Mahkamah (Bukan) Kalkulator

Sabtu, 06 April 2019 - 08:01 WIB
Mahkamah (Bukan) Kalkulator
Mahkamah (Bukan) Kalkulator
A A A
Idul Rishan
Pengurus Asosiasi Pengajar HTN-HAN Wilayah DIY, Pengajar Hukum Konstitusi, Universitas Islam Indonesia

AKIBAT perubahan sistem pemilu, Mahkamah Kon­stitusi (MK) akan ikut menanggung keterlibat­an­nya dalam mengadili sengketa hasil pemilu. Lima tahun lalu (2014), MK terpesona dengan pemilu serentak. Dalam putusannya, MK membatal­kan tradisi pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden diselenggarakan secara terpisah (Putusan No 14/PUU-XI/2013).

MK memperkenalkan era baru pemilu di Indonesia. Dari pemilu bertahap (staggered elections) menjadi pemilu serentak (concurrent elections). Dampak perubahan itu secara lang­sung membawa pengaruh pada peran­nya dalam mengadili sengketa hasil pemilu. Tak mengherankan jika nanti MK akan berpacu pada besarnya ledakan perkara yang akan diterima dalam menangani dan memutus sengketa hasil pemilu.

Ditambah dengan rentang waktu penyelesaian yang relatif cukup singkat. Ragam potensi konflik akan muncul dan dihadapi MK. Mulai dari sengketa hasil pilpres, parpol maupun antar­caleg (DPR-DPD-DPRD). Bahkan akibat sistem proporsional terbuka, pertarungan itu bisa saja melibatkan caleg-caleg separpol. Tidak mudah bagi MK. Sebab dalam setiap fase ajudikasi di MK, pisau analisis sembilan hakim konstitusi tidak bisa hanya bersandar pada perhitungan secara kuantitatif, melainkan juga menggali fakta persidangan secara kualitatif.

Sengketa Pemilu

Dalam memahami sengketa pemilu, cetak biru Undang-Undang Pemilu (UU Nomor 7 Tahun 2017) menginginkan adanya saluran pembagian sengketa terhadap proses pemilu dan sengketa terhadap hasil pemilu. Bahkan, pem­bentuk undang-undang tampaknya menginginkan lembaga pengawas pemilu dibuat secara berlapis. Kristal­isasi dari keinginan itu kemudian melahirkan lembaga ajudikasi yang cukup kompleks dan beragam.

Penulis menyatakan cukup kompleks karena tiap pelanggaran pemilu memiliki kanal sendiri-sendiri dalam penyelesaian sengketanya. Sengketa proses pemilu dilakukan dalam proses tahapan pemilu sebelum hasil pemilu ditetapkan. Dalam tahap ini sengketa bisa meliputi tindak pidana pemilu, pelanggaran administratif sampai dengan pelanggaran etika dan profesionalitas penyelenggara pe­milu.

Saluran ajudikasi pun dibuat secara beragam. Pelanggaran pidana pemilu diselesaikan melalui badan peradilan umum, pelanggaran admi­nis­tratif diselesaikan oleh Bawaslu hingga dimungkinkan bermuara pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan kemudian ajudikasi lapis ketiga (terluar), yakni Dewan Kehor­matan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP), yang menangani pelang­gar­an etika penyelenggara pemilu. Ber­beda halnya dengan sengketa hasil pemilu. MK akan menjadi fasilitator tunggal untuk mengadili sengketa yang lahir atas penetapan hasil peme­nang pemilu oleh KPU.

Bukan Kalkulator

Kembali pada peran MK dalam menangani sengketa hasil pemilu. Sebenarnya dengan adanya pemisah­an rezim “sengketa proses” dan “sengketa hasil”, hal itu justru berpotensi men­jadikan MK hanya sebagai pengadil kuantitatif. Tak ubahnya seperti cara kerja kalkulator dengan menghitung jumlah dan selisih suara yang diseng­ketakan.

Jika yang dipersengketakan hasil pe­milihan presiden dan wakil presiden, sepanjang selisih suara yang dijadikan objek tidak memengaruhi terpilihnya pasangan calon presiden dan wakil presiden tersebut, pasang­an yang bersangkutan tidak akan di­terima kedudukan hukumnya se­bagai pemohon.

Jika yang diperseng­keta­kan ialah calon anggota DPD, DPR, dan DPRD, sepanjang selisih suara yang dijadikan objek tidak akan menyebabkan yang bersangkutan terpilih sebagai anggota legislatif, permohonan tidak akan diterima. Ketentuan yang sama juga berlaku pada sengketa hasil terhadap parpol. Jika jumlah suara yang diseng­keta­kan tidak akan memengaruhi per­olehan kursi parpol yang ber­sangkutan, maka permohonan juga tidak akan diterima. Pola ini akan menjadikan MK begitu kaku dan bahkan cende­rung bekerja bak robot.

Pada titik inilah penulis berpan­dangan bahwa, sengketa proses tidak dapat dimaknai sebagai sesuatu yang “given “ dan haram hukumnya untuk kembali diperdebatkan di depan majelis hakim konstitusi.

Bagaimana jika pelanggaran terhadap proses itu justru akan memengaruhi hasil pe­milu? Pada kondisi inilah MK dimung­kinkan untuk kembali menilai proses penyelenggaraan pemilu. Apalagi kita semua tahu, KPU-Bawaslu-dan DKPP sangat dimungkinkan menjadi pihak yang dimintai keterangannya dalam proses ataupun penggalian fakta per­sidangan.

Sistematis-Terstruktur-Masif

Sebagai contoh apabila kecurang­an itu berkaitan dengan jual beli suara (money politic), mau tidak mau MK akan menggali fakta persidang­an de­ngan menilai proses penye­leng­gara­an pemilu pada daerah tertentu. Apabila kecurangan itu berkaitan dengan ne­tralitas aparat TNI, MK akan menilai dan menguji fakta-fakta tersebut.

Begitu pun apabila hal itu berkaitan dengan netralitas penye­lenggara pe­milu, MK akan kembali melihat pro­ses serta menilai fakta persidangan yang ada. Beberapa contoh di atas merupa­kan jenis pe­lang­garan terha­dap pro­ses, namun bisa saja memengaruhi atau bahkan mengubah hasil suara secara signifi­kan. Potensi konflik demikian sangat dimungkinkan menjadi alasan para pemohon dalam mengajukan seng­keta hasil di MK.

Melihat bentangan empirik di atas, itulah sebabnya mengapa MK meng­gunakan kriteria konseptual dengan istilah "sepanjang pelanggaran dilaku­kan secara sistematis, terstruktur, dan masif (STM)". Kriteria inilah yang ke­mudian menjadi pendekatan kuali­tatif sembilan hakim guna men­do­rong Mahkamah agar tidak terjebak pada pendekatan interpretasi yang kaku.

Pada akhirnya Mahkamah akan menilai bahwa, penyelesaian seng­keta hasil pemilu itu bukan hanya kuan­titas selisih suara, tetapi juga mampu menjaga kualitas pemilu yang jujur, adil, dan demokratis.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6468 seconds (0.1#10.140)