Dinamika Pemilu dan Perangkap Saling Benci

Selasa, 12 Maret 2019 - 08:15 WIB
Dinamika Pemilu dan...
Dinamika Pemilu dan Perangkap Saling Benci
A A A
Bambang Soesatyo
Ketua DPR RI/ Dewan Pakar KAHMI/ Kepala Badan Bela Negara FKPPI/
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila

DINAMIKA Pemilu 2019 telah membangun perangkap kebencian antarkelompok masyarakat. Tumbuh kembang demokrasi pun seperti mengalami stagnasi, karena dinamika pemilu tidak mendidik dan mencerahkan sebagian masyarakat dalam merumuskan sikap dan pilihan politiknya. Memang Pemilu 2019 berpotensi menyisakan masalah sosial akibat perangkap saling benci itu.

Sentimen saling benci sekarang ini tak hanya dirasakan, tapi juga tampak kasatmata. Media sosial dimanfaatkan untuk melampiaskan kemarahan dan kebencian itu. Begitu pun di ruang publik. Mereka yang melakoni sikap seperti itu pun tak malu-malu lagi mempertontonkannya, baik melalui orasi, pidato, atau melalui media sosial.

Sikap saling benci itu diekspresikan dengan ragam cara; menyatakan atau menilai kelompok lain sebagai kafir, menyebarkan fitnah, menyebarkan informasi dan berita bohong (hoaks), menyebar tuduhan tanpa bukti, aksi-aksi provokatif, hingga drama kekonyolan atau ejekan untuk membuat gaduh.

Karena saling benci, adab harmoni yang telah terbangun di atas kebinekaan Indonesia terus dirusak. Atas nama kebencian pula, kesatuan warga bangsa NKRI coba terus dibelah. Negara-bangsa seperti ingin diseret ke dalam lingkaran krisis identitas karena tumbuhnya keinginan menolak Pancasila sebagai dasar negara. Saling tuding, saling tantang, saling lapor, bahkan saling ancam, nyaris terdengar hampir setiap hari. Itulah yang terjadi dan juga tampak nyata akhir-akhir ini.

Memang mayoritas rakyat Indonesia yakin dan percaya bahwa negara dalam kondisi baik-baik saja, bahkan sangat kondusif. Jika ada kelompok ingin menyeret negara-bangsa ke dalam lingkaran krisis, mayoritas rakyat pun yakin dan percaya bahwa upaya itu tidak akan berhasil. Sebab bersama TNI dan Polri, rakyat akan merespons upaya seperti itu dengan sikap sangat tegas. Jangan lupa bahwa rakyat Indonesia pernah mengalami ujian jauh lebih berat dibanding apa yang tampak dan dirasakan sekarang ini.

Mereka yang coba memecah NKRI harus sadar bahwa kekuatan mayoritas bangsa ini masih mengambil sikap diam (silent majority). Kenapa diam? Karena tingkah laku para perusak itu sejauh ini masih bisa ditoleransi.

Namun, faktor yang patut dijadikan keprihatinan bersama adalah dampak dari perangkap kebencian antarkelompok masyarakat sekarang ini. Bagaimanapun ada yang sudah mengalami luka batin, terutama mereka yang dikafirkan. Fenomena saling cibir dan saling curiga cenderung meluas. Pada berbagai kesempatan, kelompok-kelompok masyarakat bergunjing serta mencaci maki aksi atau pernyataan dari kelompok masyarakat lainnya karena aksi atau pernyataan-pernyataan itu nyaris menistakan pihak yang berada di luar kelompoknya.

Benih-benih saling benci antarkelompok itu terbentuk hanya karena beda aspirasi politik kelompok-kelompok masyarakat. Sebagai hak yang melekat pada setiap warga negara, sikap maupun pernyataan untuk mengekspresikan aspirasi politik setiap kelompok tidaklah salah.

Sebab akan muncul persoalan ketika kelompok yang satu mencela atau bahkan menista aspirasi kelompok lain. Masalahnya kemudian menjadi serius ketika ketidaksamaan aspirasi itu dijadikan pijakan untuk membangun sikap dan perilaku tidak bersahabat, bahkan bermusuhan. Sebagian masyarakat akhirnya kini masuk perangkap saling benci.

Terkesan sengit dan panas karena saling ejek tak jarang disulut oleh pernyataan-pernyataan para politisi, khususnya anggota tim pemenangan dari masing-masing kubu calon presiden-wakil presiden (capres-cawapres). Atau karena ketidakmampuan tim pemenangan mengendalikan anggotanya yang bertugas di lapangan. Tingginya intensitas kampanye hitam menjadi bukti kegagalan tim pemenangan mengatur anggotanya di lapangan.

Contoh kampanye hitam terbaru bermuatan penghinaan adalah beredarnya foto kondom bergambar capres-cawapres nomor urut 01 di WhatsApp dan media sosial. Sebelumnya ada kasus kampanye hitam oleh tiga perempuan di Karawang, Jawa Barat. Kampanye itu dinyatakan sebagai perbuatan terlarang karena memuat tuduhan tentang legalisasi perkawinan sejenis dan tuduhan bahwa suara azan akan ditiadakan. Di tempat lain, ada tuduhan bahwa pelajaran agama di sekolah akan dihapus.

Pulihkan Harmoni

Pembuat kampanye hitam itu mencerminkan kebencian kelompoknya. Kelompok sebelah tidak senang karena pasangan yang diusungnya dituduh seperti itu. Maka itu, mereka pun mengekspresikan kebencian dengan ujaran-ujaran tak kalah sengitnya. Cukup jelas bahwa tingginya intensitas kampanye hitam itu telah membangun perangkap kebencian antarkelompok masyarakat. Indikasi meluasnya kebencian antarkelompok sudah terlihat dari saling ejek antara Kelompok Cebong melawan Kelompok Kampret di media sosial.

Sulit memprediksi kapan berakhirnya rivalitas Cebong versus Kampret karena kebencian itu dibangun dengan sentimen SARA. Tetapi, kecenderungan sekarang ini harus menjadi perhatian bersama, terutama para pemimpin politik dan pemimpinan agama. Selain perangkap kebencian antarkelompok, kampanye hitam bermuatan fitnah, ujaran kebencian, dan kebohongan hingga hoaks, justru mengarah pada tindakan atau upaya membodohi masyarakat.

Dinamika pemilu yang seharusnya menyenangkan dan damai akan menjadi tidak produktif, jika masyarakat tidak semakin cerdas dalam merumuskan sikap dan pilihan politiknya. Lebih dari itu, tahun elektoral 2019 akan meninggalkan aib jika masyarakat terperangkap dalam suasana kebencian antarkelompok yang berkepanjangan. Banyak kalangan sudah menunjukkan keprihatinan atas fakta mengenai perangkap kebencian antarkelompok itu.

Pemilu 2019 pada akhirnya harus menghadirkan seorang pemimpin nasional dan ratusan anggota DPR. Tetapi, nilai tambah dari hasil Pemilu 2019 mungkin tidak dirasakan maksimal, karena pemilu itu sendiri menyisakan benih persoalan terkait dengan struktur sosial dalam masyarakat. Tentu saja persoalan seperti itu harus dicari jalan keluarnya.

Suka tidak suka ketika nanti semua tahapan Pemilu 2019 sudah terlaksana, pemerintah, DPR, dan masyarakat akan sadar bahwa ada pekerjaan besar tak kalah strategisnya untuk diselesaikan. Pekerjaan itu adalah memulihkan harmoni di antara semua elemen masyarakat. Pemerintah, DPR, dan para tokoh masyarakat perlu duduk bersama merumuskan langkah-langkah terbaik mengeliminasi sentimen kebencian antarkelompok itu.

Langkah awal memulihkan harmoni hendaknya diinisiasi oleh para politisi, khususnya semua anggota tim pemenangan dari kedua kubu capres-cawapres. Bagaimanapun suasananya sekarang ini memang kurang ideal lagi. Karena itu, masing-masing tim pemenangan perlu lebih menahan diri. Semburan kampanye hitam di ruang publik harus dihentikan. Mengutamakan kegiatan kampanye yang simpatik dan mencerahkan merupakan langkah awal menghilangkan perangkap kebencian antarkelompok itu.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6254 seconds (0.1#10.140)