Aku Dilan dan Kamu Milea

Sabtu, 09 Maret 2019 - 08:00 WIB
Aku Dilan dan Kamu Milea
Aku Dilan dan Kamu Milea
A A A
Rio Christiawan

Kriminolog dan Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

“CITA-citamu apa sih?” tanya Dilan.

Milea menjawab, “Pilot, kalau kamu?”

“Menikah sama kamu,” jawab Dilan.

Mengawali artikel ini, itu adalah dialog pembuka pada film Dilan 1991 yang merupakan sekuel dari film Dilan 1990 yang kini mendapat animo yang besar dari masyarakat. Bahkan dalam beberapa hari pemutaran film Dilan 1991, penjualan tiketnya telah melampaui film box office Avengers: Invinity War garapan Hollywood. Tentu di balik kisah super-romantis yang tersaji da­lam film ter­sebut, perlu dipertimbang­kan bahwa animo yang besar tentu akan memiliki dampak multiplier, khususnya terkait dengan dampak imitatif pada penon­ton yang “seusia” Dilan dan Milea.

Film Dilan 1991 dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat karena sangat membumi, tidak ada kehidupan mewah, mobil sport, tidak ada kehidupan khas borjuasi yang dieksplorasi. Sebaliknya tidak ada kemiskinan ekstrem yang dieksplo­rasi sehingga masyarakat, terutama penonton “seusia” Dilan dan Milea, dapat larut dalam film tersebut dan dalam sekejap tokoh Dilan dan Milea menjadi trendsetter.

Selznick (1990) menjelaskan dalam perspektif sosiologi hukum, trendsetter dapat bermakna perubah­an yang lebih baik maupun sebaliknya dapat berdampak membawa per­ubah­­an yang lebih buruk pada tatan­an masyarakat. Dapat dipahami film Dilan 1991 berpotensi menjadi trend­setter masyarakat, terutama penon­ton “seusia” Dilan dan Milea, karena secara sosiologis terdapat kecende­rungan imitatif (meniru) tokoh baik yang diciptakan secara fiksi maupun nyata yang memiliki kehidupan yang hampir sama dan memiliki kisah inspiratif.

Perilaku imitatif yang dilakukan secara masif akan menjadi trendsetter dan menggeser tren yang lama. Larouche (2001) menjelaskan makna trendsetter adalah kecenderungan akan gaya hidup baru yang ter­inspirasi oleh objek lain yang dinilai menarik dan memiliki kesamaan. Lantas per­tanyaannya adalah bagai­mana jika sosok Dilan dan Milea yang menjadi tokoh sentral dalam film Dilan 1991 menjadi role model ?

Sah-sah saja jika sosok Dilan dan Milea menjadi role model. Dalam kon­teks sosiologi, perilaku imitatif yang membuat trendsetter baru selalu lahir dari role model berbasis situasi empiris (nyata) dari tokoh yang dijadikan mo­del (contoh) tersebut. Namun memang tidak dapat dimungkiri bahwa tidak semua perilaku Dilan dan Milea dapat dijadikan role model .

Peran Orang Tua

Melihat klasifikasi film Dilan 1991 yang berkategori 13+, artinya segmen penonton yang diizinkan adalah usia 13 tahun ke atas yang belum stabil kematangan emosinya. Maka diper­lukan bimbingan orang tua ketika para penonton “seusia” Dilan dan Milea tersebut menonton film Dilan 1991 . Peranan orang tua dalam hal ini sangat penting sehingga para penonton “seusia” Dilan dan Milea tersebut tidak melarutkan seluruh sosok Dilan dan Milea dalam ke­hidupan nyata. Jika seluruh Dilan dan Milea larut dalam kehidupan nyata dan terjelma dalam perilaku imitatif, hal itu dapat berpotensi menim­bul­kan dampak negatif.

Peran orang tua dalam hal ini adalah memberi pemahaman atas perilaku-perilaku yang harus di­kecuali­kan untuk diterapkan dalam kehidupan nyata. Wirawan (1995) menjelaskan bahwa peran orang tua adalah sebagai pihak yang menyem­purnakan proses imitatif tersebut sehingga bagian yang baik dapat di­serap dan bagian yang tidak baik dapat dikecualikan. Dalam hal ini orang tua harus memberi pema­haman perihal mengapa ada bagian yang dikecua­li­kan dan memastikan bagian yang dikecualikan tersebut tidak menjadi bagian dari model perilaku imitatif dalam kenyataan.

Tokoh Dilan pada film Dilan 1991 digambarkan sebagai tokoh maskulin dengan posisi panglima tempur geng motor yang kerap terlibat perkelahi­an. Tentu para penonton seusia ter­tarik dengan sisi maskulinitas Dilan. Namun peran orang tua sebagai pendamping misalnya memberi pemahaman bahwa maskulin tidak harus menjadi bagian dari geng motor yang terlibat perkelahian. Sebaliknya orang tua dapat memberi penekanan tentang makna maskulin, misalnya tidak pernah menyakiti wanita. Proses pengecualian-pengecualian tersebut diharapkan dapat menyem­purnakan perilaku imitatif pada penonton “seusia” Dilan dan Milea.

Peran orang tua mutlak diperlu­kan untuk mencegah perilaku imitatif yang berdampak negatif, misalnya pada sebuah dialog, “Milea jangan bilang ke aku ada yang menyakitimu, nanti besoknya orang itu akan hilang ....” Dalam hal ini peran orang tua harus memberi penegasan makna dialog tersebut menjadi tidak boleh ada wanita yang disakiti, bukan me­maknai dialog tersebut bahwa untuk membela wanita harus berkelahi atau menghilangkan orang yang menya­kiti­nya sehingga peran orang tua se­bagai pendamping adalah untuk me­reduksi dampak negatif dengan mem­beri pemahaman atas pengecualian pada proses imitatif.

Kita (Bukan) Dilan dan Milea

Charter and Goblin (1999) meng­uraikan bahwa salah satu syarat pe­nyempurnaan role model dalam peri­laku imitatif adalah adanya kesadaran bahwa antara role model dan subjek yang melakukan model imitatif adalah dua pribadi yang berbeda. Dalam hal ini memang banyak nilai yang positif dari Dilan dan Milea untuk dijadikan sebagai role model. Misalnya solida­ritas yang tinggi tanpa membedakan SARA sehingga memang tidak ada salahnya menjadikan tokoh Dilan dan Milea sebagai role model melalui perilaku imitatif meskipun tidak seutuhnya.

Dengan adanya kesadaran bahwa ada kehidupan role model (dalam hal ini tokoh Dilan dan Milea) yang tidak mungkin untuk diimitasi, dampak negatif atas perilaku imitasi Dilan dan Milea tidak akan terjadi semisal menjadi bagian dari geng motor dan terlibat perkelahian. Sebaliknya dapat dilakukan proses imitasi pada sisi positif dari tokoh Dilan dan Milea.

Sebaliknya tanpa kesadaran bahwa role model adalah pribadi yang berbeda, perilaku imitatif cenderung akan berupa replika utuh pada tokoh yang dalam hal ini dipandang sebagai role model. Replika utuh inilah yang harus dihindari pada model imitasi tokoh Dilan dan Milea. Jika terjadi replika utuh, misalnya, tokoh Dilan dapat dijadikan justifikasi (pem­benar­an) maupun faktor pendorong perkelahian antar geng motor.

Penonton dan masyarakat harus memiliki kesadaran bahwa pada dasarnya film Dilan 1991 merupakan sebuah film yang harus dinikmati sebagai hiburan saja. Demikian juga dengan pemerintah yang tentu me­miliki kewajiban untuk memajukan perfilman nasional, tetapi sebagai­mana dilakukan Pemprov Jawa Barat sebenarnya dalam hal ini tidak perlu untuk terlalu “baper”.

Sikap terlalu baper menyikapi film Dilan misalnya usulan menyiapkan Hari Dilan maupun monumen khusus Dilan. Hal-hal semacam ini akan me­nimbulkan dampak psikologis seolah-olah tokoh Dilan adalah bukan fiksi dan menjadi panutan sehingga men­dorong terjadinya replika utuh atas tokoh Dilan dan Milea dalam kehidup­an keseharian dalam dunia nyata. Meskipun menjadikan hal-hal positif yang ada dalam tokoh Dilan dan Milea sebagai bentuk perilaku imitatif adalah hal yang sah-sah saja.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0742 seconds (0.1#10.140)