Pemilu yang Menegangkan
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
INGAT pemilu di era Orde Baru? Sebelum pemilu dilaksanakan pun masyarakat sudah yakin bahwa yang akan terpilih lagi pasti Pak Harto. Sampai-sampai muncul sindiran, syarat untuk maju sebagai calon presiden harus punya pengalaman pernah jadi presiden, sehingga calon yang lain tidak mungkin bisa mengalahkan Pak Harto.
Waktu itu yang menjadi bahan teka-teki rakyat adalah siapa yang bakal dipilih menjadi wakil presidennya dan jajaran menterinya. Begitu presiden terpilih melalui sidang umum MPR, banyak tokoh yang tidak mau meninggalkan Kota Jakarta, harap-harap cemas semoga ada telepon dari Cendana diminta menduduki jabatan menteri.
Karena Presiden Soeharto memiliki kewenangan penuh menentukan calon menteri, maka banyak menteri yang kualitasnya bagus-bagus. Mereka teknokrat-ilmuwan alumni universitas ternama di dunia. Jadi, menteri waktu itu merasa aman dari kritik pers karena dilindungi oleh presiden, sementara pers di bawah cengkeraman Harmoko, loyalis tulen Pak Harto yang juga ikut andil menjerumuskannya.
Memasuki era reformasi struktur dan kultur politik serta birokrasi berubah drastis. Parpol sangat powerful menekan presiden terpilih untuk menagih dividen dari saham politiknya, berupa jabatan menteri dan posisi-posisi strategis lain di lingkungan badan usaha milik negara (BUMN).
Hari-hari menjelang pemilu ini para aktor dan pemilik saham politik tengah berjuang keras untuk memenangkan jagonya. Sementara itu, masing-masing caleg bekerja siang-malam agar dirinya lolos menduduki kursi perwakilan rakyat.
Tidak hanya tenaga, miliaran rupiah telah dikeluarkan untuk membeli simpati dan belas kasih calon pemilih sehingga prinsip perwakilan telah diganti menjadi jual-beli. Lalu, pimpinan parpol juga lagi gelisah dan terengah-engah mendongkrak parpolnya agar lolos melewati batas ambang batas perolehan suara. Targetnya parpol tidak masuk museum liang kubur.
Mengingat sudah berkorban dan mengeluarkan biaya yang amat sangat mahal, bisa dimaklumi kalau para petarung politik itu gelisah, tegang, dan penuh harap. Di antara mereka mungkin hanya membayangkan kemenangannya, tidak siap untuk menerima kekalahan.
Beberapa pengalaman yang lalu bahkan ada yang menjadi gila karena tidak sanggup menanggung kekalahan. Beberapa rumah sakit jiwa bahkan sudah ada yang menawarkan diri untuk membantu memberikan konsultasi dan perawatan bagi mereka yang jiwanya shocked pascapemilu nanti.
Suasana batin masyarakat juga ikut gelisah, tidak nyaman, akibat terjadinya polarisasi yang tidak bersahabat antara mereka gara-gara beda pilihan calon presidennya. Keresahan ini tidak terjadi pada pemilu sebelumnya, terlebih lagi masa Orde Baru.
Sekarang ini polarisasi sudah merasuki lingkungan keluarga, hanya karena beda pilihan capres komunikasi mereka terganggu. Semoga saja ini hanya sesaat.
Belakangan ini perang syaraf opini dan adu hasil survei semakin mengemuka, masing-masing menonjolkan keunggulan jagonya. Situasi ini menjadi semakin runyam ketika hoaks sudah menjadi industri dan bisnis politik.
Sungguh membuat emosi masyarakat lelah, tidak bisa membedakan antara berita yang benar dan palsu. Kekhawatiran mulai muncul, apa yang akan terjadi jika hasil pilpres bedanya tipis sementara di sana-sini ditemukan kesalahan teknis atau kecurangan perhitungan suara?
Kesalahan dan kecurangan ini sulit diberantas tuntas mengingat jumlah TPS sangat banyak, tidak semua rakyat paham prosedur pencoblosan. Belum lagi jumlah pilihan yang mesti dicoblos terlalu banyak, melewati kemampuan nalar.
Kekhawatiran munculnya sikap emosional oleh pihak-pihak yang kecewa dan kalah bertarung ini mesti diantisipasi, jangan sampai merusak kredibilitas hasil pemilu serta menimbulkan konflik fisik dalam masyarakat. Para elite dan aktor politik mesti bertanggung jawab atas terjadinya polarisasi yang merusak keharmonisan sosial ini.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
INGAT pemilu di era Orde Baru? Sebelum pemilu dilaksanakan pun masyarakat sudah yakin bahwa yang akan terpilih lagi pasti Pak Harto. Sampai-sampai muncul sindiran, syarat untuk maju sebagai calon presiden harus punya pengalaman pernah jadi presiden, sehingga calon yang lain tidak mungkin bisa mengalahkan Pak Harto.
Waktu itu yang menjadi bahan teka-teki rakyat adalah siapa yang bakal dipilih menjadi wakil presidennya dan jajaran menterinya. Begitu presiden terpilih melalui sidang umum MPR, banyak tokoh yang tidak mau meninggalkan Kota Jakarta, harap-harap cemas semoga ada telepon dari Cendana diminta menduduki jabatan menteri.
Karena Presiden Soeharto memiliki kewenangan penuh menentukan calon menteri, maka banyak menteri yang kualitasnya bagus-bagus. Mereka teknokrat-ilmuwan alumni universitas ternama di dunia. Jadi, menteri waktu itu merasa aman dari kritik pers karena dilindungi oleh presiden, sementara pers di bawah cengkeraman Harmoko, loyalis tulen Pak Harto yang juga ikut andil menjerumuskannya.
Memasuki era reformasi struktur dan kultur politik serta birokrasi berubah drastis. Parpol sangat powerful menekan presiden terpilih untuk menagih dividen dari saham politiknya, berupa jabatan menteri dan posisi-posisi strategis lain di lingkungan badan usaha milik negara (BUMN).
Hari-hari menjelang pemilu ini para aktor dan pemilik saham politik tengah berjuang keras untuk memenangkan jagonya. Sementara itu, masing-masing caleg bekerja siang-malam agar dirinya lolos menduduki kursi perwakilan rakyat.
Tidak hanya tenaga, miliaran rupiah telah dikeluarkan untuk membeli simpati dan belas kasih calon pemilih sehingga prinsip perwakilan telah diganti menjadi jual-beli. Lalu, pimpinan parpol juga lagi gelisah dan terengah-engah mendongkrak parpolnya agar lolos melewati batas ambang batas perolehan suara. Targetnya parpol tidak masuk museum liang kubur.
Mengingat sudah berkorban dan mengeluarkan biaya yang amat sangat mahal, bisa dimaklumi kalau para petarung politik itu gelisah, tegang, dan penuh harap. Di antara mereka mungkin hanya membayangkan kemenangannya, tidak siap untuk menerima kekalahan.
Beberapa pengalaman yang lalu bahkan ada yang menjadi gila karena tidak sanggup menanggung kekalahan. Beberapa rumah sakit jiwa bahkan sudah ada yang menawarkan diri untuk membantu memberikan konsultasi dan perawatan bagi mereka yang jiwanya shocked pascapemilu nanti.
Suasana batin masyarakat juga ikut gelisah, tidak nyaman, akibat terjadinya polarisasi yang tidak bersahabat antara mereka gara-gara beda pilihan calon presidennya. Keresahan ini tidak terjadi pada pemilu sebelumnya, terlebih lagi masa Orde Baru.
Sekarang ini polarisasi sudah merasuki lingkungan keluarga, hanya karena beda pilihan capres komunikasi mereka terganggu. Semoga saja ini hanya sesaat.
Belakangan ini perang syaraf opini dan adu hasil survei semakin mengemuka, masing-masing menonjolkan keunggulan jagonya. Situasi ini menjadi semakin runyam ketika hoaks sudah menjadi industri dan bisnis politik.
Sungguh membuat emosi masyarakat lelah, tidak bisa membedakan antara berita yang benar dan palsu. Kekhawatiran mulai muncul, apa yang akan terjadi jika hasil pilpres bedanya tipis sementara di sana-sini ditemukan kesalahan teknis atau kecurangan perhitungan suara?
Kesalahan dan kecurangan ini sulit diberantas tuntas mengingat jumlah TPS sangat banyak, tidak semua rakyat paham prosedur pencoblosan. Belum lagi jumlah pilihan yang mesti dicoblos terlalu banyak, melewati kemampuan nalar.
Kekhawatiran munculnya sikap emosional oleh pihak-pihak yang kecewa dan kalah bertarung ini mesti diantisipasi, jangan sampai merusak kredibilitas hasil pemilu serta menimbulkan konflik fisik dalam masyarakat. Para elite dan aktor politik mesti bertanggung jawab atas terjadinya polarisasi yang merusak keharmonisan sosial ini.
(poe)