Teror di Selandia Baru: Persoalan Islamo f obia atau Imigran?

Jum'at, 22 Maret 2019 - 06:36 WIB
Teror di Selandia Baru:...
Teror di Selandia Baru: Persoalan Islamo f obia atau Imigran?
A A A
Kompol Malvino Edward Yusticia

Kanit Resmob Polda Metro Jaya,

Alumni Master of Strategic Studies, Victoria University of Wellington, Selandia Baru

HARI Jumat (15/3) pekan lalu bisa dikatakan sebagai hari terkelam dalam sejarah negeri damai Selandia Baru. Sebagai orang yang pernah belajar dan tinggal di Selandia Baru, tragedi yang menyelimuti negara itu berupa aksi penembakan terhadap komunitas muslim di Masjid Al-Noor dan Masjid Linwood di Kota Christchurch membawa duka tersendiri pada batin saya. Selama studi di Selandia Baru, saya pun pernah mengunjungi Kota Christchurch, sebuah kota yang membuat saya terkesan akan kedamaian dan kenyamanannya serta keramahan warganya yang seolah berpadu dengan udara dingin kota tersebut.

Selandia Baru saya kenal sebagai negara sangat aman dan nyaman untuk ditinggali. Untuk menggambarkan betapa amannya hidup di sana, mobil yang terparkir di pinggir jalan tanpa dikunci pun tidak akan hilang atau dicuri orang. Angka kriminalitas nyaris tidak ada karena sangat sedikitnya kasus. Jika ada satu kasus kriminalitas, stasiun televisi di sana akan menyiarkan satu kasus tersebut selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Data Global Peace Index 2018 menempatkan Selandia Baru sebagai negara terdamai setelah Islandia. Selandia Baru pun merupakan negara dalam daftar lima teratas dengan tingkat keamanan tertinggi di dunia.

Aksi penembakan brutal pada Jumat lalu di dua masjid di Selandia Baru sontak membuat saya terkejut dan bertanya-tanya: bagaimana aksi teror yang memakan begitu banyak korban jiwa tiba-tiba terjadi di negeri damai itu? Sepengetahuan saya, kehidupan antarwarga di sana pun cukup harmonis dan masyarakat bisa dikatakan menjunjung asas multikulturalisme. Negara itu pun hampir tidak pernah menjadi sasaran serangan terorisme. Lalu apa yang terjadi pada negeri damai tersebut? Ada apa dengan aksi teror yang menyerang Selandia Baru?

Dalam aksi penembakan di Christchurch diketahui pelakunya merupakan pria 28 tahun berwarga negara Australia bernama Brendon Tarrant. Aksi biadab tak berperikemanusiaan dengan membantai orang yang sedang beribadah salat Jumat itu menjadikannya sebagai pembantaian terkeji yang pernah terjadi di Selandia Baru. Kejadian ini menewaskan korban 49 nyawa dan sedikitnya melukai 20 orang.

Bangkitnya Ideologi Ekst re mis Sayap Kanan?

Insiden penembakan di Christchurch menyiratkan sebuah pertanyaan, apakah ekstremisme kanan tengah bangkit? Atas pertanyaan tersebut, Paul Spoonley, seorang profesor dari Massey University yang juga anggota dari The Royal Society Selandia Baru menganalisis bahwa kelompok sayap kanan hanyalah bagian kecil dari spektrum kehidupan sosial-politik di Selandia Baru. Dalam kasus penembakan terhadap jamaah di dua masjid dan isi manifesto dari pelaku, tampak betul bahwa kaum ultranasionalis penganut supremasi kulit putih meramu ideologi kekerasannya dari berbagai isu di belahan dunia lain. Spoinley menandaskan bahwa alih-alih melihat dalam persoalan domestik Selandia Baru atau Australia, kelompok sayap kanan mengambil berbagai peristiwa terorisme di seluruh dunia untuk dikaitkan dengan kelompok mereka (supremasi kulit putih) sebagai sebuah stimulus untuk perjuangan mereka.

Di Australia, seorang senator dari Queensland Fraser Anning secara kontroversial justru ikut menyalahkan para imigran atas kasus penembakan yang terjadi di Selandia Baru. Dalam pernyataan resminya sebagai senator, Fraser Anning mengatakan bahwa insiden tersebut diakibatkan oleh kebijakan negara soal imigran muslim. "Penyebab kejadian berdarah hari ini di Selandia Baru karena program pemerintah yang mengizinkan muslim fanatik pindah ke Selandia Baru."

Sang senator menandaskan pernyataannya bahwa dalam kasus insiden penembakan di Christchurch, muslim seyogianya tidak hanya diposisikan sebagai korban, tetapi juga sebagai pelaku. Dia menyalahkan pembunuhan massal di dua masjid di Selandia Baru kepada seluruh umat Islam. Fraser Anning menulis dalam akun media sosialnya, "Apakah ada yang masih membantah hubungan antara imigran muslim dan kekerasan?"

Pernyataan senator Fraser Anning yang menyalahkan muslim atas tragedi penembakan massal seketika menuai kecaman, tidak terkecuali dari Perdana Menteri Australia Scott Morrison. Senator Fraser Anning, menurut dia, tidak mewakili Australia, bahkan di Twitter, Morrison menyebut pernyataan Senator Fraser Anning yang menyalahkan serangan mematikan oleh teroris ekstremis sayap kanan di Selandia Baru kepada "imigran" sebagai tindakan menjijikkan. Pandangan itu menurut Morrison tidak punya tempat di Australia, apalagi di Parlemen Australia. Perdana Menteri Australia menegaskan tidak ada ruang sama sekali di Australia untuk kebencian dan intoleransi yang telah menyebabkan kekerasan ekstremis. Menurutnya, Australia dan Selandia Baru adalah rumah bagi semua agama, budaya, dan latar belakang.

Persoalan Imigrasi Global

Kekacauan yang terjadi di berbagai belahan dunia, utamanya Timur Tengah, membuat banyak penduduknya mencari suaka untuk mendapatkan perlindungan dan kehidupan. Negara-negara aman dan sejahtera pun menjadi tujuan mereka dalam beberapa tahun belakangan. Australia, Kanada, dan bukan tidak mungkin Selandia Baru menjadi tempat tujuan favorit dari para imigran dari Timur Tengah dan Asia Tengah. Arus imigran tidak bisa dilepaskan dari konteks global.

Di Australia sendiri, persoalan imigran setiap tahunnya menjadi perdebatan politik dan hampir selalu dibahas dalam APBN negara tersebut, termasuk adanya pandangan politik untuk membatasi jumlah imigran yang diterima Australia. Program imigrasi di Australia digodok setiap tahunnya melalui proses penganggaran Pemerintah Australia. Berdasarkan keterangan dari pejabat Departemen Dalam Negeri Australia kepada kantor berita ABC, pada 2018, batas kuota untuk program imigrasi ditetapkan sebesar 190.000 dan tidak berubah pada tahun anggaran 2019. Dari angka 190.000 tersebut, 128.000 akan diperuntukkan bagi imigran terampil untuk merangsang pertumbuhan ekonomi, memecahkan masalah kekurangan teknologi, dan meningkatkan keragaman sosial dan multikulturalisme.

Dalam kasus insiden teror di Selandia Baru, aksi pelaku dikaitkan dengan isu imigran dan supremasi kulit putih yang terganggu dengan melonjaknya jumlah pendatang dari negeri-negeri muslim ke negara mereka. Isu imigran menjadi isu tersendiri mengingat negara kepulauan tersebut memiliki populasi relatif kecil, 4,5 juta jiwa (estimasi Juli 2017) jika dibandingkan dengan luas wilayah negara tersebut, yaitu 268.838 kilometer persegi. Bahkan jumlah biri-biri di sana lebih banyak daripada manusia.Kedatangan masif imigran, terlebih dari negara muslim, akan mengubah komposisi dan persentase penduduk Selandia Baru, belum lagi kehidupan sosial, budaya, dan politik mereka. Hal itulah yang menjadi dalil untuk disemai dan dikampanyekan kelompok sayap kanan di Selandia Baru. Ada kemungkinan, program migrasi ke Selandia Baru atau Australia mulai didominasi dengan latar belakang imigran muslim atau Timur Tengah. Ada kemungkinan, kesiapan atas gejala baru arus imigran tersebut tidak sepenuhnya berjalan dengan smooth, apalagi ketika itu dihubungkan dengan fakta global soal kekerasan yang dikaitkan dengan Islam cukup kuat.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2278 seconds (0.1#10.140)