Indonesia dalam Krisis Venezuela
A
A
A
Dinna Wisnu, Ph.D
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
APAKAH kita dapat menerapkan prinsip the lesser of evil dalam diplomasi internasional? Prinsip the lesser of evil menjadi populer di Indonesia saat ini.
Prinsip ini terkait dengan pemilihan presiden yang akan kita lakukan bulan mendatang dan ditujukan untuk para pemilih yang belum memutuskan pilihannya kepada siapa (undecided) atau mereka yang masuk dalam kategori golput. Inti dari prinsip adalah undangan untuk tetap ke tempat pemungutan suara dan memilih yang terbaik dari pilihan-pilihan yang dianggap kurang ideal.
Konteks yang saya bicarakan adalah peran Indonesia di Dewan Keamanan PBB, yang pada akhir Februari 2019 telah terselenggara sidang untuk menentukan sikap negara-negara dunia terhadap krisis di Venezuela. Amerika Serikat (AS) mengajukan resolusi (S/2019/186) yang mendorong terjadinya pemilu di Venezuela didampingi pengamat pemilu internasional, karena pemilu sebelumnya yang memilih Nicolas Maduro dianggap tidak bebas dan adil.
Dalam resolusinya, AS merujuk pada keputusan Permanent Council of the Organization of American States pada 10 Januari 2019, yakni dewan kerja sama negara-negara Amerika, yang memutuskan untuk tidak mengakui kepemimpinan Presiden Nicolas Maduro dan bahwa kepemimpinan Maduro menciptakan eksodus penduduk dan kesulitan masyarakat dalam menjangkau bantuan kemanusiaan.
Sementara itu, Rusia mengajukan resolusi (S/2019/190) yang berpangkal pada keprihatinan akan ancaman penggunaan ancaman dan kekerasan yang mengancam kedaulatan Venezuela dan ini dianggap melanggar Piagam PBB, dan bahwa perselisihan internasional perlu diselesaikan secara damai dengan proses dialog nasional yang inklusif.
Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB wajib menentukan mana draf resolusi yang patut didukung. Sebagai latar belakang, Dewan Keamanan PBB adalah lembaga multilateral terpenting di dunia yang punya wewenang mengarahkan sikap negara-negara dunia dalam isu-isu politik keamanan global.
Sejak Perang Dunia II berakhir, dewan ini yang menjaga agar tidak ada lagi hal-hal tersembunyi antarnegara yang berujung pada konflik berskala luas yang mengganggu stabilitas global. Dewan Keamanan PBB bisa mengeluarkan peringatan dan resolusi yang sifatnya menyejukkan, tetapi bisa juga memanaskan situasi.
Tantangan terbesarnya di lembaga itu adalah mengarahkan para pemegang hak veto untuk mengingat prinsip-prinsip dialog multilateralisme dalam Piagam PBB dan menolak penggunaan cara-cara sepihak (unilateral), apalagi bernuansa pemaksaan dan kekerasan yang melanggar kedaulatan negara-negara anggota PBB.
Dalam konteks tersebut, Indonesia ternyata malah abstain, baik untuk draf AS maupun draf Rusia. Dalam hal draf AS, 9 negara memilih mendukung resolusi rancangan AS (Jerman, Polandia, Peru, AS, Inggris, Prancis, Belgia, Republik Dominika, Kuwait), 3 menentang resolusi tersebut (Rusia, China, Afrika Selatan), dan 3 abstain (Guinea Ekuatorial, Indonesia, Pantai Gading).
Ketika draf resolusi Rusia divoting setelah Rusia menyerukan dialog antara pemerintah Venezuela di bawah Maduro dan oposisi di bawah Juan Guaido, sejalan dengan mekanisme Montevideo maka hasilnya 4 suara mendukung (Rusia, China, Afrika Selatan, Guinea Ekuatorial), 7 melawan (Jerman, Polandia, Peru, AS, Inggris, Prancis), dan 4 abstain (Pantai Gading, Republik Dominika, Indonesia, dan Kuwait).
Indonesia beralasan bahwa “..kami ingin melihat draf yang lebih berimbang dan menyeluruh. Kami juga menginginkan proses konsultasi dan persiapan rancangan yang melibatkan segala pihak.”
Indonesia lebih lanjut mengatakan bahwa untuk mencapai solusi yang lebih berjangka panjang maka draf harus dimulai dari pengakuan. Pertama, sejalan dengan Piagam PBB, prinsip nonintervensi, kedaulatan, dan integritas wilayah wajib dihormati.
Kedua, solusi apa pun selayaknya terpusat pada dialog politik yang inklusif yang melibatkan semua pihak. Ketiga, kami wajib mengatasi kebutuhan orang-orang Venezuela yang sedang sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan. Keempat, pelarian para pengungsi Venezuela yang memengaruhi negara-negara tetangga wajib segera ditangani.
Rupanya hilangnya empat poin tersebut menjadi alasan bagi Indonesia untuk menolak kedua draf tersebut. Indonesia juga mengkritik kegagalan Dewan Keamanan PBB untuk mencapai kesepakatan karena kepentingan masing-masing negara yang tidak bisa dikesampingkan.
Pantai Gading sebagai negara yang juga abstain untuk kedua resolusi tersebut, tidak mengatakan banyak hal kecuali menegaskan tentang pentingnya rekonsiliasi dan dialog semua pihak yang terkait untuk mencapai kesepakatan.
Indonesia Perlu Tegas
Kita tidak mengetahui sebetulnya apa proses lobi yang berlangsung di belakang layar sebelum keputusan abstain itu diambil oleh Indonesia. Apa tuntutan Indonesia yang tidak diakomodasi oleh kedua draf tersebut sehingga Indonesia menolak keduanya?
Sayangnya alasan Indonesia menolak kedua draf itu terkesan sangat normatif. Indonesia tidak menunjukkan secara konkret bagian mana dari draf tersebut yang menjadi kritik terbesarnya.
Kita mungkin bisa bandingkan dengan pendapat dari Afrika Selatan. Keluhan Indonesia sebetulnya sama dengan Afrika Selatan. Namun demikian, Afrika Selatan jauh lebih keras kepada draf AS.
Afrika Selatan menemukan bahwa draf resolusi AS bias dan bertentangan dengan Konstitusi Afrika Selatan dan kebijakan luar negeri Afrika Selatan. Draf AS juga hanya mementingkan kepentingan oposisi dan tidak memperhatikan kepentingan pihak lainnya dan Afrika Selatan juga menolak tuduhan bahwa pemilu yang terjadi pada Mei 2018 di Venezuela tidak adil. Afrika Selatan menekan semua pihak harus mengakui proses pemilu yang terjadi karena itu adalah basis dari kepemimpinan di Venezuela hari ini.
Di luar konteks sidang tersebut, kita juga bisa memahami bahwa persoalan di Venezuela memang sangat politis. Katakanlah Indonesia tidak mau menyentuh urusan politik, maka justru karena itulah Indonesia harus tegas menyuarakan prinsip nonintervensi dalam urusan politik negara berdaulat.
Kenyataannya, Indonesia tidak pernah mempermasalahkan hasil pemilu yang memenangkan Maduro. Dan kita tahu pula, bahwa krisis politik dan ekonomi yang terjadi di Venezuela saat ini adalah akumulasi dari persaingan politik di dalam negeri sejak zaman Hugo Chavez.
Tidak bisa juga serta-merta Indonesia berpaling dari pemerintahan yang sah di Venezuela hanya karena sekarang muncul krisis di negara itu. Setiap pemimpin sebuah negara pasti melakukan kesalahan, dan kesalahan itu harus diperbaiki oleh warga itu sendiri tanpa campur tangan dari pihak lain.
Kita harus dapat melihat dalam kacamata politik AS, bahwa keterlibatan mereka menggalang dukungan untuk Juan Guaido memiliki tujuan lain. Dunia mengkhawatirkan AS sedang membangun proyek “regime change”.
Hal ini tecermin dari pemilihan Elliott Abrams sebagai utusan AS untuk masalah Venezuela yang memiliki sejarah dalam mengintervensi negara-negara yang berseberangan dengan kepentingan AS. Kita juga dapat melihat maksud itu dalam tanya-jawab Abrams dengan senator AS sebelumnya. Pernyataan Abrams dalam Sidang Dewan Keamanan PBB, 28 Februari 2019, juga sangat mencerminkan niat AS untuk menyingkirkan Maduro dan menggantikannya dengan orang pilihan AS, Juan Guaido.
Tentu saya paham bahwa berhadapan dengan AS dalam konteks seperti sekarang tentu ada risikonya, tetapi konsistensi terhadap prinsip-prinsip yang selama ini memenangkan Indonesia dalam forum-forum multilateral adalah hal yang patut dijunjung tinggi. Dewan Keamanan PBB punya tugas mulia mencegah tindakan unilateral dari negara-negara besar pemegang hak veto dalam mengintervensi politik di negara-negara lain, apalagi sampai mengorbankan nasib rakyat sipil.
Bukankah ini prinsip perjuangan Indonesia dalam UUD 1945, menciptakan perdamaian abadi dengan aktif menyuarakan antikolonialisme yang kerap terwujud dalam kegiatan intervensi pada negara-negara yang dianggap tak berdaya?
Venezuela tengah mengalami krisis yang sangat mendalam dalam seminggu terakhir ini. Listrik yang padam hingga hari kelima telah membuat masyarakat secara psikologis tertekan.
Pemerintahan Maduro sendiri mengatakan bahwa kekuatan asing telah melakukan cyber attack ke pembangkit listrik di Venezuela yang menyebabkan lebih dari 80% wilayah mengalami pemadaman. Pemerintah Maduro menuduh bahwa pihak oposisi mengetahui serangan tersebut karena beberapa menit setelah listrik mati di seluruh Venezuela, pemimpin oposisi Juan Guaido, mengatakan bahwa terjadi kerusakan di pembangkit dan pembangkit cadangan.
Sebuah informasi yang pemerintah sendiri belum mengetahuinya. Artinya, suasana di dalam negeri Venezuela sudah cukup keruh sehingga sangatlah mendesak untuk Indonesia mengembalikan suasana kepastian bagi pemerintahan Maduro di sana.
Memang tidak ada draf resolusi Dewan Keamanan PBB yang ideal saat ini, tetapi adalah suatu kelalaian bila karena sikap abstain Indonesia maka AS bersama sekutu-sekutunya mendapatkan angin untuk menjalankan intensinya menyingkirkan Maduro tanpa proses dialog yang inklusif dan damai di Venezuela, apalagi ketika hasil dialog sudah dipaksakan untuk menghasilkan penobatan Guaido sebagai presiden terpilih di Venezuela.
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
APAKAH kita dapat menerapkan prinsip the lesser of evil dalam diplomasi internasional? Prinsip the lesser of evil menjadi populer di Indonesia saat ini.
Prinsip ini terkait dengan pemilihan presiden yang akan kita lakukan bulan mendatang dan ditujukan untuk para pemilih yang belum memutuskan pilihannya kepada siapa (undecided) atau mereka yang masuk dalam kategori golput. Inti dari prinsip adalah undangan untuk tetap ke tempat pemungutan suara dan memilih yang terbaik dari pilihan-pilihan yang dianggap kurang ideal.
Konteks yang saya bicarakan adalah peran Indonesia di Dewan Keamanan PBB, yang pada akhir Februari 2019 telah terselenggara sidang untuk menentukan sikap negara-negara dunia terhadap krisis di Venezuela. Amerika Serikat (AS) mengajukan resolusi (S/2019/186) yang mendorong terjadinya pemilu di Venezuela didampingi pengamat pemilu internasional, karena pemilu sebelumnya yang memilih Nicolas Maduro dianggap tidak bebas dan adil.
Dalam resolusinya, AS merujuk pada keputusan Permanent Council of the Organization of American States pada 10 Januari 2019, yakni dewan kerja sama negara-negara Amerika, yang memutuskan untuk tidak mengakui kepemimpinan Presiden Nicolas Maduro dan bahwa kepemimpinan Maduro menciptakan eksodus penduduk dan kesulitan masyarakat dalam menjangkau bantuan kemanusiaan.
Sementara itu, Rusia mengajukan resolusi (S/2019/190) yang berpangkal pada keprihatinan akan ancaman penggunaan ancaman dan kekerasan yang mengancam kedaulatan Venezuela dan ini dianggap melanggar Piagam PBB, dan bahwa perselisihan internasional perlu diselesaikan secara damai dengan proses dialog nasional yang inklusif.
Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB wajib menentukan mana draf resolusi yang patut didukung. Sebagai latar belakang, Dewan Keamanan PBB adalah lembaga multilateral terpenting di dunia yang punya wewenang mengarahkan sikap negara-negara dunia dalam isu-isu politik keamanan global.
Sejak Perang Dunia II berakhir, dewan ini yang menjaga agar tidak ada lagi hal-hal tersembunyi antarnegara yang berujung pada konflik berskala luas yang mengganggu stabilitas global. Dewan Keamanan PBB bisa mengeluarkan peringatan dan resolusi yang sifatnya menyejukkan, tetapi bisa juga memanaskan situasi.
Tantangan terbesarnya di lembaga itu adalah mengarahkan para pemegang hak veto untuk mengingat prinsip-prinsip dialog multilateralisme dalam Piagam PBB dan menolak penggunaan cara-cara sepihak (unilateral), apalagi bernuansa pemaksaan dan kekerasan yang melanggar kedaulatan negara-negara anggota PBB.
Dalam konteks tersebut, Indonesia ternyata malah abstain, baik untuk draf AS maupun draf Rusia. Dalam hal draf AS, 9 negara memilih mendukung resolusi rancangan AS (Jerman, Polandia, Peru, AS, Inggris, Prancis, Belgia, Republik Dominika, Kuwait), 3 menentang resolusi tersebut (Rusia, China, Afrika Selatan), dan 3 abstain (Guinea Ekuatorial, Indonesia, Pantai Gading).
Ketika draf resolusi Rusia divoting setelah Rusia menyerukan dialog antara pemerintah Venezuela di bawah Maduro dan oposisi di bawah Juan Guaido, sejalan dengan mekanisme Montevideo maka hasilnya 4 suara mendukung (Rusia, China, Afrika Selatan, Guinea Ekuatorial), 7 melawan (Jerman, Polandia, Peru, AS, Inggris, Prancis), dan 4 abstain (Pantai Gading, Republik Dominika, Indonesia, dan Kuwait).
Indonesia beralasan bahwa “..kami ingin melihat draf yang lebih berimbang dan menyeluruh. Kami juga menginginkan proses konsultasi dan persiapan rancangan yang melibatkan segala pihak.”
Indonesia lebih lanjut mengatakan bahwa untuk mencapai solusi yang lebih berjangka panjang maka draf harus dimulai dari pengakuan. Pertama, sejalan dengan Piagam PBB, prinsip nonintervensi, kedaulatan, dan integritas wilayah wajib dihormati.
Kedua, solusi apa pun selayaknya terpusat pada dialog politik yang inklusif yang melibatkan semua pihak. Ketiga, kami wajib mengatasi kebutuhan orang-orang Venezuela yang sedang sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan. Keempat, pelarian para pengungsi Venezuela yang memengaruhi negara-negara tetangga wajib segera ditangani.
Rupanya hilangnya empat poin tersebut menjadi alasan bagi Indonesia untuk menolak kedua draf tersebut. Indonesia juga mengkritik kegagalan Dewan Keamanan PBB untuk mencapai kesepakatan karena kepentingan masing-masing negara yang tidak bisa dikesampingkan.
Pantai Gading sebagai negara yang juga abstain untuk kedua resolusi tersebut, tidak mengatakan banyak hal kecuali menegaskan tentang pentingnya rekonsiliasi dan dialog semua pihak yang terkait untuk mencapai kesepakatan.
Indonesia Perlu Tegas
Kita tidak mengetahui sebetulnya apa proses lobi yang berlangsung di belakang layar sebelum keputusan abstain itu diambil oleh Indonesia. Apa tuntutan Indonesia yang tidak diakomodasi oleh kedua draf tersebut sehingga Indonesia menolak keduanya?
Sayangnya alasan Indonesia menolak kedua draf itu terkesan sangat normatif. Indonesia tidak menunjukkan secara konkret bagian mana dari draf tersebut yang menjadi kritik terbesarnya.
Kita mungkin bisa bandingkan dengan pendapat dari Afrika Selatan. Keluhan Indonesia sebetulnya sama dengan Afrika Selatan. Namun demikian, Afrika Selatan jauh lebih keras kepada draf AS.
Afrika Selatan menemukan bahwa draf resolusi AS bias dan bertentangan dengan Konstitusi Afrika Selatan dan kebijakan luar negeri Afrika Selatan. Draf AS juga hanya mementingkan kepentingan oposisi dan tidak memperhatikan kepentingan pihak lainnya dan Afrika Selatan juga menolak tuduhan bahwa pemilu yang terjadi pada Mei 2018 di Venezuela tidak adil. Afrika Selatan menekan semua pihak harus mengakui proses pemilu yang terjadi karena itu adalah basis dari kepemimpinan di Venezuela hari ini.
Di luar konteks sidang tersebut, kita juga bisa memahami bahwa persoalan di Venezuela memang sangat politis. Katakanlah Indonesia tidak mau menyentuh urusan politik, maka justru karena itulah Indonesia harus tegas menyuarakan prinsip nonintervensi dalam urusan politik negara berdaulat.
Kenyataannya, Indonesia tidak pernah mempermasalahkan hasil pemilu yang memenangkan Maduro. Dan kita tahu pula, bahwa krisis politik dan ekonomi yang terjadi di Venezuela saat ini adalah akumulasi dari persaingan politik di dalam negeri sejak zaman Hugo Chavez.
Tidak bisa juga serta-merta Indonesia berpaling dari pemerintahan yang sah di Venezuela hanya karena sekarang muncul krisis di negara itu. Setiap pemimpin sebuah negara pasti melakukan kesalahan, dan kesalahan itu harus diperbaiki oleh warga itu sendiri tanpa campur tangan dari pihak lain.
Kita harus dapat melihat dalam kacamata politik AS, bahwa keterlibatan mereka menggalang dukungan untuk Juan Guaido memiliki tujuan lain. Dunia mengkhawatirkan AS sedang membangun proyek “regime change”.
Hal ini tecermin dari pemilihan Elliott Abrams sebagai utusan AS untuk masalah Venezuela yang memiliki sejarah dalam mengintervensi negara-negara yang berseberangan dengan kepentingan AS. Kita juga dapat melihat maksud itu dalam tanya-jawab Abrams dengan senator AS sebelumnya. Pernyataan Abrams dalam Sidang Dewan Keamanan PBB, 28 Februari 2019, juga sangat mencerminkan niat AS untuk menyingkirkan Maduro dan menggantikannya dengan orang pilihan AS, Juan Guaido.
Tentu saya paham bahwa berhadapan dengan AS dalam konteks seperti sekarang tentu ada risikonya, tetapi konsistensi terhadap prinsip-prinsip yang selama ini memenangkan Indonesia dalam forum-forum multilateral adalah hal yang patut dijunjung tinggi. Dewan Keamanan PBB punya tugas mulia mencegah tindakan unilateral dari negara-negara besar pemegang hak veto dalam mengintervensi politik di negara-negara lain, apalagi sampai mengorbankan nasib rakyat sipil.
Bukankah ini prinsip perjuangan Indonesia dalam UUD 1945, menciptakan perdamaian abadi dengan aktif menyuarakan antikolonialisme yang kerap terwujud dalam kegiatan intervensi pada negara-negara yang dianggap tak berdaya?
Venezuela tengah mengalami krisis yang sangat mendalam dalam seminggu terakhir ini. Listrik yang padam hingga hari kelima telah membuat masyarakat secara psikologis tertekan.
Pemerintahan Maduro sendiri mengatakan bahwa kekuatan asing telah melakukan cyber attack ke pembangkit listrik di Venezuela yang menyebabkan lebih dari 80% wilayah mengalami pemadaman. Pemerintah Maduro menuduh bahwa pihak oposisi mengetahui serangan tersebut karena beberapa menit setelah listrik mati di seluruh Venezuela, pemimpin oposisi Juan Guaido, mengatakan bahwa terjadi kerusakan di pembangkit dan pembangkit cadangan.
Sebuah informasi yang pemerintah sendiri belum mengetahuinya. Artinya, suasana di dalam negeri Venezuela sudah cukup keruh sehingga sangatlah mendesak untuk Indonesia mengembalikan suasana kepastian bagi pemerintahan Maduro di sana.
Memang tidak ada draf resolusi Dewan Keamanan PBB yang ideal saat ini, tetapi adalah suatu kelalaian bila karena sikap abstain Indonesia maka AS bersama sekutu-sekutunya mendapatkan angin untuk menjalankan intensinya menyingkirkan Maduro tanpa proses dialog yang inklusif dan damai di Venezuela, apalagi ketika hasil dialog sudah dipaksakan untuk menghasilkan penobatan Guaido sebagai presiden terpilih di Venezuela.
(poe)