Menimbang TNI dalam Jabatan Sipil

Rabu, 10 April 2019 - 09:20 WIB
Menimbang TNI dalam Jabatan Sipil
Menimbang TNI dalam Jabatan Sipil
A A A
Januari Sihotang
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UGM Yogyakarta
Akhir-akhir ini diskursus mengenai pelibatan TNI dan Polri dalam jabatan sipil kembali menghangat. Setidaknya ada dua momentum yang membuat isu ini bagai bola panas dan liar. Pertama, rencana pengangkatan perwira Polri aktif sebagai pelaksana tugas (plt) jabatan gubernur di beberapa provinsi menjelang Pilkada Serentak 2017. Kekhawatiran kondusivitas daerah bersangkutan menjadi alasan utama pemerintah pada saat itu.

Kedua, pernyataan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto beberapa waktu lalu terkait rencana pengangkatan atau pengalihan beberapa orang jenderal atau perwira tinggi (pati) TNI menjadi pejabat sipil. Ironisnya, alasan pelibatan tersebut sangat teknis, yakni banyak pati yang tidak memiliki jabatan di TNI saat ini. Untuk memuluskan usulan tersebut, wacana perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia bahkan mulai bergulir.

Sontak usulan ini membuat geger publik. Penyebabnya sederhana saja, traumatis luka lama dwifungsi ABRI di masa Orde Baru belum sepenuhnya hilang. Dwifungsi ABRI yang menjadikan ABRI sebagai penjaga pertahanan dan keamanan sekaligus pemegang kekuasaan negara telah menjadikan ABRI kekuatan luar biasa. Dwifungsi ABRI kemudian disetir oleh rezim Soeharto untuk melanggengkan kekuasaannya. Selain menduduki jabatan strategis di kalangan sipil, ABRI juga memiliki porsi tersendiri di MPR dan DPR melalui Fraksi ABRI. Dengan demikian, ABRI bukan hanya menegakkan kedaulatan bangsa di bidang pertahanan, tetapi ikut juga menentukan garis kebijakan dan mengangkat pejabat-pejabat politik.

Karena itulah, salah satu tuntutan utama Reformasi 1998 adalah penghapusan dwifungsi ABRI. Sejalan dengan itu, amendemen konstitusi 1999-2002 kemudian mengembalikan ABRI (TNI dan Polri) ke habitat yang sesungguhnya. Pasal 30 UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa TNI dan Polri merupakan kekuatan utama dalam menjaga pertahanan dan keamanan negara. Perlahan, eksistensi Fraksi ABRI di lembaga perwakilan juga dikurangi. Mulai 2004, ABRI tidak lagi memiliki fraksi di parlemen.

Upaya supremasi sipil semakin masif melalui Pasal 46 UU TNI yang mengatur bahwa jabatan tertentu dalam struktur di lingkungan TNI dapat diduduki oleh pegawai negeri sipil. Seiring dengan itu, beberapa periode jabatan menteri pertahanan juga justru dijabat oleh kalangan sipil.
Rangkaian realita tersebut menjadi bukti bahwa upaya mengeliminasi kekuatan TNI-Polri di kalangan sipil sudah menjadi agenda yang berlangsung dalam waktu yang lama.

Hal ini harus dilakukan karena pengalaman atau sejarah bangsa ini dan beberapa negara asing. Pemberian kekuasaan ganda dan strategis kepada angkatan bersenjata sangat riskan. Kekuatan bersenjata dan kekuatan politik tidak boleh dimiliki bersamaan karena sangat berpotensi untuk diselewengkan.

Sejak lama Lord Acton dari Inggris menyerukan bahwa power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely. Kekuasaan akan cenderung diselewengkan dan kekuasaan yang absolut pasti akan diselewengkan. Karena itu pula, perubahan UUD 1945 mengusung sistem checks and balances. Setiap kekuasaan harus saling mengawasi dan mengimbangi. Kekuatan bersenjata TNI harus diimbangi kekuatan sipil demi tercipta kondusivitas kehidupan bernegara.

Jika demikian, apakah setelah Reformasi 1998, TNI benar-benar diharamkan untuk menduduki jabatan sipil? Sesuai amanat Pasal 30 UUD NRI Tahun 1945, TNI sesungguhnya tidak murni hanya sebagai alat pertahanan negara. Pasal 47 UU TNI sudah mengatur dengan jelas bahwa prajurit aktif dapat menduduki jabatan sipil di beberapa lembaga seperti pada kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotik Nasional, dan Mahkamah Agung.

Keberadaan TNI di lembaga-lembaga tersebut sangat logis karena kewenangannya sangat terkait dengan militer. Penyebutan lembaga-lembaga secara eksplisit tersebut juga mengisyaratkan bahwa pelibatan TNI di jabatan sipil di luar yang sudah diatur UU memang sangat dilarang. Keikutsertaan TNI dalam penyelenggaraan pemerintahan di ranah sipil juga semakin dikonkretkan oleh Pasal 7 UU TNI yang mengatur bahwa TNI dapat dilibatkan dalam operasi militer selain perang.

Operasi militer ini dibagi ke dalam 14 subsistem, yakni 1) mengatasi gerakan separatisme bersenjata; 2) mengatasi pemberontakan bersenjata; 3) mengatasi aksi terorisme; 4) mengamankan wilayah perbatasan; 5) mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis; 6) melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri; 7) mengamankan presiden dan wakil presiden beserta keluarganya; 8) memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta; 9) membantu tugas pemerintahan di daerah.

Selanjutnya 10) membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang; 11) membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia; 12) membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan; 13) membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue); serta 14) membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan.

Pasal tersebut membuktikan bahwa TNI sesungguhnya memiliki lingkup tugas yang sangat luas. Sehingga, alasan banyaknya jenderal dan kolonel yang tidak memiliki jabatan bukan merupakan alasan tepat untuk melibatkan TNI dalam jabatan sipil. Inflasi pati TNI nonjob ini justru seharusnya dijadikan introspeksi terkait mekanisme analisis kebutuhan dan jenjang karier di lingkungan internal TNI. Termasuk menata ulang sejauh mana sistem reward and punishment berjalan dengan baik.

Tidak hanya itu, kehadiran TNI di jabatan sipil di luar yang sudah diaturkan oleh UU TNI justru menjadi tidak sehat bagi reformasi birokrasi kita. Tanpa bermaksud mengukur kemampuan TNI, tapi harus diakui, di mana-mana TNI dididik dan dilatih untuk berperang karena memang itulah tupoksinya. Karena itu, sangat wajar jika TNI tidak akan profesional untuk menduduki jabatan-jabatan sipil di luar ketentuan UU. Padahal, salah satu asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) adalah profesionalisme.

Untuk menduduki suatu jabatan apa pun membutuhkan pengetahuan dan pengalaman yang baik terkait bidang jabatan yang diemban. Bagaimanapun profesionalisme bukan hal instan, tetapi diperoleh melalui perjalanan karier yang panjang mulai dari tingkat yang paling rendah.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.2872 seconds (0.1#10.140)