Politikus Salon

Selasa, 09 April 2019 - 06:35 WIB
Politikus Salon
Politikus Salon
A A A
Abdul HalimPemilik Hak Pilih pada Pemilu 2019,Direktur Eksekutif Center of Maritime Studies for Humanity, Jakarta

DALAM risalah berjudul Kepada Bangsaku yang terbit pada akhir 1948, Presiden Soekarno mengingatkan, "Janganlah menjadi salon-politikus! Lebih dari separuh dari politisi kita adalah salon-politisi, yang mengenal marhaen hanya dari sebutan saja." Ungkapan Bung Karno ini relevan dengan situasi dan kondisi perpolitikan nasional saat ini. Terlebih menjelang pelaksanaan episode terpenting Pemilihan Umum 2019 pada 17 April.Seperti diketahui, 7.698 orang dari 20 partai politik peserta pemilu telah ditetapkan sebagai calon legislator oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dari jumlah tersebut, 4.774 di antaranya adalah caleg laki-laki dan 3.194 sisanya adalah caleg perempuan. Untuk memperoleh simpati pemilih, beragam upaya dilakukan para caleg, di antaranya dengan memanfaatkan layanan jejaring sosial sebagai sarana penyampaian gagasan dan/atau menjalin komunikasi dengan masyarakat.

Tak dimungkiri, di era serbadigital seperti saat ini internet telah menjadi sarana pertukaran informasi yang memiliki jangkauan luas dan masif. Dalam pesta demokrasi elektoral, keberadaan media sosial jelas memberikan keuntungan tersendiri bagi para caleg. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (2018) mendapati fakta bahwa pengguna internet di Indonesia terus meningkat selama 1998-2017, dari 500.000 jiwa melonjak drastis menjadi 143,26 juta jiwa. Dari jumlah ini, 88,24% pengguna internet memiliki latar belakang pendidikan tinggi (S-2/S-3), disusul 79,23% (S-1/Diploma), 70,54% (SMA/MA), 48,53% (SMP/MTS), 25,10% (SD/MI), dan hanya 5,45% yang tidak bersekolah.

Berkaca pada kian membesarnya jumlah pengguna internet di Indonesia, tak mengherankan apabila negeri berpenduduk lebih dari 262 juta jiwa ini berada di peringkat empat besar dalam pemanfaatan media sosial terpopuler seperti Twitter (24,34 juta jiwa), Facebook (77,58 juta jiwa), dan Instagram (62 juta jiwa) setelah Amerika Serikat, India, dan Brasil.

Sementara itu, dilihat dari komposisi usianya, 49,52% pengguna internet berumur 19-34 tahun. Sisanya berusia 35-54 tahun (29,55%), 16,68% berusia 13-18 tahun, dan 4,24% berusia lebih dari 54 tahun. Menariknya, persentase pengguna internet antara laki-laki dan perempuan justru hanya terpaut 2,86%, yakni 51,43% berbanding 48,57%. Angka ini menunjukkan bahwa "keterwakilan" kaum perempuan di dunia maya terbilang tinggi. Pertanyaannya, seperti apakah percakapan publik di dunia maya?

Dilihat dari aspek pemanfaatan internet, aktivitas yang sering dilakukan oleh pengguna adalah mengakses media sosial, survei harga barang dan jasa, pencarian informasi edukatif dan kesehatan, serta mengikuti perkembangan isu sosial-politik. Melalui internet inilah keterlibatan publik terhadap hajat hidup bersama di ruang-ruang publik terbentuk, meski persoalan validitas informasi yang terkadang sulit diverifikasi dan diwarnai hoaks sering terlihat. Pada konteks inilah, ada jarak antara caleg dan masyarakat pemilih. Kenapa hal ini bisa terjadi?

Erving Goffman dalam buku The Presentation of Self in Everyday Life (1959) menyebut bahwa identitas seseorang yang diunggah melalui layanan jejaring sosial (social networking services) merupakan hasil proyeksi imajinatif ketimbang karakteristik aslinya. Hal ini disebabkan setidaknya oleh dua hal: (i) media sosial adalah panggung permainan, dan (ii) apa yang disuguhkan di panggung permainan adalah sebatas front stage (tampilan fisik), bukan back stage (integritas, kapabilitas, dan asal-usul pendanaan aktivitas politik) dari para caleg. Lantas, apa saja kriteria politikus salon yang perlu diwaspadai oleh masyarakat pemilih?

Pertama, politikus salon sering kali bertindak elitis dan mengabaikan kepentingan kaum marhaenis, terutama di lapangan ekonomi. Hal ini tampak dalam kasus pengaplingan dan privatisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Jakarta, Teluk Benoa, dan kabupaten/kota pesisir lain. Seolah-olah mengakui dirinya paling Pancasilais, namun pada kenyataannya justru menerbitkan sejumlah keputusan politik yang mengorbankan hajat hidup kaum marhaenis. Dalam ungkapan Bung Karno, "Penyakit kita yang paling sangat ialah bahwa kita senantiasa gemar mengajar kepada massa, tetapi tak pernah sudi belajar dari massa!"

Seperti diketahui, istilah "marhaen" mengacu pada nama salah seorang petani muda di Jawa Barat yang disimbolisasikan oleh Bung Karno sebagai sosialisme Indonesia dalam praktik. Dalam ungkapannya, "Marhaen adalah setiap rakyat Indonesia yang melarat atau yang telah dimelaratkan oleh sistem kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme."

Kedua, adanya keengganan pada diri politikus salon untuk hidup bersama dengan kaum marhaenis. Imbas dari sikap ini sering kali menghadirkan sikap apatis kepada rakyat. Terlebih setelah terpilih sebagai legislator. Apa penyebabnya? Tak lain adalah adanya ketidakmampuan para politisi menyerap aspirasi dan membangun sinergi dengan rakyat dalam memperjuangkan pelbagai inisiatif kebaikan bersama (bonum commune). Sikap inilah yang dikhawatirkan oleh Bung Karno, "Jikalau pemimpin tidak terjun di kalangan massa, maka pimpinannya sering terlalu ’teoretis’ dan hampir selamanya terlalu eenzijdig atau berat sebelah (dalam menghadirkan solusi atas pelbagai persoalan rakyat)."

Ketiga, ketidakmampuan politikus salon dalam membangun aliansi bersama melawan segala bentuk praktik ekonomi-politik yang memelaratkan kaum marhaenis. Tak sebatas di dalam negeri, melainkan juga dengan komunitas internasional yang memiliki visi sejalan, yakni memerdekakan manusia. Bung Karno mengatakan, "Dalam pada menggerakkan massa itu—dengan membuat mereka tersadarkan (zelf-bewust), maka kita harus menggabungkan tenaga massa itu dengan semua, sekali lagi semua, tenaga anti-imperialisme yang ada di dalam pagar, dan dengan semua tenaga anti-imperialisme yang ada di luar pagar."

Bertolak pada ketiga karakteristik politikus salon sebagaimana diutarakan oleh Bung Karno di atas, sudah seyogianya masyarakat pemilih lebih berhati-hati di dalam mengambil keputusan. Bagaimana caranya mengetahui calon legislator yang bakal dipilih memahami betapa krusialnya memihak kepentingan kaum marhaen dan memastikan dirinya memiliki kesanggupan untuk memperjuangkannya di medan politik?

Lazimnya sebuah teks, informasi yang dipertukarkan di media sosial sejatinya mengandaikan adanya proses penafsiran yang melibatkan sedikitnya dua pihak. Dari aktivitas penafsiran inilah diharapkan muncul pemahaman di antara kedua belah pihak. Dalam ungkapan Hans-Georg Gadamer, filosof berkebangsaan Jerman, "Pemahaman ini bisa diraih apabila proses dialog melalui pengajuan pertanyaan dan jawaban terus-menerus dilakukan." Di sinilah daya kritis masyarakat pemilih dibutuhkan.

Dengan bersikap kritis kepada para caleg di setiap daerah pemilihannya, masyarakat pemilih diharapkan tak hanya disuguhi pertunjukan front-stage semata, melainkan segala bentuk keaslian yang tersembunyi di balik back-stage para caleg juga bisa disingkap. Dengan jalan inilah langkah politikus salon bisa dihentikan agar perjuangan ekonomi-politik kaum marhaen bisa dimenangkan dan kebaikan bersama sebagai tujuan berpolitik bisa dihadirkan di tengah-tengah para pemilik hak pilih. Mari manfaatkan sisa waktu sebaik mungkin!
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4659 seconds (0.1#10.140)