Meredupnya 'Coattail Effect'

Jum'at, 03 Mei 2019 - 08:31 WIB
Meredupnya \Coattail Effect\
Meredupnya 'Coattail Effect'
A A A
Firman Noor
Kepala Pusat Penelitian Politik
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)


PELAKSANAAN pemilu yang mengombinasikan antara pemilihan kepala pemerintahan (eksekutif) dan pemilihan DPR (legislatif) biasanya memunculkan sebuah fenomena yang disebut sebagai efek ekor jas (coattail effect). Istilah ini biasanya digunakan oleh para sarjana yang menelaah tentang korelasi dari efek pemilihan presiden atas konfigurasi suara dalam parlemen (Golder 2006, Hicken & Stoll 2011, Stoll 2015).

Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa coattail effect adalah efek ikutan dari seorang figur atau tokoh yang berkontestasi dalam sebuah pemilihan, yang kemudian memberikan dampak positif secara elektoral, yakni limpahan suara kepada partainya atau partai-partai yang mendukungnya. Fenomena semacam ini hadir dalam kondisi di mana seorang kandidat presiden/perdana menteri sedemikian populernya, sehingga diyakini mampu memberikan daya tarik kepada partai-partai pendukungnya.

Di beberapa kasus, coattail effect ini dikondisikan untuk dapat terjadi. Berbeda dengan yang terjadi di Amerika Serikat, efek ini muncul secara alamiah dari performa seorang kandidat presiden terhadap partainya, di beberapa negara efek ini diciptakan oleh partai-partai agar dapat berhasil dalam kontestasi elektoral. Hal ini terutama dipicu oleh situasi di mana partai menyadari bahwa keberadaannya tidak cukup dikenal dan meyakini suara mereka dapat terdongkrak jika mendukung tokoh populer itu.

Untuk kepentingan ini, partai bahkan rela melakukan kontrak politik kepada tokoh tersebut, dengan harapan adanya sejumlah konsesi yang dapat diraih manakala akhirnya tokoh tersebut terpilih. Situasi ini sebenarnya tidak sehat bagi proses kaderisasi dan kemandirian partai. Terkait dengan kaderisasi, maka yang dikorbankan adalah hasil proses pengaderan. Kaderisasi itu idealnya terkait erat dengan seleksi politik berjenjang yang berujung pada kandidasi kader untuk mengisi jabatan-jabatan publik, termasuk untuk jabatan presiden dan wakil presiden. Namun, skema ideal ini rusak karena partai dengan gampangnya justru mengusung kandidat yang bukan kadernya.

Sementara dalam hal kemandirian, maka kebergantungan partai pada sosok tertentu akan mengurangi kebebasan atau otonomi partai dalam berkehendak, karena harus mempertimbangkan orientasi dan kepentingan kandidat presiden itu. Meski bisa jadi tokoh itu tidak seutuhnya mampu mengendalikan partai, yang manakala ini terjadi disebut sebagai presidentialized parties (Samuel 2002), partai jelas menjadi subordinat. Singkatnya, mereka harus mengakomodasi kepentingan kandidat populer itu, agar tetap diakui sebagai bagian dari pendukungnya.

Kembali ke persoalan dampak coattail effect , popularitas Ronald Reagan merupakan salah satu kasus dari fenomena efek ini. Dengan popularitasnya itu, Reagan mampu membantu meningkatkan jumlah suara untuk partai, khususnya bagi para senator dan anggota DPR pada 1980-an, yang menyebabkan kemudian Partai Republik kembali menjadi mayoritas di parlemen. Sebaliknya, popularitas Barack Obama amat membantu Partai Demokrat untuk dapat menguasai parlemen di eranya, setelah sebelumnya berada dalam genggaman kekuasaan Partai Republik.

Dalam kasus Indonesia, apa yang terjadi pada Demokrat pada 2009 dapat dijadikan contoh bagaimana coattail effect itu bekerja. Dari hanya mendapatkan suara 7,45% pada 2004, Demokrat menjelma menjadi kekuatan politik dengan perolehan suara 20,85% lima tahun kemudian, karena di antaranya faktor Presiden SBY.

Namun demikian, situasi tersebut relatif tidak terjadi di Indonesia saat ini. Berdasarkan hasil sementara penghitungan suara oleh beberapa lembaga termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU), memperlihatkan bahwa PDIP tidak mengalami lonjakan jumlah pemilih yang signifikan, meski Presiden Joko Widodo (Jokowi) notabene adalah kadernya. Hal yang sama juga kurang lebih terjadi pada Partai Gerindra sebagai partainya Prabowo Subianto, di mana kisaran suara yang didapatkan tidak melonjak dengan drastis.

Bagaimana dengan partai-partai lawas? Hampir semua mengalami penurunan atau stagnasi. Hanya Nasdem dan PKS yang tampaknya mampu menaikkan suara mereka, sedangkan Golkar dan PKB mengalami perolehan suara yang cenderung stagnan. Sementara itu, penurunan suara dialami Demokrat, PAN, PPP, PBB, dan PKPI. Adapun untuk partai-partai baru situasinya lebih buruk. Meski mereka (selain Partai Garuda) telah cukup berkontribusi dalam mengampanyekan Jokowi atau Prabowo, suara yang diperoleh mereka tidak membantu mereka melenggang ke Senayan.

Situasi di mana coattail effect ini meredup disebabkan oleh beberapa kemungkinan. Pertama, tampaknya masyarakat saat memilih partai tidak mengorelasikannya dengan kandidat presiden. Besar kemungkinan masyarakat kebanyakan tidak cukup paham korelasi antara presiden dan partai-partai pendukungnya, sehingga tidak tahu partai mana mendukung siapa. Ada kasus di mana pendukung Jokowi malah memilih PKS. Kedua, ada kemungkinan pula bahwa masyarakat memilih partai, semata karena kedekatan pada figur atau partai yang dikenal di wilayahnya.

Pelajaran dari kasus kenaikan suara PKS dan Nasdem, kedekatan itu disebabkan oleh beberapa. Untuk PKS, kedekatan itu terbina dengan bekerjanya jaringan kader, dukungan ulama, dan materi kampanye yang membumi, seperti soal SIM seumur hidup dan pajak motor gratis. Sementara untuk kasus Nasdem, pendekatan dan strategi yang "atraktif-konkret" cukup berhasil menarik perhatian pemilih dan membangun kedekatan. Strategi-strategi semacam inilah yang menyebabkan masyarakat agak "mengesampingkan" faktor figur presiden dalam memilih.

Ketiga, pada masyarakat yang sudah lebih kompleks berpikirnya, bisa jadi dalam memilih didorong oleh kesadaran untuk menciptakan checks and balances. Artinya, demi kepentingan perimbangan kekuasaan, dia memilih partai-partai yang justru bukan termasuk koalisi pendukung figur presiden yang dipilihnya,

Coattail effect pada akhirnya hanya merupakan bonus. Dari kasus Pemilu 2019 terlihat bahwa keberadaannya jelas tidak bisa diharapkan untuk dapat membantu partai memperoleh suara. Kasus di atas memberikan pelajaran berharga bahwa pada akhirnya partai-partai tidak dapat mengandalkan sekadar figur atau sosok kandidat terkenal untuk dapat memenangkan kontestasi atau setidaknya mendapatkan hasil yang memuaskan.

Alih-alih partai politik harus terus membangun dan memperkuat mesin partai secara sungguh-sungguh. Dengan kata lain pula, partai harus benar-benar menjadi institusi modern yang tidak sekadar mengandalkan figur tertentu, baik dari internal atau eksternal partai.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6585 seconds (0.1#10.140)