Akhlak dan Perilaku Yang Mulia
A
A
A
Eman Suparman
Mantan Ketua Komisi Yudisial yang juga Guru Besar Hukum di Universitas Padjadjaran dan Dekan Fakultas Hukum Unikom Bandung
TIADA tugas yang lebih mulia di bumi ini selain menjadi duta-duta Allah, wakil-wakil Tuhan untuk menjalankan perintah-Nya bagi kebaikan manusia. Ada orang yang bertugas sebagai pengajar agama, sebagai guru dan dosen, ada sebagai dokter, ada pula sebagai penegak kebenaran dan keadilan; dan banyak lagi yang lain.
Para penegak kebenaran dan keadilan itu dikenal sebagai penegak hukum. Kenapa mereka disebut penegak hukum? Karena, mereka adalah teladan dalam menjalankan hukum. Jadi, bukan sekadar karena tugas mereka menegakkan hukum maka mereka disebut penegak hukum, tetapi karena mereka diyakini dan ditugasi oleh negara sebagai teladan atau orang-orang terbaik dalam menjalankan dan mengawal cara berhukum.
Dengan demikian, penegak hukum (polisi, jaksa, pengacara, hakim, dan petugas lain yang menjadi penjaga gawang undang-undang) adalah role model , suri teladan bagi masyarakat. Tetapi, dari mereka itu hanya satu golongan manusia yang paling dimuliakan. Mereka yang dimuliakan itu adalah para pengadil atau hakim di pengadilan—dari pengadilan negeri sampai pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung.
Kenapa para hakim dimuliakan? Karena, mereka bukan manusia biasa. Para hakim adalah duta-duta Allah, wakil-wakil Tuhan, orang-orang yang diberi mandat untuk menjalankan hukum negara dengan jalan menghakimi secara bertanggung jawab kepada — dan selaras dengan — hukum Tuhan. Inilah sebabnya, dalam setiap putusan pengadilan, ada kalimat yang berbunyi: Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Apanya yang begitu mulia sehingga para hakim itu disapa "Yang Mulia"? Toganyakah? Kursinya itukah? Tampang hakim itukah yang dimuliakan? Ataukah jabatannya itu yang dimuliakan?
Sesungguhnya kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif sama derajatnya. Presiden RI, Ketua DPR, Ketua DPD, Ketua MA, Ketua MK, dan Ketua BPK sama derajatnya dalam tataran pimpinan lembaga penyelenggara negara.
Tetapi, sapaan "Yang Mulia" lebih sering disematkan kepada para hakim di sidang-sidang pengadilan, padahal posisi hakim sebagai pegawai negara jauh di bawah para pimpinan lembaga tinggi negara itu.
Di sini tampak jelas bahwa sidang pengadilan itulah yang mengandung kemuliaan karena dijalankan oleh orang-orang pilihan, duta-duta Allah, wakil-wakil dari Tuhan Yang Maha Mulia untuk menegakkan nilai-nilai luhur nan mulia, yaitu kebenaran dan keadilan.
Maka, secara filosofis sebetulnya yang dimuliakan adalah nilai-nilai kebenaran dan keadilan itu yang membuat sidang pengadilan berhak mendapat kemuliaan. Inilah sebabnya, persidangan itu disebut pengadilan. Artinya, tempat di mana kebenaran dan keadilan dimuliakan dalam proses persidangan. Tanpa adanya kebenaran maka keadilan tak akan pernah bisa dicapai, sebab keadilan adalah buah dari kebenaran.
Proses penanganan perkara harus benar. Mekanisme yang digunakan harus benar. Teks-teks hukum yang dipakai harus benar. Interpretasi terhadap teks-teks hukum itu harus benar dan tidak multitafsir. Hukum acaranya harus benar dan taat asas serta menjunjung tinggi hak asasi manusia yang adalah ciptaan termulia dari Allah.
Pembuktian kesalahan terdakwa harus jujur dan benar. Fakta-fakta persidangan harus disimpulkan secara tepat dan benar. Dan, orang yang mendakwa serta menghakimi itu pun haruslah benar perilaku dan motivasinya. Keyakinan hakim yang subjektif itu pun harus benar di hadapan Tuhan yang menyelidiki isi hati hakim.
Apakah prinsip kebenaran abadi ini sungguh-sungguh dihayati oleh para "Yang Mulia" itu di pengadilan? Jawabnya ada pada hasil-hasil persidangan. Dalam banyak kasus kita saksikan bahwa putusan perkara bahkan yang sudah berkekuatan hukum tetap pun masih menimbulkan kontroversi dalam masyarakat.
Salah satu contohnya kasus mantan Ketua DPR RI Irman Gusman yang meski sudah berkekuatan hukum tetap, tetapi ternyata diberikan anotasi oleh sejumlah profesor dan doktor ahli hukum serta praktisi-praktisi hukum. Itu terjadi karena mereka menilai melalui eksaminasi ilmiah bahwa putusan perkara ini tidak menghadirkan kebenaran dan keadilan. Padahal, justru kebenaran dan keadilan adalah roh dari sidang pengadilan.
Kasus Irman Gusman hanyalah satu contoh. Masih ada banyak contoh lain di mana penegakan hukum dianggap kurang atau tidak menghadirkan kebenaran dan keadilan yang merupakan roh dari persidangan di pengadilan. Maka, saya lalu merenung: Kenapa para "Yang Mulia" itu lupa atau bahkan lalai menegakkan roh kebenaran dan keadilan itu untuk menjaga marwah dari kekuasaan kehakiman yang sangat kita hormati?
Saya kemudian temukan jawabnya dalam pengalaman saya sendiri, yaitu ketika masih memimpin Komisi Yudisial. Saya temukan bahwa masalah utama yang menyebabkan para "Yang Mulia" itu melupakan kemuliaannya adalah kurangnya integritas diri sehingga mudah tergoda lalu menistakan kemuliaan pengadilan.
Jadi, sebenarnya yang harus dikawal terus adalah integritas pengadil dalam mengerjakan tugasnya masing-masing. Kalau integritasnya ada, hukum yang kurang sempurna pun bisa membuahkan hasil yang baik. Karena, pada dasarnya kata kuncinya adalah integritas individu.
Kalau pengadil itu ilmunya baik, moralnya baik, maka sempurnalah tindakannya. Tetapi, celakanya, kalau integritas moralnya baik tetapi kurang ilmunya maka menjadi tidak sempurna putusannya. Ilmunya ada, tetapi tidak berintegritas, malah lebih parah itu, lebih rusak dia.
Karena apa? Karena integritas itu harus lengkap — integritas ilmu dan integritas moral. Ketika saya masih di Komisi Yudisial untuk mengawal mereka, saya selalu berpesan kepada para hakim: hendaklah Bapak, Ibu, para hakim itu sekolah lagi, untuk menambah integritas keilmuan. Karena, kalau hakim memutus tanpa ilmu, hasilnya adalah bencana.
Di situ dia bisa memindahkan kekayaan orang kepada yang tidak berhak, bisa mencabut nyawa orang hanya karena putusan hakim, bisa menzalimi orang, memasukkan ke penjara, padahal orang itu belum tentu bersalah. Padahal, lebih baik membebaskan seratus orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tak layak dihukum.
Akan tetapi, integritas itu juga masih ada pengawalnya, yaitu profesionalisme. Kalau seseorang berintegritas tetapi tidak profesional, itu sama saja dengan tidak berilmu. Dengan demikian, ketika seseorang dipanggil "Yang Mulia" maka secara teoritis dia dianggap sudah memiliki integritas keilmuan, integritas moral, dan profesionalisme sehingga dia akan mampu memuliakan pengadilan dengan nilai-nilai mulia, yaitu kebenaran dan keadilan.
Apa yang muncul dalam hati seorang hakim ketika dia disapa "Yang Mulia"? Apakah dia merasa tersanjung? Kalau dia merasa tersanjung, dia tak pantas lagi dipanggil "Yang Mulia." Sebab, orang yang berakhlak baik dan berintegritas tidak akan mencari pujian dan sanjungan; justru akan rendah hati.
Karena hakim dipanggil "Yang Mulia" maka perilakunya pun harus mulia, motivasinya dalam mengadili harus mulia, cara penanganan perkara harus mulia, dan putusan yang dia jatuhkan pun harus mulia tujuannya. Kalau hasilnya tidak mulia bahkan menyebabkan kontroversi, sanggahan, dan kritikan, dia tak pantas dipanggil "Yang Mulia" karena dia gagal memuliakan nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang menghidupi atau menjadi roh dari pengadilan.
Apakah para "Yang Mulia" itu sungguh-sungguh menyadari bahwa mereka sedang memikul tanggung jawab yang besar untuk menghadirkan kebenaran dan keadilan atas nama Tuhan yang dipakai namanya dalam setiap amar putusan pengadilan?
Sebagai orang beragama, kita meyakini bahwa setiap tindakan kita akan dipertanggungjawabkan kelak nanti di akhirat di hadapan Sang Hakim Yang Maha Mulia itu, yaitu Allah SWT. Tidak terkecuali putusan dari setiap "Yang Mulia" itu di sidang-sidang pengadilan.
Inilah sebabnya, ketika para penyelidik, penyidik, pendakwa, dan pengadil menegakkan hukum tidak sesuai dengan ukuran dan standar Tuhan, mereka bersalah dan jahat di hadapan Tuhan, meskipun di hadapan manusia secara hukum negara mereka dianggap benar atau menganggap dirinya paling benar.
Apalagi, jika dalam menangani suatu perkara, para penegak hukum itu menggunakan hukum untuk memenuhi kepentingan yang berlawanan dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang sesuai dengan kehendak Tuhan.
Kejahatan terbesar dalam dunia peradilan adalah ketika para penegak hukum mengabaikan nilai-nilai kebenaran dan keadilan hanya karena mengejar kepastian hukum yang semu, sarat kepentingan, dan tak mampu menghadirkan keadilan. Apalagi, karena kepentingan politik ataupun kepentingan ekonomi yang sering menjebak penegak hukum.
Akhirnya, saya tiba pada suatu kesimpulan sederhana: tidak mudah, memang, untuk menyandang predikat "Yang Mulia". Sebab, setiap saat Dia Yang Maha Mulia itu menyelidiki isi hati kita dan menilai apakah mandat yang diterima untuk mewakili-Nya itu sudah dijalankan secara benar, jujur, dan adil sesuai kehendak-Nya.
Bagaimana kalau semua putusan yang dijatuhkan itu benar dan adil menurut ukuran manusia, tetapi salah dan tak adil bahkan jahat di mata Tuhan yang Maha Mengetahui, Maha Benar, dan Maha Adil itu?
Di sini dibutuhkan perenungan yang mendalam. Perlu direnungkan apakah tindak-tanduk para pengadil dan penegak hukum lainnya sudah tepat menurut ukuran dan standar Tuhan ataukah hanya memenuhi kepentingan sesaat, merugikan orang lain, dan pada akhirnya membawa bencana bagi diri sendiri kelak di akhirat nanti.
Sebagai rambu yang perlu diperhatikan, sebaiknya para "Yang Mulia" itu senantiasa memeriksa perkara berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, serta Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Artinya, putusan perkara harus selaras dengan kehendak Tuhan, menegakkan martabat manusia sebagai insan ciptaan Allah yang mulia, dan menghadirkan keadilan sebagai perwujudan dari falsafah negara kita, yaitu Pancasila.
Mantan Ketua Komisi Yudisial yang juga Guru Besar Hukum di Universitas Padjadjaran dan Dekan Fakultas Hukum Unikom Bandung
TIADA tugas yang lebih mulia di bumi ini selain menjadi duta-duta Allah, wakil-wakil Tuhan untuk menjalankan perintah-Nya bagi kebaikan manusia. Ada orang yang bertugas sebagai pengajar agama, sebagai guru dan dosen, ada sebagai dokter, ada pula sebagai penegak kebenaran dan keadilan; dan banyak lagi yang lain.
Para penegak kebenaran dan keadilan itu dikenal sebagai penegak hukum. Kenapa mereka disebut penegak hukum? Karena, mereka adalah teladan dalam menjalankan hukum. Jadi, bukan sekadar karena tugas mereka menegakkan hukum maka mereka disebut penegak hukum, tetapi karena mereka diyakini dan ditugasi oleh negara sebagai teladan atau orang-orang terbaik dalam menjalankan dan mengawal cara berhukum.
Dengan demikian, penegak hukum (polisi, jaksa, pengacara, hakim, dan petugas lain yang menjadi penjaga gawang undang-undang) adalah role model , suri teladan bagi masyarakat. Tetapi, dari mereka itu hanya satu golongan manusia yang paling dimuliakan. Mereka yang dimuliakan itu adalah para pengadil atau hakim di pengadilan—dari pengadilan negeri sampai pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung.
Kenapa para hakim dimuliakan? Karena, mereka bukan manusia biasa. Para hakim adalah duta-duta Allah, wakil-wakil Tuhan, orang-orang yang diberi mandat untuk menjalankan hukum negara dengan jalan menghakimi secara bertanggung jawab kepada — dan selaras dengan — hukum Tuhan. Inilah sebabnya, dalam setiap putusan pengadilan, ada kalimat yang berbunyi: Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Apanya yang begitu mulia sehingga para hakim itu disapa "Yang Mulia"? Toganyakah? Kursinya itukah? Tampang hakim itukah yang dimuliakan? Ataukah jabatannya itu yang dimuliakan?
Sesungguhnya kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif sama derajatnya. Presiden RI, Ketua DPR, Ketua DPD, Ketua MA, Ketua MK, dan Ketua BPK sama derajatnya dalam tataran pimpinan lembaga penyelenggara negara.
Tetapi, sapaan "Yang Mulia" lebih sering disematkan kepada para hakim di sidang-sidang pengadilan, padahal posisi hakim sebagai pegawai negara jauh di bawah para pimpinan lembaga tinggi negara itu.
Di sini tampak jelas bahwa sidang pengadilan itulah yang mengandung kemuliaan karena dijalankan oleh orang-orang pilihan, duta-duta Allah, wakil-wakil dari Tuhan Yang Maha Mulia untuk menegakkan nilai-nilai luhur nan mulia, yaitu kebenaran dan keadilan.
Maka, secara filosofis sebetulnya yang dimuliakan adalah nilai-nilai kebenaran dan keadilan itu yang membuat sidang pengadilan berhak mendapat kemuliaan. Inilah sebabnya, persidangan itu disebut pengadilan. Artinya, tempat di mana kebenaran dan keadilan dimuliakan dalam proses persidangan. Tanpa adanya kebenaran maka keadilan tak akan pernah bisa dicapai, sebab keadilan adalah buah dari kebenaran.
Proses penanganan perkara harus benar. Mekanisme yang digunakan harus benar. Teks-teks hukum yang dipakai harus benar. Interpretasi terhadap teks-teks hukum itu harus benar dan tidak multitafsir. Hukum acaranya harus benar dan taat asas serta menjunjung tinggi hak asasi manusia yang adalah ciptaan termulia dari Allah.
Pembuktian kesalahan terdakwa harus jujur dan benar. Fakta-fakta persidangan harus disimpulkan secara tepat dan benar. Dan, orang yang mendakwa serta menghakimi itu pun haruslah benar perilaku dan motivasinya. Keyakinan hakim yang subjektif itu pun harus benar di hadapan Tuhan yang menyelidiki isi hati hakim.
Apakah prinsip kebenaran abadi ini sungguh-sungguh dihayati oleh para "Yang Mulia" itu di pengadilan? Jawabnya ada pada hasil-hasil persidangan. Dalam banyak kasus kita saksikan bahwa putusan perkara bahkan yang sudah berkekuatan hukum tetap pun masih menimbulkan kontroversi dalam masyarakat.
Salah satu contohnya kasus mantan Ketua DPR RI Irman Gusman yang meski sudah berkekuatan hukum tetap, tetapi ternyata diberikan anotasi oleh sejumlah profesor dan doktor ahli hukum serta praktisi-praktisi hukum. Itu terjadi karena mereka menilai melalui eksaminasi ilmiah bahwa putusan perkara ini tidak menghadirkan kebenaran dan keadilan. Padahal, justru kebenaran dan keadilan adalah roh dari sidang pengadilan.
Kasus Irman Gusman hanyalah satu contoh. Masih ada banyak contoh lain di mana penegakan hukum dianggap kurang atau tidak menghadirkan kebenaran dan keadilan yang merupakan roh dari persidangan di pengadilan. Maka, saya lalu merenung: Kenapa para "Yang Mulia" itu lupa atau bahkan lalai menegakkan roh kebenaran dan keadilan itu untuk menjaga marwah dari kekuasaan kehakiman yang sangat kita hormati?
Saya kemudian temukan jawabnya dalam pengalaman saya sendiri, yaitu ketika masih memimpin Komisi Yudisial. Saya temukan bahwa masalah utama yang menyebabkan para "Yang Mulia" itu melupakan kemuliaannya adalah kurangnya integritas diri sehingga mudah tergoda lalu menistakan kemuliaan pengadilan.
Jadi, sebenarnya yang harus dikawal terus adalah integritas pengadil dalam mengerjakan tugasnya masing-masing. Kalau integritasnya ada, hukum yang kurang sempurna pun bisa membuahkan hasil yang baik. Karena, pada dasarnya kata kuncinya adalah integritas individu.
Kalau pengadil itu ilmunya baik, moralnya baik, maka sempurnalah tindakannya. Tetapi, celakanya, kalau integritas moralnya baik tetapi kurang ilmunya maka menjadi tidak sempurna putusannya. Ilmunya ada, tetapi tidak berintegritas, malah lebih parah itu, lebih rusak dia.
Karena apa? Karena integritas itu harus lengkap — integritas ilmu dan integritas moral. Ketika saya masih di Komisi Yudisial untuk mengawal mereka, saya selalu berpesan kepada para hakim: hendaklah Bapak, Ibu, para hakim itu sekolah lagi, untuk menambah integritas keilmuan. Karena, kalau hakim memutus tanpa ilmu, hasilnya adalah bencana.
Di situ dia bisa memindahkan kekayaan orang kepada yang tidak berhak, bisa mencabut nyawa orang hanya karena putusan hakim, bisa menzalimi orang, memasukkan ke penjara, padahal orang itu belum tentu bersalah. Padahal, lebih baik membebaskan seratus orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tak layak dihukum.
Akan tetapi, integritas itu juga masih ada pengawalnya, yaitu profesionalisme. Kalau seseorang berintegritas tetapi tidak profesional, itu sama saja dengan tidak berilmu. Dengan demikian, ketika seseorang dipanggil "Yang Mulia" maka secara teoritis dia dianggap sudah memiliki integritas keilmuan, integritas moral, dan profesionalisme sehingga dia akan mampu memuliakan pengadilan dengan nilai-nilai mulia, yaitu kebenaran dan keadilan.
Apa yang muncul dalam hati seorang hakim ketika dia disapa "Yang Mulia"? Apakah dia merasa tersanjung? Kalau dia merasa tersanjung, dia tak pantas lagi dipanggil "Yang Mulia." Sebab, orang yang berakhlak baik dan berintegritas tidak akan mencari pujian dan sanjungan; justru akan rendah hati.
Karena hakim dipanggil "Yang Mulia" maka perilakunya pun harus mulia, motivasinya dalam mengadili harus mulia, cara penanganan perkara harus mulia, dan putusan yang dia jatuhkan pun harus mulia tujuannya. Kalau hasilnya tidak mulia bahkan menyebabkan kontroversi, sanggahan, dan kritikan, dia tak pantas dipanggil "Yang Mulia" karena dia gagal memuliakan nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang menghidupi atau menjadi roh dari pengadilan.
Apakah para "Yang Mulia" itu sungguh-sungguh menyadari bahwa mereka sedang memikul tanggung jawab yang besar untuk menghadirkan kebenaran dan keadilan atas nama Tuhan yang dipakai namanya dalam setiap amar putusan pengadilan?
Sebagai orang beragama, kita meyakini bahwa setiap tindakan kita akan dipertanggungjawabkan kelak nanti di akhirat di hadapan Sang Hakim Yang Maha Mulia itu, yaitu Allah SWT. Tidak terkecuali putusan dari setiap "Yang Mulia" itu di sidang-sidang pengadilan.
Inilah sebabnya, ketika para penyelidik, penyidik, pendakwa, dan pengadil menegakkan hukum tidak sesuai dengan ukuran dan standar Tuhan, mereka bersalah dan jahat di hadapan Tuhan, meskipun di hadapan manusia secara hukum negara mereka dianggap benar atau menganggap dirinya paling benar.
Apalagi, jika dalam menangani suatu perkara, para penegak hukum itu menggunakan hukum untuk memenuhi kepentingan yang berlawanan dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang sesuai dengan kehendak Tuhan.
Kejahatan terbesar dalam dunia peradilan adalah ketika para penegak hukum mengabaikan nilai-nilai kebenaran dan keadilan hanya karena mengejar kepastian hukum yang semu, sarat kepentingan, dan tak mampu menghadirkan keadilan. Apalagi, karena kepentingan politik ataupun kepentingan ekonomi yang sering menjebak penegak hukum.
Akhirnya, saya tiba pada suatu kesimpulan sederhana: tidak mudah, memang, untuk menyandang predikat "Yang Mulia". Sebab, setiap saat Dia Yang Maha Mulia itu menyelidiki isi hati kita dan menilai apakah mandat yang diterima untuk mewakili-Nya itu sudah dijalankan secara benar, jujur, dan adil sesuai kehendak-Nya.
Bagaimana kalau semua putusan yang dijatuhkan itu benar dan adil menurut ukuran manusia, tetapi salah dan tak adil bahkan jahat di mata Tuhan yang Maha Mengetahui, Maha Benar, dan Maha Adil itu?
Di sini dibutuhkan perenungan yang mendalam. Perlu direnungkan apakah tindak-tanduk para pengadil dan penegak hukum lainnya sudah tepat menurut ukuran dan standar Tuhan ataukah hanya memenuhi kepentingan sesaat, merugikan orang lain, dan pada akhirnya membawa bencana bagi diri sendiri kelak di akhirat nanti.
Sebagai rambu yang perlu diperhatikan, sebaiknya para "Yang Mulia" itu senantiasa memeriksa perkara berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, serta Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Artinya, putusan perkara harus selaras dengan kehendak Tuhan, menegakkan martabat manusia sebagai insan ciptaan Allah yang mulia, dan menghadirkan keadilan sebagai perwujudan dari falsafah negara kita, yaitu Pancasila.
(thm)