Cuti Presiden dan Delusi Kekosongan Kekuasaan
A
A
A
A Ahsin Thohari
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta
KAMPANYE pemilihan umum (pemilu) adalah salah satu wujud pendidikan politik kepada masyarakat yang harus dilaksanakan secara bertanggung jawab. Jika pihak yang berkampanye bukan pemegang jabatan politik yang sedang menjabat alias tidak berstatus petahana, persoalan relatif sederhana dan aturannya pun jelas karena ketiadaan kemungkinan penyalahgunaan fasilitas.
Persoalan berbeda terjadi pada kampanye yang melibatkan petahana yang menggenggam jabatan politik semacam presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota. Dengan kekuasaan yang besar, pembatasan aktivitasnya dalam berkampanye adalah keniscayaan. Akan tetapi, meniadakan sama sekali hak petahana untuk berkampanye juga bukanlah hal yang sportif.
Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 10/PUU-XVII/2019 yang diucapkan pada 13 Maret 2019 mengukuhkan konstitusionalitas Pasal 299 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 7/2017 tentang Pemilu yang menjamin hak presiden dan wakil presiden berkampanye.
Presiden petahana yang menjadi calon presiden memiliki hak yang sama dengan calon presiden bukan petahana termasuk hak untuk berkampanye yang bertujuan meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan citra dirinya. Sebab, jika dilarang berarti telah terjadi perlakuan berbeda terhadap kontestan.
Meskipun demikian, Pasal 281 UU Pemilu mengharuskan para petahana di atas yang berkampanye untuk tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya kecuali pengamanan. Selain itu, petahana juga harus menjalani cuti di luar tanggungan negara dan harus tetap memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan pemerintahan daerah.
Akan tetapi, Pasal 61 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu mempersempit ketentuan dalam UU Pemilu itu dengan menentukan bahwa presiden petahana yang berkampanye pada hari libur tidak memerlukan cuti.
Tak Butuh Kampanye
Jika saat ini aturan memungkinkan presiden petahana yang menjadi calon presiden berkampanye tanpa cuti asal dilakukan pada hari libur, tidak demikian dengan petahana terdahulu. Pada Pemilu 1999, memang kita belum memiliki aturan khusus yang mengatur cuti presiden petahana untuk kampanye.
Akan tetapi, pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2004, presiden petahana Megawati Soekarnoputri yang menjadi calon presiden dan wakil presiden petahana Hamzah Haz yang juga menjadi calon presiden harus mengajukan cuti untuk kampanye meskipun hari libur sesuai dengan Pasal 3 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2004 tentang Kampanye Pemilu oleh Pejabat Negara.
Hal yang sama terjadi lima tahun kemudian. Pada Pilpres 2009, Presiden petahana Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjadi calon presiden dan wakil presiden petahana Jusuf Kalla yang juga menjadi calon presiden pun harus cuti untuk kampanye meskipun hari libur karena Pasal 3 PP Nomor 14 Tahun 2009 tentang Tata Cara bagi Pejabat Negara dalam Melaksanakan Kampanye Pemilu mewajibkannya.
Pada Pilpres 2014, lagi-lagi presiden petahana Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga harus cuti meskipun hari libur untuk kampanye walaupun kali ini sebagai juru kampanye Partai Demokrat. Kewajiban cuti ini diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 18/2013 tentang Tata Cara Pengunduran Diri Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah, dan Pegawai Negeri yang Akan Menjadi Bakal Calon Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, serta Pelaksanaan Cuti Pejabat Negara dalam Kampanye Pemilu.
Dengan perubahan pengaturan cuti kampanye itu, tampaknya kita belum memiliki sistem yang ajek. Kemungkinan berubah bisa saja terjadi pada pemilu-pemilu berikutnya. Presiden petahana Joko Widodo memilih berkampanye pada hari libur, alih-alih cuti meskipun Pasal 61 PKPU Nomor 23/2018 menyediakan fasilitas itu.
Seyogianya, ke depan, kita perlu mengatur agar presiden petahana hanya diberi kesempatan berkampanye pada hari libur saja karena sesungguhnya ia telah "berkampanye" sepanjang periode jabatannya. Tidak hanya visi, misi, program, dan citra dirinya yang sudah diketahui publik, bahkan kinerjanya pun sudah dapat dinilai publik. Jadi, sebenarnya presiden petahana tidak terlalu butuh kampanye baik untuk dirinya maupun partainya.
Presiden dalam Sistem Presidensial
Pada umumnya, presiden di negara yang berbentuk republik dengan sistem pemerintahan presidensial adalah satu jabatan dengan dua fungsi: kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden bertindak selaku kepala negara bila menjadi persona publik yang secara resmi mewakili kesatuan sebuah bangsa dan keabsahan suatu negara berdaulat.
Posisi presiden sebagai kepala negara ini menjadikan ia sebagai tokoh seremonial (ceremonial figurehead) yang secara de jure merupakan jabatan penting dan kuat namun secara de facto tidak terlihat kekuasaan yang sesungguhnya seperti tecermin dari istilah figurehead yang berarti boneka. Sisi simbolis menjadi penanda kuat dalam konteks ini seperti terlihat dalam kewenangan presiden untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi, rehabilitasi, gelar, dan tanda jasa, untuk menyebut beberapa contoh.
Adapun posisi presiden sebagai kepala pemerintahan menunjukkan kualitas aktualnya sebagai pemegang tertinggi jabatan eksekutif negara berdaulat dengan kontrol sepenuhnya atas kabinet yang dipimpin oleh menteri. Kewenangan mengajukan rancangan undang-undang, menetapkan peraturan pemerintah, mengangkat dan memberhentikan menteri dimiliki presiden semata-mata karena posisinya sebagai tampuk tertinggi cabang eksekutif.
Dengan dua fungsi yang menyatu pada satu sosok itu, kekuasaan presiden tentu saja sangat besar, sehingga keberadaanya tidak boleh hilang sedetik pun. Oleh karena itu, cuti presiden petahana untuk kampanye karena pada saat yang sama juga menjadi calon presiden atau sebagai juru kampanye dapat menimbulkan persepsi negatif bahwa hal itu membahayakan kehidupan ketatanegaraan, khususnya berkaitan dengan kekosongan kekuasaan seperti diungkapkan anggota Tim Kampanye Nasional Lukman Edy.
Padahal, pendapat Lukman Edy itu hanya delusif saja karena tidak benar-benar terjadi kekosongan kekuasaan mengingat presiden masih ada dan tidak dikategorikan mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UUD 1945. Kekosongan kekuasaan diartikan sebagai kondisi yang terjadi ketika pemegang kekuasaan kehilangan kendalinyatapi tidak ada pihak yang menggantikannya.
Delusi itu muncul karena pengertian cuti itu sendiri yang memang tidak jelas. Jika cuti diartikan sebagai meninggalkan pekerjaan beberapa waktu secara resmi apakah itu berarti lembaga kepresidenan telah kosong? Jawabannya tidak, karena cuti sebenarnya hanya instrumen untuk mencegah presiden petahana menggunakan fasilitas jabatannya kecuali pengamanan. Di masa yang akan datang, persoalan cuti kampanye presiden petahana ini memang perlu diatur lebih jelas.
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta
KAMPANYE pemilihan umum (pemilu) adalah salah satu wujud pendidikan politik kepada masyarakat yang harus dilaksanakan secara bertanggung jawab. Jika pihak yang berkampanye bukan pemegang jabatan politik yang sedang menjabat alias tidak berstatus petahana, persoalan relatif sederhana dan aturannya pun jelas karena ketiadaan kemungkinan penyalahgunaan fasilitas.
Persoalan berbeda terjadi pada kampanye yang melibatkan petahana yang menggenggam jabatan politik semacam presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota. Dengan kekuasaan yang besar, pembatasan aktivitasnya dalam berkampanye adalah keniscayaan. Akan tetapi, meniadakan sama sekali hak petahana untuk berkampanye juga bukanlah hal yang sportif.
Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 10/PUU-XVII/2019 yang diucapkan pada 13 Maret 2019 mengukuhkan konstitusionalitas Pasal 299 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 7/2017 tentang Pemilu yang menjamin hak presiden dan wakil presiden berkampanye.
Presiden petahana yang menjadi calon presiden memiliki hak yang sama dengan calon presiden bukan petahana termasuk hak untuk berkampanye yang bertujuan meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan citra dirinya. Sebab, jika dilarang berarti telah terjadi perlakuan berbeda terhadap kontestan.
Meskipun demikian, Pasal 281 UU Pemilu mengharuskan para petahana di atas yang berkampanye untuk tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya kecuali pengamanan. Selain itu, petahana juga harus menjalani cuti di luar tanggungan negara dan harus tetap memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan pemerintahan daerah.
Akan tetapi, Pasal 61 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu mempersempit ketentuan dalam UU Pemilu itu dengan menentukan bahwa presiden petahana yang berkampanye pada hari libur tidak memerlukan cuti.
Tak Butuh Kampanye
Jika saat ini aturan memungkinkan presiden petahana yang menjadi calon presiden berkampanye tanpa cuti asal dilakukan pada hari libur, tidak demikian dengan petahana terdahulu. Pada Pemilu 1999, memang kita belum memiliki aturan khusus yang mengatur cuti presiden petahana untuk kampanye.
Akan tetapi, pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2004, presiden petahana Megawati Soekarnoputri yang menjadi calon presiden dan wakil presiden petahana Hamzah Haz yang juga menjadi calon presiden harus mengajukan cuti untuk kampanye meskipun hari libur sesuai dengan Pasal 3 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2004 tentang Kampanye Pemilu oleh Pejabat Negara.
Hal yang sama terjadi lima tahun kemudian. Pada Pilpres 2009, Presiden petahana Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjadi calon presiden dan wakil presiden petahana Jusuf Kalla yang juga menjadi calon presiden pun harus cuti untuk kampanye meskipun hari libur karena Pasal 3 PP Nomor 14 Tahun 2009 tentang Tata Cara bagi Pejabat Negara dalam Melaksanakan Kampanye Pemilu mewajibkannya.
Pada Pilpres 2014, lagi-lagi presiden petahana Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga harus cuti meskipun hari libur untuk kampanye walaupun kali ini sebagai juru kampanye Partai Demokrat. Kewajiban cuti ini diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 18/2013 tentang Tata Cara Pengunduran Diri Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah, dan Pegawai Negeri yang Akan Menjadi Bakal Calon Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, serta Pelaksanaan Cuti Pejabat Negara dalam Kampanye Pemilu.
Dengan perubahan pengaturan cuti kampanye itu, tampaknya kita belum memiliki sistem yang ajek. Kemungkinan berubah bisa saja terjadi pada pemilu-pemilu berikutnya. Presiden petahana Joko Widodo memilih berkampanye pada hari libur, alih-alih cuti meskipun Pasal 61 PKPU Nomor 23/2018 menyediakan fasilitas itu.
Seyogianya, ke depan, kita perlu mengatur agar presiden petahana hanya diberi kesempatan berkampanye pada hari libur saja karena sesungguhnya ia telah "berkampanye" sepanjang periode jabatannya. Tidak hanya visi, misi, program, dan citra dirinya yang sudah diketahui publik, bahkan kinerjanya pun sudah dapat dinilai publik. Jadi, sebenarnya presiden petahana tidak terlalu butuh kampanye baik untuk dirinya maupun partainya.
Presiden dalam Sistem Presidensial
Pada umumnya, presiden di negara yang berbentuk republik dengan sistem pemerintahan presidensial adalah satu jabatan dengan dua fungsi: kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden bertindak selaku kepala negara bila menjadi persona publik yang secara resmi mewakili kesatuan sebuah bangsa dan keabsahan suatu negara berdaulat.
Posisi presiden sebagai kepala negara ini menjadikan ia sebagai tokoh seremonial (ceremonial figurehead) yang secara de jure merupakan jabatan penting dan kuat namun secara de facto tidak terlihat kekuasaan yang sesungguhnya seperti tecermin dari istilah figurehead yang berarti boneka. Sisi simbolis menjadi penanda kuat dalam konteks ini seperti terlihat dalam kewenangan presiden untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi, rehabilitasi, gelar, dan tanda jasa, untuk menyebut beberapa contoh.
Adapun posisi presiden sebagai kepala pemerintahan menunjukkan kualitas aktualnya sebagai pemegang tertinggi jabatan eksekutif negara berdaulat dengan kontrol sepenuhnya atas kabinet yang dipimpin oleh menteri. Kewenangan mengajukan rancangan undang-undang, menetapkan peraturan pemerintah, mengangkat dan memberhentikan menteri dimiliki presiden semata-mata karena posisinya sebagai tampuk tertinggi cabang eksekutif.
Dengan dua fungsi yang menyatu pada satu sosok itu, kekuasaan presiden tentu saja sangat besar, sehingga keberadaanya tidak boleh hilang sedetik pun. Oleh karena itu, cuti presiden petahana untuk kampanye karena pada saat yang sama juga menjadi calon presiden atau sebagai juru kampanye dapat menimbulkan persepsi negatif bahwa hal itu membahayakan kehidupan ketatanegaraan, khususnya berkaitan dengan kekosongan kekuasaan seperti diungkapkan anggota Tim Kampanye Nasional Lukman Edy.
Padahal, pendapat Lukman Edy itu hanya delusif saja karena tidak benar-benar terjadi kekosongan kekuasaan mengingat presiden masih ada dan tidak dikategorikan mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UUD 1945. Kekosongan kekuasaan diartikan sebagai kondisi yang terjadi ketika pemegang kekuasaan kehilangan kendalinyatapi tidak ada pihak yang menggantikannya.
Delusi itu muncul karena pengertian cuti itu sendiri yang memang tidak jelas. Jika cuti diartikan sebagai meninggalkan pekerjaan beberapa waktu secara resmi apakah itu berarti lembaga kepresidenan telah kosong? Jawabannya tidak, karena cuti sebenarnya hanya instrumen untuk mencegah presiden petahana menggunakan fasilitas jabatannya kecuali pengamanan. Di masa yang akan datang, persoalan cuti kampanye presiden petahana ini memang perlu diatur lebih jelas.
(thm)