Mahkamah (Bukan) Kalkulator
A
A
A
Idul Rishan
Pengurus Asosiasi Pengajar HTN-HAN Wilayah DIY, Pengajar Hukum Konstitusi, Universitas Islam Indonesia
AKIBAT perubahan sistem pemilu, Mahkamah Konstitusi (MK) akan ikut menanggung keterlibatannya dalam mengadili sengketa hasil pemilu. Lima tahun lalu (2014), MK terpesona dengan pemilu serentak. Dalam putusannya, MK membatalkan tradisi pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden diselenggarakan secara terpisah (Putusan No 14/PUU-XI/2013).
MK memperkenalkan era baru pemilu di Indonesia. Dari pemilu bertahap (staggered elections) menjadi pemilu serentak (concurrent elections). Dampak perubahan itu secara langsung membawa pengaruh pada perannya dalam mengadili sengketa hasil pemilu. Tak mengherankan jika nanti MK akan berpacu pada besarnya ledakan perkara yang akan diterima dalam menangani dan memutus sengketa hasil pemilu.
Ditambah dengan rentang waktu penyelesaian yang relatif cukup singkat. Ragam potensi konflik akan muncul dan dihadapi MK. Mulai dari sengketa hasil pilpres, parpol maupun antarcaleg (DPR-DPD-DPRD). Bahkan akibat sistem proporsional terbuka, pertarungan itu bisa saja melibatkan caleg-caleg separpol. Tidak mudah bagi MK. Sebab dalam setiap fase ajudikasi di MK, pisau analisis sembilan hakim konstitusi tidak bisa hanya bersandar pada perhitungan secara kuantitatif, melainkan juga menggali fakta persidangan secara kualitatif.
Sengketa Pemilu
Dalam memahami sengketa pemilu, cetak biru Undang-Undang Pemilu (UU Nomor 7 Tahun 2017) menginginkan adanya saluran pembagian sengketa terhadap proses pemilu dan sengketa terhadap hasil pemilu. Bahkan, pembentuk undang-undang tampaknya menginginkan lembaga pengawas pemilu dibuat secara berlapis. Kristalisasi dari keinginan itu kemudian melahirkan lembaga ajudikasi yang cukup kompleks dan beragam.
Penulis menyatakan cukup kompleks karena tiap pelanggaran pemilu memiliki kanal sendiri-sendiri dalam penyelesaian sengketanya. Sengketa proses pemilu dilakukan dalam proses tahapan pemilu sebelum hasil pemilu ditetapkan. Dalam tahap ini sengketa bisa meliputi tindak pidana pemilu, pelanggaran administratif sampai dengan pelanggaran etika dan profesionalitas penyelenggara pemilu.
Saluran ajudikasi pun dibuat secara beragam. Pelanggaran pidana pemilu diselesaikan melalui badan peradilan umum, pelanggaran administratif diselesaikan oleh Bawaslu hingga dimungkinkan bermuara pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan kemudian ajudikasi lapis ketiga (terluar), yakni Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP), yang menangani pelanggaran etika penyelenggara pemilu. Berbeda halnya dengan sengketa hasil pemilu. MK akan menjadi fasilitator tunggal untuk mengadili sengketa yang lahir atas penetapan hasil pemenang pemilu oleh KPU.
Bukan Kalkulator
Kembali pada peran MK dalam menangani sengketa hasil pemilu. Sebenarnya dengan adanya pemisahan rezim “sengketa proses” dan “sengketa hasil”, hal itu justru berpotensi menjadikan MK hanya sebagai pengadil kuantitatif. Tak ubahnya seperti cara kerja kalkulator dengan menghitung jumlah dan selisih suara yang disengketakan.
Jika yang dipersengketakan hasil pemilihan presiden dan wakil presiden, sepanjang selisih suara yang dijadikan objek tidak memengaruhi terpilihnya pasangan calon presiden dan wakil presiden tersebut, pasangan yang bersangkutan tidak akan diterima kedudukan hukumnya sebagai pemohon.
Jika yang dipersengketakan ialah calon anggota DPD, DPR, dan DPRD, sepanjang selisih suara yang dijadikan objek tidak akan menyebabkan yang bersangkutan terpilih sebagai anggota legislatif, permohonan tidak akan diterima. Ketentuan yang sama juga berlaku pada sengketa hasil terhadap parpol. Jika jumlah suara yang disengketakan tidak akan memengaruhi perolehan kursi parpol yang bersangkutan, maka permohonan juga tidak akan diterima. Pola ini akan menjadikan MK begitu kaku dan bahkan cenderung bekerja bak robot.
Pada titik inilah penulis berpandangan bahwa, sengketa proses tidak dapat dimaknai sebagai sesuatu yang “given “ dan haram hukumnya untuk kembali diperdebatkan di depan majelis hakim konstitusi.
Bagaimana jika pelanggaran terhadap proses itu justru akan memengaruhi hasil pemilu? Pada kondisi inilah MK dimungkinkan untuk kembali menilai proses penyelenggaraan pemilu. Apalagi kita semua tahu, KPU-Bawaslu-dan DKPP sangat dimungkinkan menjadi pihak yang dimintai keterangannya dalam proses ataupun penggalian fakta persidangan.
Sistematis-Terstruktur-Masif
Sebagai contoh apabila kecurangan itu berkaitan dengan jual beli suara (money politic), mau tidak mau MK akan menggali fakta persidangan dengan menilai proses penyelenggaraan pemilu pada daerah tertentu. Apabila kecurangan itu berkaitan dengan netralitas aparat TNI, MK akan menilai dan menguji fakta-fakta tersebut.
Begitu pun apabila hal itu berkaitan dengan netralitas penyelenggara pemilu, MK akan kembali melihat proses serta menilai fakta persidangan yang ada. Beberapa contoh di atas merupakan jenis pelanggaran terhadap proses, namun bisa saja memengaruhi atau bahkan mengubah hasil suara secara signifikan. Potensi konflik demikian sangat dimungkinkan menjadi alasan para pemohon dalam mengajukan sengketa hasil di MK.
Melihat bentangan empirik di atas, itulah sebabnya mengapa MK menggunakan kriteria konseptual dengan istilah "sepanjang pelanggaran dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan masif (STM)". Kriteria inilah yang kemudian menjadi pendekatan kualitatif sembilan hakim guna mendorong Mahkamah agar tidak terjebak pada pendekatan interpretasi yang kaku.
Pada akhirnya Mahkamah akan menilai bahwa, penyelesaian sengketa hasil pemilu itu bukan hanya kuantitas selisih suara, tetapi juga mampu menjaga kualitas pemilu yang jujur, adil, dan demokratis.
Pengurus Asosiasi Pengajar HTN-HAN Wilayah DIY, Pengajar Hukum Konstitusi, Universitas Islam Indonesia
AKIBAT perubahan sistem pemilu, Mahkamah Konstitusi (MK) akan ikut menanggung keterlibatannya dalam mengadili sengketa hasil pemilu. Lima tahun lalu (2014), MK terpesona dengan pemilu serentak. Dalam putusannya, MK membatalkan tradisi pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden diselenggarakan secara terpisah (Putusan No 14/PUU-XI/2013).
MK memperkenalkan era baru pemilu di Indonesia. Dari pemilu bertahap (staggered elections) menjadi pemilu serentak (concurrent elections). Dampak perubahan itu secara langsung membawa pengaruh pada perannya dalam mengadili sengketa hasil pemilu. Tak mengherankan jika nanti MK akan berpacu pada besarnya ledakan perkara yang akan diterima dalam menangani dan memutus sengketa hasil pemilu.
Ditambah dengan rentang waktu penyelesaian yang relatif cukup singkat. Ragam potensi konflik akan muncul dan dihadapi MK. Mulai dari sengketa hasil pilpres, parpol maupun antarcaleg (DPR-DPD-DPRD). Bahkan akibat sistem proporsional terbuka, pertarungan itu bisa saja melibatkan caleg-caleg separpol. Tidak mudah bagi MK. Sebab dalam setiap fase ajudikasi di MK, pisau analisis sembilan hakim konstitusi tidak bisa hanya bersandar pada perhitungan secara kuantitatif, melainkan juga menggali fakta persidangan secara kualitatif.
Sengketa Pemilu
Dalam memahami sengketa pemilu, cetak biru Undang-Undang Pemilu (UU Nomor 7 Tahun 2017) menginginkan adanya saluran pembagian sengketa terhadap proses pemilu dan sengketa terhadap hasil pemilu. Bahkan, pembentuk undang-undang tampaknya menginginkan lembaga pengawas pemilu dibuat secara berlapis. Kristalisasi dari keinginan itu kemudian melahirkan lembaga ajudikasi yang cukup kompleks dan beragam.
Penulis menyatakan cukup kompleks karena tiap pelanggaran pemilu memiliki kanal sendiri-sendiri dalam penyelesaian sengketanya. Sengketa proses pemilu dilakukan dalam proses tahapan pemilu sebelum hasil pemilu ditetapkan. Dalam tahap ini sengketa bisa meliputi tindak pidana pemilu, pelanggaran administratif sampai dengan pelanggaran etika dan profesionalitas penyelenggara pemilu.
Saluran ajudikasi pun dibuat secara beragam. Pelanggaran pidana pemilu diselesaikan melalui badan peradilan umum, pelanggaran administratif diselesaikan oleh Bawaslu hingga dimungkinkan bermuara pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan kemudian ajudikasi lapis ketiga (terluar), yakni Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP), yang menangani pelanggaran etika penyelenggara pemilu. Berbeda halnya dengan sengketa hasil pemilu. MK akan menjadi fasilitator tunggal untuk mengadili sengketa yang lahir atas penetapan hasil pemenang pemilu oleh KPU.
Bukan Kalkulator
Kembali pada peran MK dalam menangani sengketa hasil pemilu. Sebenarnya dengan adanya pemisahan rezim “sengketa proses” dan “sengketa hasil”, hal itu justru berpotensi menjadikan MK hanya sebagai pengadil kuantitatif. Tak ubahnya seperti cara kerja kalkulator dengan menghitung jumlah dan selisih suara yang disengketakan.
Jika yang dipersengketakan hasil pemilihan presiden dan wakil presiden, sepanjang selisih suara yang dijadikan objek tidak memengaruhi terpilihnya pasangan calon presiden dan wakil presiden tersebut, pasangan yang bersangkutan tidak akan diterima kedudukan hukumnya sebagai pemohon.
Jika yang dipersengketakan ialah calon anggota DPD, DPR, dan DPRD, sepanjang selisih suara yang dijadikan objek tidak akan menyebabkan yang bersangkutan terpilih sebagai anggota legislatif, permohonan tidak akan diterima. Ketentuan yang sama juga berlaku pada sengketa hasil terhadap parpol. Jika jumlah suara yang disengketakan tidak akan memengaruhi perolehan kursi parpol yang bersangkutan, maka permohonan juga tidak akan diterima. Pola ini akan menjadikan MK begitu kaku dan bahkan cenderung bekerja bak robot.
Pada titik inilah penulis berpandangan bahwa, sengketa proses tidak dapat dimaknai sebagai sesuatu yang “given “ dan haram hukumnya untuk kembali diperdebatkan di depan majelis hakim konstitusi.
Bagaimana jika pelanggaran terhadap proses itu justru akan memengaruhi hasil pemilu? Pada kondisi inilah MK dimungkinkan untuk kembali menilai proses penyelenggaraan pemilu. Apalagi kita semua tahu, KPU-Bawaslu-dan DKPP sangat dimungkinkan menjadi pihak yang dimintai keterangannya dalam proses ataupun penggalian fakta persidangan.
Sistematis-Terstruktur-Masif
Sebagai contoh apabila kecurangan itu berkaitan dengan jual beli suara (money politic), mau tidak mau MK akan menggali fakta persidangan dengan menilai proses penyelenggaraan pemilu pada daerah tertentu. Apabila kecurangan itu berkaitan dengan netralitas aparat TNI, MK akan menilai dan menguji fakta-fakta tersebut.
Begitu pun apabila hal itu berkaitan dengan netralitas penyelenggara pemilu, MK akan kembali melihat proses serta menilai fakta persidangan yang ada. Beberapa contoh di atas merupakan jenis pelanggaran terhadap proses, namun bisa saja memengaruhi atau bahkan mengubah hasil suara secara signifikan. Potensi konflik demikian sangat dimungkinkan menjadi alasan para pemohon dalam mengajukan sengketa hasil di MK.
Melihat bentangan empirik di atas, itulah sebabnya mengapa MK menggunakan kriteria konseptual dengan istilah "sepanjang pelanggaran dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan masif (STM)". Kriteria inilah yang kemudian menjadi pendekatan kualitatif sembilan hakim guna mendorong Mahkamah agar tidak terjebak pada pendekatan interpretasi yang kaku.
Pada akhirnya Mahkamah akan menilai bahwa, penyelesaian sengketa hasil pemilu itu bukan hanya kuantitas selisih suara, tetapi juga mampu menjaga kualitas pemilu yang jujur, adil, dan demokratis.
(maf)