Limitasi Berlapis Hak Orang Asing
A
A
A
Zudan Arif Fakrulloh
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri
TEMUAN kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) atas nama Guohui Chen, warga negara China yang tinggal di Jalan Selamet Perumahan Rancabali, Desa Muka, Cianjur, Jawa Barat, seolah baru menyadarkan masyarakat bahwa warga asing boleh punya KTP-el Indonesia. KTP-el Guohui Chen diketahui setelah Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Cianjur menggelar sidak kepada tenaga kerja asing (TKA).
Setelah dicek, Disdukcapil Cianjur memang mengeluarkan KTP-el bagi WNA yang sudah memenuhi syarat mengantongi izin tinggal tetap. Keberadaan orang asing tentu saja memerlukan pengawasan terkait legalitas serta gerak-geriknya demi menjaga ketertiban umum. Begitu juga orang asing di Indonesia harus menaati dan menghargai berbagai peraturan yang diadakan untuk mereka.
Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) menyebutkan bahwa penduduk adalah WNI dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Sementara UU Keimigrasian Nomor 6 Tahun 2011 mengartikan "orang asing" sebagai WNA yang bertempat tinggal dan hanya memiliki izin tinggal di wilayah Indonesia.
Sesuai standar hukum internasional, maka pemerintah berkewajiban melindungi kepentingan orang asing selama menjadi penduduk untuk keperluan administrasi kependudukan. Seperti ihwal WNI, para WNA yang berdomisili di Indonesia berhak atas pelayanan yang sama dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil, perlindungan atas data pribadi, dan kepastian hukum atas kepemilikan dokumen kependudukan.
Namun, sebagai WNA, penduduk asing tersebut tetap dibatasi ruang geraknya. Hal ini dapat dimengerti karena orang asing juga tunduk pada hukum negara asalnya. Limitasi tersebut misalnya tidak setiap WNA bisa punya KTP elektronik (KTP-el). Ketentuan itu diatur dalam Pasal 63 ayat (1) UU Adminduk Nomor 23 Tahun 2006, yang meskipun direvisi menjadi UU Nomor 24 Tahun 2013, namun klausulnya tidak berubah.
Nah , dalam ketentuan itu, ada satu syarat penting yang harus dipenuhi untuk mendapatkan KTP-el, yakni izin tinggal tetap. "Penduduk warga negara Indonesia dan orang asing yang memiliki izin tinggal tetap yang telah berumur 17 tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP-el."
Adapun prosedur untuk mendapatkan KTP-el sama dengan WNI. Mereka cukup datang ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) setempat untuk merekam data kependudukannya dan mendapatkan KTP-el. Ketentuan warga asing bisa punya identitas kependudukan itu diterapkan tidak hanya di Indonesia, tapi juga berlaku di belahan dunia mana pun. Di luar negeri ada namanya permanent resident , green card , dan lainnya.
Di Indonesia, pemberian KTP untuk WNA sudah berlangsung lama, sudah ada sejak tahun 70-an. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 88 Tahun 1977 yang mengatur tentang Pendaftaran Penduduk diamanatkan dalam Pasal 5 dan 6 bahwa orang asing diberikan KTP. Ini menunjukkan bahwa Indonesia sudah sejak dulu mengikuti tata pergaulan dunia, bahwa orang asing yang memenuhi syarat diberikan kartu identitas sesuai dengan domisili. Dengan demikian, pemberian KTP untuk WNA sudah berlangsung lama dan tidak terkait dengan pemilihan presiden.
Tak berhenti sampai di situ, ketentuan KTP-el bagi WNA kemudian diperkuat lagi dengan pembatasan masa berlaku. Pada Pasal 63 ayat (4) disebutkan bahwa, "Orang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan perpanjangan masa berlaku atau mengganti KTP-el kepada instansi pelaksana paling lambat 30 hari sebelum tanggal masa berlaku izin tinggal tetap berakhir." Inilah yang membedakan kedua KTP-el untuk WNI dan WNA.
Simak baik-baik paling tidak ada tiga bedanya. Pertama , semua KTP-el untuk WNA ada masa berlakunya sesuai dengan izin tinggal tetap yang diterbitkan Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM. Sedangkan KTP-el WNI ditulis berlaku seumur hidup. Perbedaan kedua , dalam KTP-el WNA keterangan jenis kelamin, agama, status perkawinan, pekerjaan, ditulis dalam bahasa Inggris.
Jadi, kalau ada warga asing nekat mau mencoblos, petugas PPS nanti bisa tahu hanya dengan membaca sepintas bahwa ini KTP-el buat WNA. Perbedaan ketiga adalah kolom kewarganegaraan. KTP-el untuk WNI semua kolom kewarganegaraan diisi Indonesia, namun untuk WNA disesuaikan kewarganegaraan masing-masing. Misalnya, ditulis Italia, Inggris, Belanda, dan lain-lain.
Meski memiliki KTP-el, para WNA tidak boleh memilih apalagi dipilih dalam pemilihan umum. Pasal 198 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sudah menegaskan bahwa hak memilih hanya dimiliki oleh WNI. Inilah bentuk lain dari limitasi hak bagi orang asing. Hal ini perlu ditegaskan mengingat isu KTP-el asing muncul di masa kampanye Pemilu 2019. Soal fungsi KTP-el semuanya sama, yakni untuk mengakses berbagai layanan publik sebab WNA yang punya izin tinggal tetap pasti membutuhkan layanan seperti rumah sakit, SIM, hingga perbankan.Direktorat Jenderal Dukcapil Kemendagri tengah membangun big data kependudukan berbasis SIN. Saat ini Dukcapil sudah mencatat lebih 265 juta penduduk dengan masing-masing 31 elemen data. Data kependudukan ini terus dirapikan dan disempurnakan agar bisa dimanfaatkan untuk berbagai hajat hidup masyarakat. Elemen data pada KTP-el menunjukkan banyak hal, mulai dari nomor induk kependudukan (NIK), nama, alamat, tempat dan tanggal lahir, golongan darah, hingga data biometrik, yaitu sidik jari dan retina. Inilah paradigma integrasi pada UU Adminduk, yaitu mengatur secara menyeluruh penduduk WNI dan WNA.Seperti banyak berlaku di negara lain, korps Dukcapil menganut one data policy dengan membangun sistem SIN berbasis NIK sehingga setiap penduduk hanya memiliki satu alamat, satu identitas saja. NIK bisa digunakan untuk berbagai keperluan pelayanan publik, salah satunya untuk suksesnya Pemilu 2019. Hingga saat ini Dinas Dukcapil di seluruh Indonesia sudah mengeluarkan 1.680 KTP-el untuk warga negara asing di Indonesia. Jadi, adalah hoaks yang menyatakan ada jutaan TKA yang mendapatkan KTP-el.Dinas Dukcapil memang tetap membuka layanan perekaman KTP-el bagi WNA yang memenuhi syarat. Namun, demi menciptakan suasana kondusif menjelang Pemilu 2019, KTP-el WNA yang sudah siap cetak (print ready record ) akan dicetak seusai pelaksanaan Pemilu 17 April 2019. Untuk mencegah kecurigaan terhadap WNA pemegang KTP-el terkait Pilpres 2019, Ditjen Dukcapil telah membuka akses database kependudukan kepada KPU, dan tetap akan membuka kantor pada Hari-H Pemilu 17 April mendatang. Hal itu untuk mengantisipasi isu atau kecurigaan kalau ada pemilih asing yang datang ke TPS pada hari pemungutan suara.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri
TEMUAN kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) atas nama Guohui Chen, warga negara China yang tinggal di Jalan Selamet Perumahan Rancabali, Desa Muka, Cianjur, Jawa Barat, seolah baru menyadarkan masyarakat bahwa warga asing boleh punya KTP-el Indonesia. KTP-el Guohui Chen diketahui setelah Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Cianjur menggelar sidak kepada tenaga kerja asing (TKA).
Setelah dicek, Disdukcapil Cianjur memang mengeluarkan KTP-el bagi WNA yang sudah memenuhi syarat mengantongi izin tinggal tetap. Keberadaan orang asing tentu saja memerlukan pengawasan terkait legalitas serta gerak-geriknya demi menjaga ketertiban umum. Begitu juga orang asing di Indonesia harus menaati dan menghargai berbagai peraturan yang diadakan untuk mereka.
Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) menyebutkan bahwa penduduk adalah WNI dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Sementara UU Keimigrasian Nomor 6 Tahun 2011 mengartikan "orang asing" sebagai WNA yang bertempat tinggal dan hanya memiliki izin tinggal di wilayah Indonesia.
Sesuai standar hukum internasional, maka pemerintah berkewajiban melindungi kepentingan orang asing selama menjadi penduduk untuk keperluan administrasi kependudukan. Seperti ihwal WNI, para WNA yang berdomisili di Indonesia berhak atas pelayanan yang sama dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil, perlindungan atas data pribadi, dan kepastian hukum atas kepemilikan dokumen kependudukan.
Namun, sebagai WNA, penduduk asing tersebut tetap dibatasi ruang geraknya. Hal ini dapat dimengerti karena orang asing juga tunduk pada hukum negara asalnya. Limitasi tersebut misalnya tidak setiap WNA bisa punya KTP elektronik (KTP-el). Ketentuan itu diatur dalam Pasal 63 ayat (1) UU Adminduk Nomor 23 Tahun 2006, yang meskipun direvisi menjadi UU Nomor 24 Tahun 2013, namun klausulnya tidak berubah.
Nah , dalam ketentuan itu, ada satu syarat penting yang harus dipenuhi untuk mendapatkan KTP-el, yakni izin tinggal tetap. "Penduduk warga negara Indonesia dan orang asing yang memiliki izin tinggal tetap yang telah berumur 17 tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP-el."
Adapun prosedur untuk mendapatkan KTP-el sama dengan WNI. Mereka cukup datang ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) setempat untuk merekam data kependudukannya dan mendapatkan KTP-el. Ketentuan warga asing bisa punya identitas kependudukan itu diterapkan tidak hanya di Indonesia, tapi juga berlaku di belahan dunia mana pun. Di luar negeri ada namanya permanent resident , green card , dan lainnya.
Di Indonesia, pemberian KTP untuk WNA sudah berlangsung lama, sudah ada sejak tahun 70-an. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 88 Tahun 1977 yang mengatur tentang Pendaftaran Penduduk diamanatkan dalam Pasal 5 dan 6 bahwa orang asing diberikan KTP. Ini menunjukkan bahwa Indonesia sudah sejak dulu mengikuti tata pergaulan dunia, bahwa orang asing yang memenuhi syarat diberikan kartu identitas sesuai dengan domisili. Dengan demikian, pemberian KTP untuk WNA sudah berlangsung lama dan tidak terkait dengan pemilihan presiden.
Tak berhenti sampai di situ, ketentuan KTP-el bagi WNA kemudian diperkuat lagi dengan pembatasan masa berlaku. Pada Pasal 63 ayat (4) disebutkan bahwa, "Orang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan perpanjangan masa berlaku atau mengganti KTP-el kepada instansi pelaksana paling lambat 30 hari sebelum tanggal masa berlaku izin tinggal tetap berakhir." Inilah yang membedakan kedua KTP-el untuk WNI dan WNA.
Simak baik-baik paling tidak ada tiga bedanya. Pertama , semua KTP-el untuk WNA ada masa berlakunya sesuai dengan izin tinggal tetap yang diterbitkan Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM. Sedangkan KTP-el WNI ditulis berlaku seumur hidup. Perbedaan kedua , dalam KTP-el WNA keterangan jenis kelamin, agama, status perkawinan, pekerjaan, ditulis dalam bahasa Inggris.
Jadi, kalau ada warga asing nekat mau mencoblos, petugas PPS nanti bisa tahu hanya dengan membaca sepintas bahwa ini KTP-el buat WNA. Perbedaan ketiga adalah kolom kewarganegaraan. KTP-el untuk WNI semua kolom kewarganegaraan diisi Indonesia, namun untuk WNA disesuaikan kewarganegaraan masing-masing. Misalnya, ditulis Italia, Inggris, Belanda, dan lain-lain.
Meski memiliki KTP-el, para WNA tidak boleh memilih apalagi dipilih dalam pemilihan umum. Pasal 198 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sudah menegaskan bahwa hak memilih hanya dimiliki oleh WNI. Inilah bentuk lain dari limitasi hak bagi orang asing. Hal ini perlu ditegaskan mengingat isu KTP-el asing muncul di masa kampanye Pemilu 2019. Soal fungsi KTP-el semuanya sama, yakni untuk mengakses berbagai layanan publik sebab WNA yang punya izin tinggal tetap pasti membutuhkan layanan seperti rumah sakit, SIM, hingga perbankan.Direktorat Jenderal Dukcapil Kemendagri tengah membangun big data kependudukan berbasis SIN. Saat ini Dukcapil sudah mencatat lebih 265 juta penduduk dengan masing-masing 31 elemen data. Data kependudukan ini terus dirapikan dan disempurnakan agar bisa dimanfaatkan untuk berbagai hajat hidup masyarakat. Elemen data pada KTP-el menunjukkan banyak hal, mulai dari nomor induk kependudukan (NIK), nama, alamat, tempat dan tanggal lahir, golongan darah, hingga data biometrik, yaitu sidik jari dan retina. Inilah paradigma integrasi pada UU Adminduk, yaitu mengatur secara menyeluruh penduduk WNI dan WNA.Seperti banyak berlaku di negara lain, korps Dukcapil menganut one data policy dengan membangun sistem SIN berbasis NIK sehingga setiap penduduk hanya memiliki satu alamat, satu identitas saja. NIK bisa digunakan untuk berbagai keperluan pelayanan publik, salah satunya untuk suksesnya Pemilu 2019. Hingga saat ini Dinas Dukcapil di seluruh Indonesia sudah mengeluarkan 1.680 KTP-el untuk warga negara asing di Indonesia. Jadi, adalah hoaks yang menyatakan ada jutaan TKA yang mendapatkan KTP-el.Dinas Dukcapil memang tetap membuka layanan perekaman KTP-el bagi WNA yang memenuhi syarat. Namun, demi menciptakan suasana kondusif menjelang Pemilu 2019, KTP-el WNA yang sudah siap cetak (print ready record ) akan dicetak seusai pelaksanaan Pemilu 17 April 2019. Untuk mencegah kecurigaan terhadap WNA pemegang KTP-el terkait Pilpres 2019, Ditjen Dukcapil telah membuka akses database kependudukan kepada KPU, dan tetap akan membuka kantor pada Hari-H Pemilu 17 April mendatang. Hal itu untuk mengantisipasi isu atau kecurigaan kalau ada pemilih asing yang datang ke TPS pada hari pemungutan suara.
(pur)