Mencegah Pengulangan Tragedi Christchurch

Selasa, 19 Maret 2019 - 07:18 WIB
Mencegah Pengulangan...
Mencegah Pengulangan Tragedi Christchurch
A A A
M Sya'roni Rofii
Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, Vice President OIC Youth Indonesia

SOSOK Brenton Tarrant seketika menjadi bahan perbincangan masyarakat dunia karena aksi terornya yang menewaskan 49 orang dan 48 lainnya terluka. Aksi biadab Brenton Tarrant yang menembaki sasarannya secara membabi buta disiarkan langsung melalui live streaming Facebook. Sebuah aksi yang membuat banyak orang kaget dan bertanya adakah manusia tega melakukan hal demikian.

Aksi Brenton Tarrant membuat Selandia Baru terluka dan berduka. Tangis salah seorang inspektur polisi, Naila Hassan, yang merupakan perwira polisi berlatar belakang Muslim sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan betapa terpukulnya komunitas Muslim akibat kejadian itu.

Bagi Naila Hassan, kejadian itu seperti membangkitkan memori lama tentang sulitnya menjadi Muslim. Sebab sejak dua dekade silam sejak bergabung dengan kepolisian, ia harus menyembunyikan identitas keagamaannya, namun setelah adanya transformasi di tubuh kepolisian dan bisa menyatakan rasa bangga sebagai seorang Muslim secara terbuka, akan tetapi justru tercoreng oleh aksi keji penganut paham ultranasionalis.

Setelah mengetahui kejadian penyerangan, Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, langsung menyatakan sikap belasungkawa kepada komunitas Muslim serta mengutuk tindakan pelaku. Politikus partai buruh itu juga menyatakan akan mengkaji ulang undang-undang kepemilikan senjata yang selama ini memungkinkan warga sipil memiliki senjata (ABC, 15/03; CNN, 15/03).

Pengaruh Islamophobia

Sangat sulit mengabaikan fakta bahwa tindakan Brenton Tarrant tidak ada kaitannya dengan Islamophobia. Dari manifesto yang juga tersebar di jejaring sosial, sang pelaku melakukan tindakannya berdasarkan pada motivasi ingin mengusir komunitas yang dianggap pendatang dan komunitas dianggap bukan bagian dari mereka. Singkatnya, manifesto yang tersebar memiliki intensi untuk menyerang dan mengusir mereka yang tidak seetnis atau seagama dengan dia.

Peristiwa ini tentu saja mengingatkan kita pada peristiwa-peristiwa yang sama terjadi di berbagai belahan dunia menunjukkan sebuah fakta bahwa nuansa kebencian berlatar belakang ras dan agama kian meningkat. Kasus ini hanya bagian kecil dari Islamophobia yang terjadi di negara-negara Amerika dan Eropa, yang jumlah komunitas Muslimnya dari tahun ke tahun mengalami peningkatan secara signifikan. Islamophobia adalah bentuk kebencian pada komunitas Muslim dalam bentuk diskriminasi, rasisme, ujaran kebencian, serangan fisik dan kampanye anti-muslim yang menemukan puncaknya sejak persitiwa 11 September 2001 (John Esposito, 2011).

Sebagian sarjana telah berupaya mengurangi tensi di tengah masyarakat yang multikultur dengan memberikan pemahaman objektif tentang eksistensi Islam sebagai agama yang cinta damai serta bisa hidup di tengah masyarakat liberal sekalipun. Sarjana dari Barat, seperti John Esposito dan Karen Armstrong adalah beberapa di antara sarjana yang konsen dengan studi Islam dan perkembangan Islam di Barat. Mereka hadir sebagai ilmuwan yang memberikan pencerahan pada Barat agar terhindar dari benturan peradaban yang selama ini mendominasi wacana di media-media mainstream masyarakat Barat.

Namun sayangnya, langkah mereka tidak lebih cepat diterima dibanding narasi kebencian penuh stigmatisasi dari pemimpin negara dan para politisi yang memang menjual isu-isu anti-Islam untuk meraih popularitas dan simpati pemilih dari pemilih ultranasionalis.

Meredam Kebencian

Belajar dari perstiwa tersebut, maka penting bagi Pemerintah Selandia Baru dan pemerintah di negara-negara yang dihuni warga multikultur untuk mengambil langkah-langkah konkret mencegah terjadinya kejadian serupa di masa depan dengan cara. Pertama, Pemerintah Selandia Baru harus melakukan amandemen undang-undang yang membebaskan peredaran senjata dan membatasi akses warga sipil untuk memiliki senjata.

Kedua, Pemerintah Selandia Baru perlu membangun komunikasi dengan semua pemimpin komunitas etnis dan agama agar perasaan sesama warga Selandia Baru semakin erat sehingga mampu membentengi diri dari upaya pecah belah yang kerap disampaikan kelompok ultranasional semacam Anders Behring Breivik di Nowegia, Geert Wilders di Belanda, dan Brenton Tarrant di Selandia Baru.

Ketiga, para pemimpin negara atau pemimpin politik semestinya harus mengakhiri menggunakan sentimen agama dan ras untuk meraih keuntungan politik elektoral. Sebab menggunakan isu kebencian bernuansa ras dan agama seperti yang kerap disampaikan Donald Trump dalam beberapa kesempatan dan senator Australia Fraser Anning beberapa waktu lalu, hanya akan menanam benih kebencian yang dampak kerusakannya sangat dalam.

Keempat, Pemerintah Selandia Baru perlu membangun kerja sama dengan negara-negara di sekitarnya, termasuk dengan Pemerintah Indonesia yang memiliki leverage sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia serta memiliki ormas keagamaan moderat, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang bisa membantu menyemai nilai-nilai Islam moderat di tengah masyarakat multikultur serta mengikis benih-benih kebencian yang muncul karena disebabkan kesalahpahaman.

Kelima, perusahaan sosial media, seperti Facebook dan Twitter, perlu menjadi bagian meredam propaganda kelompok ultranasionalis yang mengusung kebencian dengan cara memblok konten-konten berpotensi menciptakan kerusakan dan disharmoni di tengah masyarakat.

Baru-baru ini kita telah menyaksikan sejumlah gambar menarik seputar tindakan simpatik warga negara Selandia Baru yang berbondong-bondong datang ke masjid untuk menyatakan sikap bahwa mereka hadir di depan masjid untuk menjaga komunitas Muslim yang akan melaksanakan ibadah. Sikap warga yang mengambil inisiatif sendiri untuk datang menjaga rumah ibadah komunitas lain sudah lebih dari cukup untuk menguatkan bangsa Selandia Baru untuk tangguh melawan terorisme.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0834 seconds (0.1#10.140)