. Padahal, pertumbuhan jumlah penduduk setiap saat terus meningkat. Terakhir tercatat jumlah penduduk di Tanah Air mencapai 260 juta jiwa. Bandingkan pemerintah­an Orde Baru yang rata-rata impor beras per tahun men­capai 1,14 juta ton per tahun dengan jumlah penduduk 190 juta jiwa. Begitu pula pada era sebelum Kabinet Kerja, rata-rata impor beras per tahun mencapai 0,62 juta ton dengan jumlah penduduk 240 juta jiwa.
Pertanian tentu bukan ha­nya tanaman pangan, apalagi hanya beras. PDB subsektor pertanian lainnya seperti ta­naman hortikultura, ta­naman perkebunan, dan peternakan, juga tumbuh positif dan terus meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Seperti pada sub­sektor tanaman pangan, PDB-nya tumbuh positif. Pada 2015, PDB subsektor tanaman pangan sekitar Rp280 triliun, kemudian pada 2016 dan 2017 meningkat masing-masing menjadi Rp287 triliun dan Rp294 triliun, dan pada 2018 meningkat menjadi Rp298,2 triliun.

Pertumbuhan PDB sub­sek­tor tanaman pangan yang tetap positif tersebut menun­juk­kan bahwa produksi pangan dalam negeri terus meningkat setiap tahun­nya. Ini menjadi gam­baran ketersediaan bahan ma­kan­an berbasis tanaman pangan di Tanah Air. Tidak perlu ada ke­khawatiran yang ber­lebih­an bahwa produksi pangan dalam negeri tidak bisa men­cukupi kebutuhan pangan ke depan, sepanjang pertum­buh­an produksi pangan lebih tinggi dari pertumbuhan pen­duduk, seperti yang terjadi saat ini.

Pertumbuhan Ekspansif Sektor Pertanian pada 2019

BPS baru saja merilis per­tumbuhan ekonomi Indo­nesia pada kuartal I/2019 sebesar 5,07% secara year on year (YoY). Bahkan bila diban­ding­kan se­cara quarter to quarter (Q to Q), sektor per­tani­an, ke­hutan­an, dan perikanan tum­buh eks­pansif sebesar 14,10%.

Menurut lapangan usaha, sektor industri, perdagangan, dan pertanian masih menjadi penyumbang utama pertum­buh­an ekonomi Indonesia hingga kuartal I/2019. BPS mencatat pertumbuhan PDB di sektor pertanian tumbuh se­besar 1,81% bila diban­ding­kan tahun sebelumnya.
Dalam kurun waktu empat tahun terakhir, PDB sektor per­tanian memang terus meng­alami pertumbuhan yang cuk­up signifikan. Selama periode 2013-2017, akumulasi tam­bah­an nilai PDB sektor pertanian yang mampu dihasilkan men­capai Rp1.375 triliun atau naik 47% dibandingkan dengan 2013.

Pada 2018, nilai PDB sekt­or pertanian bahkan men­c­apai Rp395,7 triliun dibandingkan Triwulan III/2017 lalu yang hanya Rp375,8 triliun. Selain tumbuh positif, peran sektor pertanian dalam pertumbuhan ekonomi nasional juga sema­kin penting dan strategis. Pada 2014, sektor pertanian (ter­ma­suk kehutanan dan perikanan) berkontribusi sekitar 13,14% terhadap ekonomi nasional dan pada 2017 meningkat men­jadi 13,53%.
Sementara jika diper­hi­tung­kan dengan industri agro dan penyediaan makanan dan minuman yang berbasis bahan baku pertanian, kontribusinya bisa mencapai 25,84%. Hal ini berdampak pada perekono­mi­an skala nasional.

Di sisi lain, inflasi kelompok bahan makanan terus menu­run, dari 10,57% pada 2014, masing-masing menjadi 4,93% pada 2015 dan 5,69% pada 2016. Bahkan pada 2017 turun menjadi 1,26%. Ini bisa dikata­kan pertama kali dalam sejarah Indonesia angka inflasi bahan pangan lebih dari inflasi umum yang hanya 3,6%.

Pemerintah tentu terus ber­upaya keras untuk mening­kat­kan produksi pangan baik melalui perluasan areal tanam maupun peningkatan produk­tivitas sebagai respons per­min­taan pangan yang semakin me­ningkat ke depan. Kementan sedang mengoptimalkan pe­man­faatan lahan rawa dan lahan kering dengan pene­rap­an pertanian modern dan keter­libat­an generasi muda sebagai masa depan pertanian Indo­nesia.

Bangsa ini menanti kiprah kita, terutama gene­rasi muda, untuk bahu-membahu mem­beri kontribusi dalam peme­nuh­an kebutuhan pa­ngan. Tak hanya untuk me­menuhi ke­butuhan di dalam negeri, tetapi juga untuk me­wu­judkan mimpi besar Indo­nesia sebagai lum­bung pangan dunia 2045.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7336 seconds (0.1#10.140)