Meredam Hoaks dan Emosi Negatif
A
A
A
Endy Subiantoro
Praktisi Komunikasi-Alumni MMUI
PEMILIHAN presiden-wakil presiden 17 April 2019 baru saja usai, namun “pertempuran kata-kata” di antara dua kubu di dunia maya sepertinya tetap berlanjut. Batasannya menjadi kabur antara fakta dan hoaks, antara logika dan emosi. Apa yang salah dengan nalar dan cara kita berkomunikasi?
Tsunami Hoaks atau berita bohong dewasa ini merupakan paradoks kemewahan informasi di era post truth menjadi fenomena global. Namun, sekaligus menciptakan tantangan dalam pengendalian lalu lintas informasi serta emosi negatif setiap individu, di tengah potensi ancamannya tidak cuma pada kejiwaan individu, tapi juga karakter sebuah bangsa.
Menurut data Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo) sebanyak 230 hoaks beredar selama Juli-September 2018. Dari jumlah tersebut, 135 (58%) di antaranya merupakan hoaks politik terutama menjelang Pilpres 17 April 2019. Umumnya hoaks politik disebar untuk menurunkan reputasi pasangan calon presiden dan wapresnya.
Bahkan mirisnya ada hoaks politik yang memanfaatkan bencana alam di NTB dan Sulteng. Isu berikutnya terkait hoaks adalah agama (17 atau 7,4%) dan penipuan (12 atau 5,2%).
Fenomena hoaks merupakan fenomena global—post truth bukan sekadar membuat gaduh di jagat maya, tapi bahkan by design bisa melahirkan Brexit, ikut memengaruhi terpilihnya Presiden Donald Trump di AS dan Bolosaro di Brasil, serta menciptakan kerusuhan sosial. Di India, selama Juli 2018 ada 20 orang tewas diamuk massa karena hoaks seputar penculik anak-anak. Kasus kebohongan Ratna Sarumpaet membuat geger jagat politik di Indonesia.
Ada dua faktor pemicu emosi negatif, yaitu eksternal seperti pengaruh posting di media sosial dan internal. Dari kedua faktor tersebut faktor kendali internal yang kuat atau lokus kendali internal (menurut Charles Duhigg) menjadi sangat penting.
Kekuatan Gelap Kebiasaan Positif
Kita sering mengalami sendiri situasi tiba-tiba ”meledak” marah karena terpicu oleh emosi negatif. Praktik lancung itu bisa terjadi di kantor, area publik, atau di jalan raya. Misalnya, kita tiba-tiba bisa “meledak” ketika kita disalip pengendara lain di tengah kemacetan parah. Repotnya, “suasana kejiwaan” yang tidak kondusif semacam ini diperparah lagi dengan “huru-hara” kiriman di media sosial dan fenomena dark social di grup-grup percakapan.
Mengapa situasi semacam itu bisa terjadi? Mengapa orang yang sehari-harinya sabar, tiba-tiba terpicu memunculkan ‘monster’ di dalam dirinya? Pemicu emosi negatif, menurut Chade-Meng Tan (penulis Search Inside Yourself) dan Jon Kabat-Zinn (penulis Wherever You Go, There Your Are: Mindfulness Meditation in Everday Life), memiliki sejarah panjang di belakangnya seperti kesedihan, kegagalan, dan kekurangan kita yang terkonfirmasi berulang kali sehingga terakumulasi di alam bawah sadar. Hal ini sejalan dengan formulasi Jim Kwik, pakar optimalisasi kekuatan otak dari AS, yaitu informasi + emosi = memori jangka panjang.
Charles Duhigg, penulis The Power of Habit, mengatakan pentingnya membangun kebiasaan positif. Dia menyebut siklus tanda/pemicu–rutinitas/kebiasaan-reward. Otak akan lebih mengulang kebiasaan jika menurut kesadaran dan alam bawah sadar ada ganjaran positif. Misalnya, kebiasaan olahraga menciptakan reward berupa badan sehat dan bentuk tubuh lebih langsing.
Hoaks dan Emosi Negatif
Hoaks menjadi bahan bakar bagi berkembangnya emosi negatif di alam bawah sadar. Jika terakumulasi dalam jangka panjang bisa merusak jiwa dan tingkat nalar. Dari sudut psikologi, “jiwa yang sakit” bisa berdampak pada kesehatan fisik (psikosomatis).
Apa itu emosi? Emosi didefinisikan sebagai situasi psikologi yang kompleks yang melibatkan tiga komponen utama, yaitu pengalaman yang bersifat subjektif, respons psikologi, dan respons prilaku (Hockenbury & Hockenbury, 2007). Untuk memahami emosi secara tepat sejumlah periset telah mencoba mengidentifikasi dan mengelompokkan berbagai tipe emosi. (Kendra Cherry, https://www.verywell.com/what-are-emotions-2795178)
Psikolog Paul Eckman pada 1972 menyimpulkan ada enam emosi dasar yang bersifat universal dari budaya manusia, yaitu ketakutan, muak/jijik, kemarahan, terkejut, kebahagiaan, dan kesedihan. Pada 1999 dia kemudian menambahkan beberapa emosi dasar termasuk: memalukan, kenikmatan, penghinaan, malu, kebanggaan, kepuasan, dan kesenangan/hiburan.
Selama 1980 Robert Plutchik memperkenalkan pengelompokan emosi yang lain yang disebut “roda emosi”. Model ini menunjukkan bahwa emosi yang berbeda bisa dikombinasikan secara bersama-sama. Mirip campuran beberapa warna menjadi warna lain. Plutchik mengatakan ada delapan dimensi emosi yang utama, yaitu kebahagiaan vs kesedihan, kemarahan vs ketakutan, kepercayaan vs ketidakpercayaan, dan kaget vs antisipasi.
Emosi-emosi ini bisa dikombinasikan dalam berbagai variasi. Sebagai contoh, kebahagiaan dan antisipasi bisa memunculkan kesenangan. Dandapani, pendeta dan pakar mindfulness, menyebutkan awareness dan mind ruang besar dengan ”kamar emosi” seperti emosi amarah, kebahagiaan, dan kasih sayang.
Pemicu Emosi Negatif
Jika dicermati dari pengelompokan di atas, emosi bisa dibagi menjadi dua, yaitu emosi positif (seperti gembira dan kepercayaan) serta emosi ”negatif” (marah, sedih, dan ketakutan). Kendati sebetulnya tidak ada emosi yang betul-betul negatif jika dikelola dengan baik. Soalnya, sebagaimana pemetaan Ned Hermann, pakar dominasi otak dari AS, emosi merupakan salah satu fungi dari otak kanan, sedangkan fungsi otak kiri lebih bersifat analitis-logis. Pemikiran yang baik dihasilkan dari keseimbangan fungsi kedua belahan otak.
Ada sejumlah penyebab pemicu situasi kecil yang menimbulkan respons emosi yang tidak proporsional. Pemicunya memiliki sejarah panjang seperti kesedihan dan kegagalan yang sama dan berulang sehingga terakmulasi di alam bawah sadar. Situasi itu hadir kembali ketika kasus serupa muncul. Misalnya ketika kita sudah lama merasa tidak yakin dengan kinerja kita di kantor, sebuah komentar sedikit saja dari bos bisa menciptakan “ledakan” emosi yang tidak terkendali.
Bayangkan jika fenomena tersebut terjadi pada suatu komunitas atau massa yang besar? Mirip fenomena aksi antarpendukung pemilihan capres saat ini di dunia nyata maupun dunia digital.
Meredam Hoaks & Membangun Kebiasaan Positif
Di satu sisi penyebaran hoaks wajib dicegah, namun pengendalian emosi negatif dari dalam diri adalah bentuk proteksi yang jauh lebih efektif. Istilah viral adalah ketika emosi positif dan negatif menyebar begitu cepat di ranah publik. Ada beberapa tips termasuk cara mengelola “monster” dalam diri kita.
Pertama, jangan biarkan emosi mengendalikan kita. Emosi negatif seperti kemarahan bukanlah kita. Dia bagian dari kita. Jangan ”musuhi” mereka, tapi jangan pula memberi makan ”monster” (emosi negatif). Sebaliknya, tetap melihat aspek positifnya.
Shawn Achor, pakar psikologi positivitas AS, menyarankan melakukan jeda, paling tidak 10 detik, ketika kita sedang marah, dan ”memaksakan diri” untuk berpindah ke zona emosi netral. Selanjutnya, memahami akar masalah kenapa kita marah dan mencari solusi dengan memecah masalah ke bagian-bagian kecil.
Praktiknya memang tidaklah mudah—seperti halnya Hulk, super hero raksasa hijau versi Komik Marvel yang sulit mengendalikan kemarahannya. Atau Robert De Niro sampai harus berkonsultasi dengan psikolog dalam film Anger Management. Banyak metode untuk membersihkan jiwa seperti NLP (neuro-linguistikc programing) dan psikologi klinis lain.
Kedua, proses bersahabat dengan emosi [menjalankan praktik berpikir positif dan mindfulness] adalah proses belajar pengendalian diri secara terus-menerus. Atau menciptakan siklus kebiasaan baru (trigger-routine-reward). Sebab, pada akhirnya kebiasaan pengendalian diri yang baik akan melahirkan kepercayaan diri yang tinggi. Reward ini akan memicu otak untuk lebih mudah menjalankan kebiasaan baru secara konsisten. Dalam tingkatan yang lebih tinggi, pengendalian di level kumpulan orang atau bangsa bakal menciptakan kedewasaan dan kebijakan bangsa.
Ketiga, pemerintah memiliki pekerjaan rumah untuk terus membangun kepercayaan publik dan menciptakan persepsi positif di alam bawah sadar publik secara terus-menerus. Hal ini merupakan dampak sistemik dari pengalaman pemerintah otoriter di era Orde Baru.Agenda tersebut mengomunikasikan ketulusan serta konsisten antara kebijakan dan tindakan pemerintah di setiap lini kehidupan berbangsa. Jadi, apa pun pilihan kita pada 17 April 2019 dan siapa pun pemenang pilpres nanti, harus ada kesadaran kolektif untuk tetap memprioritaskan nalar, emosi positif, dan persaudaraan dalam kita berkomunikasi dan berprilaku antaranak bangsa.
Praktisi Komunikasi-Alumni MMUI
PEMILIHAN presiden-wakil presiden 17 April 2019 baru saja usai, namun “pertempuran kata-kata” di antara dua kubu di dunia maya sepertinya tetap berlanjut. Batasannya menjadi kabur antara fakta dan hoaks, antara logika dan emosi. Apa yang salah dengan nalar dan cara kita berkomunikasi?
Tsunami Hoaks atau berita bohong dewasa ini merupakan paradoks kemewahan informasi di era post truth menjadi fenomena global. Namun, sekaligus menciptakan tantangan dalam pengendalian lalu lintas informasi serta emosi negatif setiap individu, di tengah potensi ancamannya tidak cuma pada kejiwaan individu, tapi juga karakter sebuah bangsa.
Menurut data Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo) sebanyak 230 hoaks beredar selama Juli-September 2018. Dari jumlah tersebut, 135 (58%) di antaranya merupakan hoaks politik terutama menjelang Pilpres 17 April 2019. Umumnya hoaks politik disebar untuk menurunkan reputasi pasangan calon presiden dan wapresnya.
Bahkan mirisnya ada hoaks politik yang memanfaatkan bencana alam di NTB dan Sulteng. Isu berikutnya terkait hoaks adalah agama (17 atau 7,4%) dan penipuan (12 atau 5,2%).
Fenomena hoaks merupakan fenomena global—post truth bukan sekadar membuat gaduh di jagat maya, tapi bahkan by design bisa melahirkan Brexit, ikut memengaruhi terpilihnya Presiden Donald Trump di AS dan Bolosaro di Brasil, serta menciptakan kerusuhan sosial. Di India, selama Juli 2018 ada 20 orang tewas diamuk massa karena hoaks seputar penculik anak-anak. Kasus kebohongan Ratna Sarumpaet membuat geger jagat politik di Indonesia.
Ada dua faktor pemicu emosi negatif, yaitu eksternal seperti pengaruh posting di media sosial dan internal. Dari kedua faktor tersebut faktor kendali internal yang kuat atau lokus kendali internal (menurut Charles Duhigg) menjadi sangat penting.
Kekuatan Gelap Kebiasaan Positif
Kita sering mengalami sendiri situasi tiba-tiba ”meledak” marah karena terpicu oleh emosi negatif. Praktik lancung itu bisa terjadi di kantor, area publik, atau di jalan raya. Misalnya, kita tiba-tiba bisa “meledak” ketika kita disalip pengendara lain di tengah kemacetan parah. Repotnya, “suasana kejiwaan” yang tidak kondusif semacam ini diperparah lagi dengan “huru-hara” kiriman di media sosial dan fenomena dark social di grup-grup percakapan.
Mengapa situasi semacam itu bisa terjadi? Mengapa orang yang sehari-harinya sabar, tiba-tiba terpicu memunculkan ‘monster’ di dalam dirinya? Pemicu emosi negatif, menurut Chade-Meng Tan (penulis Search Inside Yourself) dan Jon Kabat-Zinn (penulis Wherever You Go, There Your Are: Mindfulness Meditation in Everday Life), memiliki sejarah panjang di belakangnya seperti kesedihan, kegagalan, dan kekurangan kita yang terkonfirmasi berulang kali sehingga terakumulasi di alam bawah sadar. Hal ini sejalan dengan formulasi Jim Kwik, pakar optimalisasi kekuatan otak dari AS, yaitu informasi + emosi = memori jangka panjang.
Charles Duhigg, penulis The Power of Habit, mengatakan pentingnya membangun kebiasaan positif. Dia menyebut siklus tanda/pemicu–rutinitas/kebiasaan-reward. Otak akan lebih mengulang kebiasaan jika menurut kesadaran dan alam bawah sadar ada ganjaran positif. Misalnya, kebiasaan olahraga menciptakan reward berupa badan sehat dan bentuk tubuh lebih langsing.
Hoaks dan Emosi Negatif
Hoaks menjadi bahan bakar bagi berkembangnya emosi negatif di alam bawah sadar. Jika terakumulasi dalam jangka panjang bisa merusak jiwa dan tingkat nalar. Dari sudut psikologi, “jiwa yang sakit” bisa berdampak pada kesehatan fisik (psikosomatis).
Apa itu emosi? Emosi didefinisikan sebagai situasi psikologi yang kompleks yang melibatkan tiga komponen utama, yaitu pengalaman yang bersifat subjektif, respons psikologi, dan respons prilaku (Hockenbury & Hockenbury, 2007). Untuk memahami emosi secara tepat sejumlah periset telah mencoba mengidentifikasi dan mengelompokkan berbagai tipe emosi. (Kendra Cherry, https://www.verywell.com/what-are-emotions-2795178)
Psikolog Paul Eckman pada 1972 menyimpulkan ada enam emosi dasar yang bersifat universal dari budaya manusia, yaitu ketakutan, muak/jijik, kemarahan, terkejut, kebahagiaan, dan kesedihan. Pada 1999 dia kemudian menambahkan beberapa emosi dasar termasuk: memalukan, kenikmatan, penghinaan, malu, kebanggaan, kepuasan, dan kesenangan/hiburan.
Selama 1980 Robert Plutchik memperkenalkan pengelompokan emosi yang lain yang disebut “roda emosi”. Model ini menunjukkan bahwa emosi yang berbeda bisa dikombinasikan secara bersama-sama. Mirip campuran beberapa warna menjadi warna lain. Plutchik mengatakan ada delapan dimensi emosi yang utama, yaitu kebahagiaan vs kesedihan, kemarahan vs ketakutan, kepercayaan vs ketidakpercayaan, dan kaget vs antisipasi.
Emosi-emosi ini bisa dikombinasikan dalam berbagai variasi. Sebagai contoh, kebahagiaan dan antisipasi bisa memunculkan kesenangan. Dandapani, pendeta dan pakar mindfulness, menyebutkan awareness dan mind ruang besar dengan ”kamar emosi” seperti emosi amarah, kebahagiaan, dan kasih sayang.
Pemicu Emosi Negatif
Jika dicermati dari pengelompokan di atas, emosi bisa dibagi menjadi dua, yaitu emosi positif (seperti gembira dan kepercayaan) serta emosi ”negatif” (marah, sedih, dan ketakutan). Kendati sebetulnya tidak ada emosi yang betul-betul negatif jika dikelola dengan baik. Soalnya, sebagaimana pemetaan Ned Hermann, pakar dominasi otak dari AS, emosi merupakan salah satu fungi dari otak kanan, sedangkan fungsi otak kiri lebih bersifat analitis-logis. Pemikiran yang baik dihasilkan dari keseimbangan fungsi kedua belahan otak.
Ada sejumlah penyebab pemicu situasi kecil yang menimbulkan respons emosi yang tidak proporsional. Pemicunya memiliki sejarah panjang seperti kesedihan dan kegagalan yang sama dan berulang sehingga terakmulasi di alam bawah sadar. Situasi itu hadir kembali ketika kasus serupa muncul. Misalnya ketika kita sudah lama merasa tidak yakin dengan kinerja kita di kantor, sebuah komentar sedikit saja dari bos bisa menciptakan “ledakan” emosi yang tidak terkendali.
Bayangkan jika fenomena tersebut terjadi pada suatu komunitas atau massa yang besar? Mirip fenomena aksi antarpendukung pemilihan capres saat ini di dunia nyata maupun dunia digital.
Meredam Hoaks & Membangun Kebiasaan Positif
Di satu sisi penyebaran hoaks wajib dicegah, namun pengendalian emosi negatif dari dalam diri adalah bentuk proteksi yang jauh lebih efektif. Istilah viral adalah ketika emosi positif dan negatif menyebar begitu cepat di ranah publik. Ada beberapa tips termasuk cara mengelola “monster” dalam diri kita.
Pertama, jangan biarkan emosi mengendalikan kita. Emosi negatif seperti kemarahan bukanlah kita. Dia bagian dari kita. Jangan ”musuhi” mereka, tapi jangan pula memberi makan ”monster” (emosi negatif). Sebaliknya, tetap melihat aspek positifnya.
Shawn Achor, pakar psikologi positivitas AS, menyarankan melakukan jeda, paling tidak 10 detik, ketika kita sedang marah, dan ”memaksakan diri” untuk berpindah ke zona emosi netral. Selanjutnya, memahami akar masalah kenapa kita marah dan mencari solusi dengan memecah masalah ke bagian-bagian kecil.
Praktiknya memang tidaklah mudah—seperti halnya Hulk, super hero raksasa hijau versi Komik Marvel yang sulit mengendalikan kemarahannya. Atau Robert De Niro sampai harus berkonsultasi dengan psikolog dalam film Anger Management. Banyak metode untuk membersihkan jiwa seperti NLP (neuro-linguistikc programing) dan psikologi klinis lain.
Kedua, proses bersahabat dengan emosi [menjalankan praktik berpikir positif dan mindfulness] adalah proses belajar pengendalian diri secara terus-menerus. Atau menciptakan siklus kebiasaan baru (trigger-routine-reward). Sebab, pada akhirnya kebiasaan pengendalian diri yang baik akan melahirkan kepercayaan diri yang tinggi. Reward ini akan memicu otak untuk lebih mudah menjalankan kebiasaan baru secara konsisten. Dalam tingkatan yang lebih tinggi, pengendalian di level kumpulan orang atau bangsa bakal menciptakan kedewasaan dan kebijakan bangsa.
Ketiga, pemerintah memiliki pekerjaan rumah untuk terus membangun kepercayaan publik dan menciptakan persepsi positif di alam bawah sadar publik secara terus-menerus. Hal ini merupakan dampak sistemik dari pengalaman pemerintah otoriter di era Orde Baru.Agenda tersebut mengomunikasikan ketulusan serta konsisten antara kebijakan dan tindakan pemerintah di setiap lini kehidupan berbangsa. Jadi, apa pun pilihan kita pada 17 April 2019 dan siapa pun pemenang pilpres nanti, harus ada kesadaran kolektif untuk tetap memprioritaskan nalar, emosi positif, dan persaudaraan dalam kita berkomunikasi dan berprilaku antaranak bangsa.
(whb)