Ada Kartini di Balik Jeruji
A
A
A
Ya’qud Ananda Gudban"Engkau bertanya, apakah asal mulanya aku terkurung dalam empat tembok tebal. Sangkamu tentu aku tinggal di dalam terungku atau serupa itu. Bukan. Stella, penjaraku rumah besar, berhalaman yang luas sekelilingnya, tetapi sekitar halaman itu ada tembok tinggi. Tembok inilah yang menjadi penjara kami. Bagaimana juga luasnya rumah dan perkarangan kami itu, bila senantiasa harus tinggal di sana, sesak juga rasanya. Teringat aku, betapa aku, oleh karena putus asa dan sedih hati yang tiada terhingga, lalu mengempaskan badanku berulang-ulang ...." Ini adalah petikan surat R.A. Kartini kepada sahabatnya, Stella Zeehandelaar, tertanggal 6 November 1899 ketika Kartini merasa terpenjara dalam kamar pingitnya.
Di usia 13 tahun, Kartini harus kehilangan masa kecilnya karena harus menjalani masa pingitan sebagaimana lazimnya anak perempuan Jawa pada masa itu. Dunia Kartini pun menyempit. Kartini sempat putus asa menjalani tradisi pingitan yang bisa membunuh tak hanya kebebasan raga, tapi juga kebebasan jiwanya. Beberapa kali dia membenturkan tubuh ke dinding batu tebal di sekeliling rumah dan gerbang yang selalu terkunci.
"Berlalu sudah! Masa muda yang indah sudah berlalu!" tulis Kartini dalam salah satu suratnya kepada Rosa Manuela Abendanon-Mandri, istri kedua Jacques Henrij Abendanon, direktur Departemen Pendidikan, Industri, dan Agama Hindia Belanda.
Membaca surat-surat Kartini, saya hanya bisa membayangkan penderitaannya ketika "terpenjara". Tak pernah sekalipun saya membayangkan bahwa kini saya menjalani kehidupan terpenjara dalam arti sesungguhnya. Ketika Kartini merasa sesak dan putus asa menjalani "penjara"-nya di rumah dan pekarangannya, kini seabad kemudian saya pun merasakan sesak dan putus asa yang sama. Namun, rasa itu berlalu bersama waktu, sekarang saya bisa menerima dan menjalani kehidupan baru saya.
Jika sebelum-sebelumnya saya menjalani gemuruh semangat Hari Kartini lewat beragam kegiatan, mulai dari seminar, diskusi, lomba-lomba dengan tema keperempuanan, berbagai penghargaan, bahkan berkegiatan dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) perempuan, kini saya merasakan gemuruh Kartini dalam ruang dan rasa yang sangat berbeda, terpenjara raga, di balik jeruji besi.
Tahun lalu saya masih bermimpi memperjuangkan semangat Kartini untuk mendobrak tembok penjara kebebasan berpikir perempuan yang acapkali dikukuhkan lewat berbagai perangkat undang-undang, kebijakan, maupun peraturan yang tak ramah perempuan. Tahun lalu Koalisi Harapan Pembangunan mendukung saya mendeklarasikan diri untuk berebut kursi wali Kota Malang. Setelah lebih dari sembilan tahun mengabdikan diri sebagai anggota parlemen selama dua periode, ditambah bekal pengalaman menjadi ketua partai, pendidikan doktor ilmu ekonomi, dan tentunya dukungan keluarga, saya mencoba menantang diri untuk bisa mengambil posisi yang bisa memberikan dampak lebih nyata kepada masyarakat. Saat itu saya bermimpi menjadi Kartini di Kota Malang.
Januari 2018, saya mendeklarasikan diri sebagai pasangan calon (paslon) wali dan wakil wali Kota Malang bersama rekan saya, Ahmad Wanedi. Kami berdua disebut sebagai Pasangan Menawan. Ironisnya, dua bulan berikutnya saya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap pembahasan Perubahan APBD Kota Malang 2015. Setelah melewati proses persidangan yang panjang dan perjuangan yang melelahkan, pada Desember 2018 hakim pun menjatuhkan vonis bersalah dan saya mulai menghabiskan hari-hari saya bersama teman-teman baru saya di balik jeruji penjara di Rumah Tahanan (Rutan) Medaeng.
Sudah 13 bulan terakhir ini saya menjalani hari-hari di balik jeruji penjara bersama lebih dari 100 perempuan-perempuan lain yang kini menjadi sahabat-sahabat saya. Dari 167 perempuan yang berada di rumah tahanan ini, lebih dari 60% masuk karena alasan ekonomi, dengan berbagai bentuk kesalahan mereka pun dikirim ke sini.
Sesungguhnya, ada banyak kisah kehidupan yang luar biasa di balik tembok penjara yang hanya bisa dipahami secara utuh ketika kita tidak menjadi bagian di dalamnya. Di sini, saya mengenal Kartini-Kartini tangguh yang berjuang melawan kerasnya hidup, yang tentu jauh lebih keras dari kerasnya kehidupan di luar tembok penjara. Mereka harus memikirkan perkara hukum, terpasung dalam ruang sempit yang dikunci di jam-jam tertentu, tetapi harus kuat dan bertahan agar mereka bisa segera melewati masalah hukum yang membelitnya.
Jumlah tahanan di Rutan Medaeng saat ini melebihi kapasitas sampai lebih dari 400%. Dengan kapasitas sekitar 600 orang, saat ini rutan dihuni sekitar 3.000 tahanan. Saat ini ada sekitar 167 tahanan perempuan di Rutan Medaeng meski sebenarnya kapasitasnya hanya mampu menampung 45 orang. Sekitar 80% dari teman-teman di Rutan Medaeng terlibat kasus penyalahgunaan narkoba. Jumlah tahanan kasus penggunaan narkoba meningkat sejak diberlakukan UU Nomor 35 Tahun 2009. Berdasarkan data yang disampaikan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sri Puguh Budi Utami pada Januari 2019, dari sekitar 259.000 penghuni lapas dan rutan di Indonesia, sekitar 115.000 di antaranya tahanan kasus narkotika. Dari jumlah penghuni tersebut, 46.000 di antaranya pengguna yang seharusnya bisa direhabilitasi agar tidak membuat sesak rutan dan lapas.
Sesaknya rutan tentu sangat berdampak terhadap kualitas hidup para penghuninya karena mereka tak bisa mendapatkan hak-haknya secara maksimal. Setiap penghuni dipaksa "tangguh" menghadapi situasi yang penuh dengan keterbatasan. Dalam keterbatasan hidup di dalam rutan, banyak di antara sahabat-sahabat saya yang masih tetap berjuang mengais rezeki untuk kebutuhan anak, bahkan untuk suami mereka di luar sana. Menjadi tukang pijat, buruh cuci, sampai tukang masak dapur menjadi pilihan mereka untuk bertahan hidup. Mereka adalah Kartini-Kartini dalam semangat.
Ketika masih duduk di parlemen sebagai wakil rakyat, beberapa kali saya berkunjung dan berkegiatan di lapas. Lewat kunjungan, saya mencoba memahami persoalan di dalam penjara yang perlu perhatian dan perjuangan melalui kebijakan pemerintah, khususnya bagi perempuan. Kini saya mendapat kesempatan untuk melihat, mendengar, bahkan mengalami secara langsung persoalan-persoalan yang dulu hanya bisa saya dengar lewat forum-forum diskusi dan kunjungan sebagai wakil rakyat yang tentu saja tidak mendalam.
Bukan hal yang mudah untuk tak tenggelam dalam kekecewaan, kemarahan, dan kesedihan atas apa yang harus dilalui hingga akhirnya kami harus kehilangan kemerdekaan. Tapi, tak ada pilihan selain bangkit dan menyemangati diri sendiri dan terus berjuang. Meski terpenjara secara fisik, kami tak boleh kehilangan kemerdekaan berpikir seperti halnya pikiran Kartini tetap bebas berkelana lewat surat-suratnya.
Saya meyakini perjuangan bisa dilakukan tak hanya ketika kita mengenakan seragam resmi pejabat negara. Dalam seragam yang kini saya kenakan pun saya tetap ingin memperjuangkan hak-hak perempuan di balik jeruji. Bukankah, khoirunnas anfa'uhum linnas , sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain, kata Rasulullah SAW.
Sebagai warga negara yang baik, 17 April lalu kami menunaikan hak untuk memilih pemimpin negara dan wakil rakyat. Saya cukup beruntung bisa menggunakan hak pilih karena dari 167 tahanan, hanya sekitar 60 orang yang bisa menggunakan hak pilihnya. Itulah kesempatan kami berkontribusi menciptakan pemimpin. Selamat menunaikan tugas kepada presiden dan wakil rakyat terpilih. Ada harapan besar yang kami sematkan kepada para pejabat terpilih untuk bisa menunaikan janjinya, untuk kebijakan ekonomi yang lebih menyejahterakan, arah politik yang menyejukkan, dan arah hukum yang lebih berkeadilan. Saya dan para perempuan di sini tak pernah berputus asa untuk kehidupan yang lebih baik ke depan karena kami selalu yakin bahwa "Habis Gelap, Terbitlah Terang".
Di usia 13 tahun, Kartini harus kehilangan masa kecilnya karena harus menjalani masa pingitan sebagaimana lazimnya anak perempuan Jawa pada masa itu. Dunia Kartini pun menyempit. Kartini sempat putus asa menjalani tradisi pingitan yang bisa membunuh tak hanya kebebasan raga, tapi juga kebebasan jiwanya. Beberapa kali dia membenturkan tubuh ke dinding batu tebal di sekeliling rumah dan gerbang yang selalu terkunci.
"Berlalu sudah! Masa muda yang indah sudah berlalu!" tulis Kartini dalam salah satu suratnya kepada Rosa Manuela Abendanon-Mandri, istri kedua Jacques Henrij Abendanon, direktur Departemen Pendidikan, Industri, dan Agama Hindia Belanda.
Membaca surat-surat Kartini, saya hanya bisa membayangkan penderitaannya ketika "terpenjara". Tak pernah sekalipun saya membayangkan bahwa kini saya menjalani kehidupan terpenjara dalam arti sesungguhnya. Ketika Kartini merasa sesak dan putus asa menjalani "penjara"-nya di rumah dan pekarangannya, kini seabad kemudian saya pun merasakan sesak dan putus asa yang sama. Namun, rasa itu berlalu bersama waktu, sekarang saya bisa menerima dan menjalani kehidupan baru saya.
Jika sebelum-sebelumnya saya menjalani gemuruh semangat Hari Kartini lewat beragam kegiatan, mulai dari seminar, diskusi, lomba-lomba dengan tema keperempuanan, berbagai penghargaan, bahkan berkegiatan dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) perempuan, kini saya merasakan gemuruh Kartini dalam ruang dan rasa yang sangat berbeda, terpenjara raga, di balik jeruji besi.
Tahun lalu saya masih bermimpi memperjuangkan semangat Kartini untuk mendobrak tembok penjara kebebasan berpikir perempuan yang acapkali dikukuhkan lewat berbagai perangkat undang-undang, kebijakan, maupun peraturan yang tak ramah perempuan. Tahun lalu Koalisi Harapan Pembangunan mendukung saya mendeklarasikan diri untuk berebut kursi wali Kota Malang. Setelah lebih dari sembilan tahun mengabdikan diri sebagai anggota parlemen selama dua periode, ditambah bekal pengalaman menjadi ketua partai, pendidikan doktor ilmu ekonomi, dan tentunya dukungan keluarga, saya mencoba menantang diri untuk bisa mengambil posisi yang bisa memberikan dampak lebih nyata kepada masyarakat. Saat itu saya bermimpi menjadi Kartini di Kota Malang.
Januari 2018, saya mendeklarasikan diri sebagai pasangan calon (paslon) wali dan wakil wali Kota Malang bersama rekan saya, Ahmad Wanedi. Kami berdua disebut sebagai Pasangan Menawan. Ironisnya, dua bulan berikutnya saya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap pembahasan Perubahan APBD Kota Malang 2015. Setelah melewati proses persidangan yang panjang dan perjuangan yang melelahkan, pada Desember 2018 hakim pun menjatuhkan vonis bersalah dan saya mulai menghabiskan hari-hari saya bersama teman-teman baru saya di balik jeruji penjara di Rumah Tahanan (Rutan) Medaeng.
Sudah 13 bulan terakhir ini saya menjalani hari-hari di balik jeruji penjara bersama lebih dari 100 perempuan-perempuan lain yang kini menjadi sahabat-sahabat saya. Dari 167 perempuan yang berada di rumah tahanan ini, lebih dari 60% masuk karena alasan ekonomi, dengan berbagai bentuk kesalahan mereka pun dikirim ke sini.
Sesungguhnya, ada banyak kisah kehidupan yang luar biasa di balik tembok penjara yang hanya bisa dipahami secara utuh ketika kita tidak menjadi bagian di dalamnya. Di sini, saya mengenal Kartini-Kartini tangguh yang berjuang melawan kerasnya hidup, yang tentu jauh lebih keras dari kerasnya kehidupan di luar tembok penjara. Mereka harus memikirkan perkara hukum, terpasung dalam ruang sempit yang dikunci di jam-jam tertentu, tetapi harus kuat dan bertahan agar mereka bisa segera melewati masalah hukum yang membelitnya.
Jumlah tahanan di Rutan Medaeng saat ini melebihi kapasitas sampai lebih dari 400%. Dengan kapasitas sekitar 600 orang, saat ini rutan dihuni sekitar 3.000 tahanan. Saat ini ada sekitar 167 tahanan perempuan di Rutan Medaeng meski sebenarnya kapasitasnya hanya mampu menampung 45 orang. Sekitar 80% dari teman-teman di Rutan Medaeng terlibat kasus penyalahgunaan narkoba. Jumlah tahanan kasus penggunaan narkoba meningkat sejak diberlakukan UU Nomor 35 Tahun 2009. Berdasarkan data yang disampaikan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sri Puguh Budi Utami pada Januari 2019, dari sekitar 259.000 penghuni lapas dan rutan di Indonesia, sekitar 115.000 di antaranya tahanan kasus narkotika. Dari jumlah penghuni tersebut, 46.000 di antaranya pengguna yang seharusnya bisa direhabilitasi agar tidak membuat sesak rutan dan lapas.
Sesaknya rutan tentu sangat berdampak terhadap kualitas hidup para penghuninya karena mereka tak bisa mendapatkan hak-haknya secara maksimal. Setiap penghuni dipaksa "tangguh" menghadapi situasi yang penuh dengan keterbatasan. Dalam keterbatasan hidup di dalam rutan, banyak di antara sahabat-sahabat saya yang masih tetap berjuang mengais rezeki untuk kebutuhan anak, bahkan untuk suami mereka di luar sana. Menjadi tukang pijat, buruh cuci, sampai tukang masak dapur menjadi pilihan mereka untuk bertahan hidup. Mereka adalah Kartini-Kartini dalam semangat.
Ketika masih duduk di parlemen sebagai wakil rakyat, beberapa kali saya berkunjung dan berkegiatan di lapas. Lewat kunjungan, saya mencoba memahami persoalan di dalam penjara yang perlu perhatian dan perjuangan melalui kebijakan pemerintah, khususnya bagi perempuan. Kini saya mendapat kesempatan untuk melihat, mendengar, bahkan mengalami secara langsung persoalan-persoalan yang dulu hanya bisa saya dengar lewat forum-forum diskusi dan kunjungan sebagai wakil rakyat yang tentu saja tidak mendalam.
Bukan hal yang mudah untuk tak tenggelam dalam kekecewaan, kemarahan, dan kesedihan atas apa yang harus dilalui hingga akhirnya kami harus kehilangan kemerdekaan. Tapi, tak ada pilihan selain bangkit dan menyemangati diri sendiri dan terus berjuang. Meski terpenjara secara fisik, kami tak boleh kehilangan kemerdekaan berpikir seperti halnya pikiran Kartini tetap bebas berkelana lewat surat-suratnya.
Saya meyakini perjuangan bisa dilakukan tak hanya ketika kita mengenakan seragam resmi pejabat negara. Dalam seragam yang kini saya kenakan pun saya tetap ingin memperjuangkan hak-hak perempuan di balik jeruji. Bukankah, khoirunnas anfa'uhum linnas , sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain, kata Rasulullah SAW.
Sebagai warga negara yang baik, 17 April lalu kami menunaikan hak untuk memilih pemimpin negara dan wakil rakyat. Saya cukup beruntung bisa menggunakan hak pilih karena dari 167 tahanan, hanya sekitar 60 orang yang bisa menggunakan hak pilihnya. Itulah kesempatan kami berkontribusi menciptakan pemimpin. Selamat menunaikan tugas kepada presiden dan wakil rakyat terpilih. Ada harapan besar yang kami sematkan kepada para pejabat terpilih untuk bisa menunaikan janjinya, untuk kebijakan ekonomi yang lebih menyejahterakan, arah politik yang menyejukkan, dan arah hukum yang lebih berkeadilan. Saya dan para perempuan di sini tak pernah berputus asa untuk kehidupan yang lebih baik ke depan karena kami selalu yakin bahwa "Habis Gelap, Terbitlah Terang".
(mhd)