Narasi Kecurangan Pemilu dan Desain Kegaduhan
A
A
A
Bambang SoesatyoKetua DPR RI, Kepala Badan Bela Negara FKPPI, Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
UPAYA delegitimasi Pemilu 2019 dengan membangun narasi dan persepsi kecurangan adalah modus dari rencana atau desain untuk menciptakan kegaduhan pascaperhitungan suara serta penetapan pemenang pemilu.Perilaku seperti itu mencederai demokrasi dan karenanya tak patut diapresiasi.
Di tengah keceriaan berbagai komponen masyarakat mempersiapkan penyelenggaraan pemungutan suara pemilu serentak pada 17 April 2019, sekelompok orang sedang membuat narasi dan membangun persepsi tentang kecurangan pemilu. Upaya itu cukup intens dan terkesan sistematis. Barang kali narasi seperti itu memuncak ketika salah satu tim kubu pemenangan mengklaim bahwa calon yang diusungnya hanya bisa dikalahkan oleh kecurangan. Klaim ini berlebihan dan tidak masuk akal karena pemungutan serta perhitungan suara hasil pemilu saja belum dilaksanakan.
Klaim ini tampak tak bisa dipisahkan dari rangkaian aksi dan pernyataan terbuka yang bertujuan merusak atau mencoreng kredibilitas sejumlah institusi negara, khususnya institusi yang bertanggung jawab melakukan persiapan pemilu serentak 2019 sesuai tugasnya masing-masing. Sebagaimana bisa disimak sebelumnya, sejumlah institusi negara, seperti Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Polri telah menjadi sasaran propaganda delegitimasi menjelang pelaksanaan Pemilu 2019 yang dilakukan sejumlah pihak lewat media sosial.
Dari pendeteksian oleh pihak berwenang, diketahui upaya delegitimasi sejumlah lembaga negara itu setidaknya dimulai pada November 2018. Pada bulan itu, Kemendagri dipaksa merespons temuan ribuan dokumen e-KTP yang tercecer di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur. Belakangan diketahui ada kesalahan prosedur sehingga ribuan e-KTP itu tak sempat didistribusikan kepada warga yang melakukan perekaman.
Propaganda itu terus berlangsung sejak Januari hingga Maret 2019 ini. Targetnya menyasar KPU, Polri, dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Propaganda itu secara tidak langsung ingin mengatakan kepada publik bahwa institusi-institusi itu ikut terlibat dalam kecurangan. Sebelum kasus tercecernya ribuan e-KTP misalnya, telah dikembangkan isu tentang DPT (daftar pemilih tetap) ganda, meragukan kotak suara karena terbuat karton kedap air, dan terus berlanjut hingga isu tujuh kontainer surat suara tercoblos serta isu tentang mobilisasi warga negara asing untuk memilih.
Terkesan intens dan sistematis karena isu-isu ini masih dibumbui lagi dengan pengerahan massa melakukan unjuk rasa ke KPU. Para pengunjuk rasa mendesak KPU tidak melakukan kecurangan. Pada kesempatan lainnya, muncul ancaman bahwa KPU akan digeruduk massa jika pemenang pemilu dicurigai berbuat curang. Selain itu, juga disemburkan isu tentang ketidaknetralan aparatur sipil negara, Polri, dan TNI hingga ketidaknetralan sejumlah kepala daerah. Bahkan, sistem informasi penghitungan suara (situng) pun ikut “digoreng” sebagai faktor sangat mungkin dijadikan instrumen kecurangan.
Seperti itulah kurang lebih rangkaian isu yang disemburkan sebagai narasi tentang kecurangan maupun sebagai upaya membentuk persepsi publik sejak dini ketika pelaksanaan pemilu serentak itu sendiri masih tahap persiapan dan juga ketika surat suara belum dicetak. Kesannya menjadi sangat bertolak belakang. Sebab ketika hal itu dilakukan, berbagai komponen masyarakat di semua daerah sedang ceria mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk pemilu. Tak banyak yang peduli dengan kecurigaan atau narasi kecurangan itu.Memang ada yang percaya dengan rangkaian hoaks tentang kecurangan pemilu, tetapi persentasenya sangat kecil.
Pertanyaannya kemudian adalah apa motif dari upaya membangun narasi kecurangan itu? Mudah ditebak. Narasi dan persepsi kecurangan itu akan dijadikan alasan untuk melakukan protes. Bukankah sudah ada ancaman untuk menggeruduk KPU dan pemenang pemilu jika pihak kalah, yakin telah dicurangi? Seperti lima tahun lalu, protes atas hasil pemilu berujung gaduh. Bisa dipastikan bahwa akibat dari protes itu hanya gaduh di Jakarta. Bukan “perang” ini-itu. Kegaduhan itu pun tak akan mereduksi kondusivitas negara, karena segala sesuatunya sudah diprediksi dan dikalkulasi TNI-Polri.
Lima Agenda
Semua instrumen penyelenggara pemilu bersama pemerintah dan DPR serta TNI-Polri tidak akan mengambil risiko sekecil apa pun untuk Pemilu Serentak 2019. Pemilu tahun ini akan memberi gambaran tentang progres atau tumbuh kembang demokrasi Indonesia. Komunitas internasional akan menyorot pelaksanaannya dan mengamati proses konsolidasi politik demokratis dan berintegritas.Bayangkan, lima agenda pemilihan dilaksanakan bersamaan dan langsung. Pada Pemilu Serentak 2019, disediakan lima kotak suara karena memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Jelas bahwa ini adalah pekerjaan besar dan rumit. Menurut KPU, total pemilih sejumlah 192.828.520 orang terdiri atas pemilih laki-laki 96.271.476 orang dan pemilih perempuan 96.557.044 orang tersebar di 514 kabupaten/kota, 7.201 kecamatan, dan 83.405 kelurahan/desa. Jumlah TPS yang disediakan 809.500. Sedangkan total pemilih WNI di luar negeri tercatat 2.058.191 orang terdiri atas pemilih laki-laki 902.727 orang dan pemilih perempuan 1.155.464 orang. Data-data ini sudah menggambarkan volume serta rumitnya pekerjaan mempersiapkan pemilu serentak nanti.
Semua pihak yang berkait langsung dengan kontestasi ini mendapatkan akses sama dalam hal pengawasan. Dengan begitu, potensi untuk berbuat curang telah diminimalkan sedemikian rupa. Kalaupun terjadi kecurangan, ada mekanisme untuk mengatasi persoalan itu. Tentu saja bukan dengan berbuat gaduh atau menggeruduk KPU serta pemenang pemilu.
DPR bersama pemerintah telah berulang kali berupaya membangun keyakinan masyarakat bahwa sebelum maupun pasca-Pemilu 2019, Indonesia akan baik-baik saja. Tidak ada chaos atau bentrok antarkelompok masyarakat. Jangan lupa bahwa Indonesia sudah sangat berpengalaman menyelenggarakan pemilu presiden maupun pemilihan anggota legislatif.
Pemilu 2019 sama dengan pemilu sebelumnya. Bedanya, kali ini ada lima agenda pemilihan. Ketika rakyat telah memberikan suara dan menentukan pilihannya, negara wajib mengawal dan mengamankan suara rakyat.Artinya, penghormatan terhadap hasil pemilu merupakan bagian tidak terpisahkan dari penghormatan terhadap suara rakyat.Maka itu, dalam konteks itu upaya mendelegitimasi hasil Pemilu 2019 harus dilihat sebagai upaya mengingkari kedaulatan rakyat. Sudah barang tentu negara tidak boleh tinggal diam terhadap upaya ini. Bahkan kegaduhan yang melampaui batas toleransi harus direspons sebagaimana seharusnya.
Masyarakat di berbagai daerah telah mengawali persiapan Pemilu 2019 dengan tertib dan ceria bahkan penuh canda. Banyak komunitas berkreasi untuk menyemarakkan pesta demokrasi. Maka itu, hasil Pemilu 2019 pun harus bisa menyenangkan semua orang. Apa hasilnya, menjadi kewajiban bagi setiap warga negara untuk mengakui dan menghormatinya.
UPAYA delegitimasi Pemilu 2019 dengan membangun narasi dan persepsi kecurangan adalah modus dari rencana atau desain untuk menciptakan kegaduhan pascaperhitungan suara serta penetapan pemenang pemilu.Perilaku seperti itu mencederai demokrasi dan karenanya tak patut diapresiasi.
Di tengah keceriaan berbagai komponen masyarakat mempersiapkan penyelenggaraan pemungutan suara pemilu serentak pada 17 April 2019, sekelompok orang sedang membuat narasi dan membangun persepsi tentang kecurangan pemilu. Upaya itu cukup intens dan terkesan sistematis. Barang kali narasi seperti itu memuncak ketika salah satu tim kubu pemenangan mengklaim bahwa calon yang diusungnya hanya bisa dikalahkan oleh kecurangan. Klaim ini berlebihan dan tidak masuk akal karena pemungutan serta perhitungan suara hasil pemilu saja belum dilaksanakan.
Klaim ini tampak tak bisa dipisahkan dari rangkaian aksi dan pernyataan terbuka yang bertujuan merusak atau mencoreng kredibilitas sejumlah institusi negara, khususnya institusi yang bertanggung jawab melakukan persiapan pemilu serentak 2019 sesuai tugasnya masing-masing. Sebagaimana bisa disimak sebelumnya, sejumlah institusi negara, seperti Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Polri telah menjadi sasaran propaganda delegitimasi menjelang pelaksanaan Pemilu 2019 yang dilakukan sejumlah pihak lewat media sosial.
Dari pendeteksian oleh pihak berwenang, diketahui upaya delegitimasi sejumlah lembaga negara itu setidaknya dimulai pada November 2018. Pada bulan itu, Kemendagri dipaksa merespons temuan ribuan dokumen e-KTP yang tercecer di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur. Belakangan diketahui ada kesalahan prosedur sehingga ribuan e-KTP itu tak sempat didistribusikan kepada warga yang melakukan perekaman.
Propaganda itu terus berlangsung sejak Januari hingga Maret 2019 ini. Targetnya menyasar KPU, Polri, dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Propaganda itu secara tidak langsung ingin mengatakan kepada publik bahwa institusi-institusi itu ikut terlibat dalam kecurangan. Sebelum kasus tercecernya ribuan e-KTP misalnya, telah dikembangkan isu tentang DPT (daftar pemilih tetap) ganda, meragukan kotak suara karena terbuat karton kedap air, dan terus berlanjut hingga isu tujuh kontainer surat suara tercoblos serta isu tentang mobilisasi warga negara asing untuk memilih.
Terkesan intens dan sistematis karena isu-isu ini masih dibumbui lagi dengan pengerahan massa melakukan unjuk rasa ke KPU. Para pengunjuk rasa mendesak KPU tidak melakukan kecurangan. Pada kesempatan lainnya, muncul ancaman bahwa KPU akan digeruduk massa jika pemenang pemilu dicurigai berbuat curang. Selain itu, juga disemburkan isu tentang ketidaknetralan aparatur sipil negara, Polri, dan TNI hingga ketidaknetralan sejumlah kepala daerah. Bahkan, sistem informasi penghitungan suara (situng) pun ikut “digoreng” sebagai faktor sangat mungkin dijadikan instrumen kecurangan.
Seperti itulah kurang lebih rangkaian isu yang disemburkan sebagai narasi tentang kecurangan maupun sebagai upaya membentuk persepsi publik sejak dini ketika pelaksanaan pemilu serentak itu sendiri masih tahap persiapan dan juga ketika surat suara belum dicetak. Kesannya menjadi sangat bertolak belakang. Sebab ketika hal itu dilakukan, berbagai komponen masyarakat di semua daerah sedang ceria mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk pemilu. Tak banyak yang peduli dengan kecurigaan atau narasi kecurangan itu.Memang ada yang percaya dengan rangkaian hoaks tentang kecurangan pemilu, tetapi persentasenya sangat kecil.
Pertanyaannya kemudian adalah apa motif dari upaya membangun narasi kecurangan itu? Mudah ditebak. Narasi dan persepsi kecurangan itu akan dijadikan alasan untuk melakukan protes. Bukankah sudah ada ancaman untuk menggeruduk KPU dan pemenang pemilu jika pihak kalah, yakin telah dicurangi? Seperti lima tahun lalu, protes atas hasil pemilu berujung gaduh. Bisa dipastikan bahwa akibat dari protes itu hanya gaduh di Jakarta. Bukan “perang” ini-itu. Kegaduhan itu pun tak akan mereduksi kondusivitas negara, karena segala sesuatunya sudah diprediksi dan dikalkulasi TNI-Polri.
Lima Agenda
Semua instrumen penyelenggara pemilu bersama pemerintah dan DPR serta TNI-Polri tidak akan mengambil risiko sekecil apa pun untuk Pemilu Serentak 2019. Pemilu tahun ini akan memberi gambaran tentang progres atau tumbuh kembang demokrasi Indonesia. Komunitas internasional akan menyorot pelaksanaannya dan mengamati proses konsolidasi politik demokratis dan berintegritas.Bayangkan, lima agenda pemilihan dilaksanakan bersamaan dan langsung. Pada Pemilu Serentak 2019, disediakan lima kotak suara karena memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Jelas bahwa ini adalah pekerjaan besar dan rumit. Menurut KPU, total pemilih sejumlah 192.828.520 orang terdiri atas pemilih laki-laki 96.271.476 orang dan pemilih perempuan 96.557.044 orang tersebar di 514 kabupaten/kota, 7.201 kecamatan, dan 83.405 kelurahan/desa. Jumlah TPS yang disediakan 809.500. Sedangkan total pemilih WNI di luar negeri tercatat 2.058.191 orang terdiri atas pemilih laki-laki 902.727 orang dan pemilih perempuan 1.155.464 orang. Data-data ini sudah menggambarkan volume serta rumitnya pekerjaan mempersiapkan pemilu serentak nanti.
Semua pihak yang berkait langsung dengan kontestasi ini mendapatkan akses sama dalam hal pengawasan. Dengan begitu, potensi untuk berbuat curang telah diminimalkan sedemikian rupa. Kalaupun terjadi kecurangan, ada mekanisme untuk mengatasi persoalan itu. Tentu saja bukan dengan berbuat gaduh atau menggeruduk KPU serta pemenang pemilu.
DPR bersama pemerintah telah berulang kali berupaya membangun keyakinan masyarakat bahwa sebelum maupun pasca-Pemilu 2019, Indonesia akan baik-baik saja. Tidak ada chaos atau bentrok antarkelompok masyarakat. Jangan lupa bahwa Indonesia sudah sangat berpengalaman menyelenggarakan pemilu presiden maupun pemilihan anggota legislatif.
Pemilu 2019 sama dengan pemilu sebelumnya. Bedanya, kali ini ada lima agenda pemilihan. Ketika rakyat telah memberikan suara dan menentukan pilihannya, negara wajib mengawal dan mengamankan suara rakyat.Artinya, penghormatan terhadap hasil pemilu merupakan bagian tidak terpisahkan dari penghormatan terhadap suara rakyat.Maka itu, dalam konteks itu upaya mendelegitimasi hasil Pemilu 2019 harus dilihat sebagai upaya mengingkari kedaulatan rakyat. Sudah barang tentu negara tidak boleh tinggal diam terhadap upaya ini. Bahkan kegaduhan yang melampaui batas toleransi harus direspons sebagaimana seharusnya.
Masyarakat di berbagai daerah telah mengawali persiapan Pemilu 2019 dengan tertib dan ceria bahkan penuh canda. Banyak komunitas berkreasi untuk menyemarakkan pesta demokrasi. Maka itu, hasil Pemilu 2019 pun harus bisa menyenangkan semua orang. Apa hasilnya, menjadi kewajiban bagi setiap warga negara untuk mengakui dan menghormatinya.
(mhd)