Arah Pengembangan Industri Sawit Indonesia
A
A
A
Joko Supriyono
Ketua Umum GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia)
KETIKA harga minyak sawit mentah (CPO) di pasar internasional menyentuh hanya USD 480/ton (CIF Rotterdam) pada November 2018 dan harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani menyentuh Rp800/kg, bahkan di tingkat petani swadaya hanya Rp 600/kg, semua pihak komplain. Bahkan, ada petani kelapa sawit di Aceh menggelar demonstrasi menuntut harga TBS dinaikkan.
Naik turunnya harga CPO adalah salah satu aspek dalam dinamika industri sawit dan perdagangan komoditas. Fluktuasi harga komoditas adalah hal wajar. Apalagi sejak empat dekade lalu, harga komoditas sawit sudah biasa naik turun. Seharusnya kita mampu mengelola fluktuasi harga itu sehingga pelaku usaha dan petani tetap untung dalam situasi harga seperti apapun.
Indonesia sudah menanam dan berusaha bidang perkelapasawitan lebih dari satu abad (persisnya sejak 1911). Dengan demikian, ilmu menanam, mengolah (industri), dan berdagang sawit, seharusnya sudah menjadi keahlian bangsa Indonesia. Namun, kenyataannya tidak demikian. Kita bersyukur industri sawit Indonesia tidak gulung tikar atau mengalami kemunduran, seperti beberapa komoditas Indonesia yang lain, yakni rempah-rempah, cengkih, teh, dan gula.
Bahkan, kita lagi-lagi bersyukur bahwa industri sawit menyumbang perolehan devisa cukup signifikan, menjadi tempat bekerja bagi 17 juta pekerja dan petani, serta berkontribusi membangun ekonomi daerah terpencil. Namun nyatanya, kita masih risau dan waswas ketika harga jatuh serta timbul rasa khawatir kalau produk sawit Indonesia ditolak di negara atau kawasan tertentu (misal Eropa dan Amerika Serikat).
Di sinilah pentingnya Indonesia memiliki cetak biru pengembangan industri yang jelas dan dipedomani. Dengan luas areal tertanam 14 juta ha yang terdiri dari 8,4 juta areal perusahaan dan 5,6 juta areal petani (Ditjenbun, 2018), Indonesia memproduksi 45 juta ton CPO. Dari jumlah tersebut, 10 juta ton dikonsumsi secara domestik (30%) dan 31 juta ton (70%) dijual ke pasar ekspor (Gapki, 2018).
Tinggal Landas dan Berdaulat
Menghadapi tren tantangan di pasar global yang makin berat khususnya kampanye anti-sawit di Eropa dan Amerika Serikat, Pemerintah Indonesia mengeluarkan berbagai produk regulasi, baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah, perpres, permen, inpres, dan lainnya.
Apakah berbagai produk regulasi tersebut efektif menjawab berbagai tantangan dan menjadi pijakan bagi industri sawit untuk tinggal landas dan berdaulat? Jika kita menarik benang merah berbagai produk regulasi yang ada, maka arah pengembangan industri sawit Indonesia ke depan akan ditekankan pada beberapa aspek sebagai berikut.
Pertama, pengembangan industri sawit ke depan tidak menekankan pada ekspansi lahan, tapi difokuskan pada intensifikasi guna mencapai peningkatan produktivitas tanaman yang optimal, khususnya kebun sawit milik petani, yang saat ini produktivitasnya hanya 12 ton TBS/hektare per tahun atau setara 2,1 ton CPO/hektare per tahun. Padahal perusahaan besar yang menjadi benchmark mampu mencapai minimal 30 ton TBS/hektare per tahun atau setara 7 ton CPO/hektare per tahun.
Cara paling tepat adalah melakukan peremajaan tanaman tua dan mengganti dengan tanaman baru dari bibit unggul yang memiliki produktivitas 7 ton CPO/ hektare per tahun. Pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) memberikan hibah Rp25 juta per hektare untuk mempercepat peremajaan kebun petani yang ditargetkan 185.000 hektare per tahun.
Dikhawatirkan hal ini sulit dicapai karena dana Rp25 juta per hektare jauh dari cukup untuk membangun kebun yang baik. Dibutuhkan dana pendamping bagi petani untuk membangun dan merawat kebun sampai kebunnya menghasilkan pada tahun keempat. Pemerintah telah mengeluarkan KUR untuk peremajaan. Namun, nyatanya serapan KUR masih jauh dari harapan. Tidak mudah bagi petani untuk bisa mendapatkan pembiayaan dari bank.
Kedua, pengembangan industri hilir adalah keniscayaan. Ini bertujuan untuk semaksimal mungkin rantai nilai industri sawit dikuasai dan dikembangkan di dalam negeri. Riset memegang peranan penting di sini, karena pengembangan produk hilir harus mampu menjawab tuntutan konsumen dan pasar. Salah satu produk hilir yang penting dan sedang dikembangkan adalah biodiesel. Biodiesel saat ini mampu menggantikan peranan solar sebanyak 20%.
Dalam konteks Indonesia, biodiesel menjadi penting dan sesuai kebutuhan pasar. Penting karena Indonesia tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak sebab produksi terus menurun sehingga memerlukan BBM berasal dari impor. Karena kebutuhan BBM terus naik setiap tahun (tahun 2025 : 60 juta kiloliter), jelas impor sepenuhnya tidak sehat bagi neraca perdagangan Indonesia.
Riset perlu terus dikembangkan untuk memperluas pemanfaatan minyak sawit sebagai bahan bakar, misalnya 100% sawit (green diesel), bioavtur, bahkan gasoline (campuran bensin). Riset juga sudah dikembangkan untuk menjadikan minyak sawit CPO dibakar langsung dalam genset pembangkit listrik. Pemerintah perlu memperkuat riset ini dengan target pemanfaatan minyak sawit sebagai bahan bakar minyak dalam 10 tahun mendatang menjadi 25 juta KL dibandingkan dengan penggunaan saat ini sebesar 3,8 juta kiloliter (Aprobi, 2018).
Ketiga, penguatan penguasaan pasar ekspor. Saat ini Indonesia menguasai 54% pangsa pasar minyak sawit global dan menguasai pangsa pasar ekspor minyak nabati global sebesar 31%. Hal ini disebabkan 73% dari produk sawit Indonesia dijual ke pasar ekspor. Pada 2025 yang akan datang produksi Indonesia diperkirakan akan mencapai 60 juta ton dengan ekspor sekitar 30 juta ton. Artinya, pasar ekspor tetap penting bagi Indonesia.
Tidak saja karena hasil devisa yang besar, yakni USD 22,97 miliar (BPS, 2017), tetapi karena memang Indonesia akan terus mengalami surplus produksi. Dengan berbagai hambatan dalam perdagangan, baik tarif maupun nontarif, Indonesia justru harus memperkuat politik perdagangannya. Strategi nasional perdagangan perlu dibuat untuk menyusun prioritas kawasan/negara tujuan ekspor yang harus dipertahankan/dikembangkan.
Perlu strategi karena bentuk hambatan yang berbeda-beda di tingkat kawasan ataupun negara. Hambatan perdagangan muncul biasanya berkaitan dengan kepentingan negara tersebut. Sebagai contoh, Eropa sebagai produsen rapeseed dan bunga matahari akan mempertahankan eksistensi komoditas tersebut dengan cara mengampanyekan kejelekan minyak sawit serta membuat hambatan melalui regulasi. Indonesia perlu memperkuat perdagangan minyak sawit melalui diplomasi, negosiasi, dan retaliasi.
Keempat, penerapan sistem produksi minyak sawit yang berkelanjutan (sustainable palm oil). Terlepas dari berbagai tuduhan dan kampanye negatif yang melecehkan Indonesia, kita tetap harus konsisten menunjukkan pada dunia bahwa industri sawit Indonesia adalah berkelanjutan atau berproses menuju keberlanjutan. Pihak luar menuduh Indonesia tidak sustainable hanya karena definisi sustainability berbeda-beda.
Indonesia tidak perlu berkecil hati karena skema keberlanjutan ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) dianggap tidak kredibel dan tidak diakui. Dengan pencapaian sertifikasi sebanyak 457 (perusahaan dan kebun rakyat) sampai 2018 ini adalah capaian yang baik, walaupun target 100% sertifikasi tentu tidak sepi dari kendala. Tidak ada di negara manapun, minyak nabati manapun yang mempunyai demikian banyak sertifikat keberlanjutan.
Saya meyakini bahwa tidak ada standar sustainability bersifat global. Hal yang ada adalah standar negara tertentu atau pasar tertentu. Dengan semakin, banyak perkebunan kelapa sawit memperoleh sertifikat ISPO seharusnya menjadi alat diplomasi dan negosiasi perdagangan.
Keempat arah pengembangan industri sawit nasional tersebut perlu dikelola. Karena membuat regulasi saja tidak cukup, apalagi ketika berbagai regulasi tadi ada tersebar di berbagai kementerian/lembaga. Tidak bisa dimungkiri masih adanya ego sektoral demi mempertahankan kepentingan masing-masing dengan dalih kinerja. Dibutuhkan dirigen untuk menyatukan tujuan dan mengharmoniskan irama sehingga menjadi konser yang enak ditonton dan didengar.
Mungkin diperlukan semacam badan yang secara khusus mengelola kebijakan, membuat peta jalan, menjabarkan program, dan mengevaluasi capaian sehingga regulasi tadi menjadi enabler. Targetnya adalah meningkatkan daya saing industri sawit Indonesia sehingga memimpin di pasar global dan berdaulat di negeri sendiri. Dengan demikian, ketika harga CPO di pasar dunia turun, pelaku usaha dan petani tidak waswas lagi, karena sawit Indonesia makin kompetitif dan pemerintah sudah memiliki mekanisme mengendalikan pasar domestik.
Ketua Umum GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia)
KETIKA harga minyak sawit mentah (CPO) di pasar internasional menyentuh hanya USD 480/ton (CIF Rotterdam) pada November 2018 dan harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani menyentuh Rp800/kg, bahkan di tingkat petani swadaya hanya Rp 600/kg, semua pihak komplain. Bahkan, ada petani kelapa sawit di Aceh menggelar demonstrasi menuntut harga TBS dinaikkan.
Naik turunnya harga CPO adalah salah satu aspek dalam dinamika industri sawit dan perdagangan komoditas. Fluktuasi harga komoditas adalah hal wajar. Apalagi sejak empat dekade lalu, harga komoditas sawit sudah biasa naik turun. Seharusnya kita mampu mengelola fluktuasi harga itu sehingga pelaku usaha dan petani tetap untung dalam situasi harga seperti apapun.
Indonesia sudah menanam dan berusaha bidang perkelapasawitan lebih dari satu abad (persisnya sejak 1911). Dengan demikian, ilmu menanam, mengolah (industri), dan berdagang sawit, seharusnya sudah menjadi keahlian bangsa Indonesia. Namun, kenyataannya tidak demikian. Kita bersyukur industri sawit Indonesia tidak gulung tikar atau mengalami kemunduran, seperti beberapa komoditas Indonesia yang lain, yakni rempah-rempah, cengkih, teh, dan gula.
Bahkan, kita lagi-lagi bersyukur bahwa industri sawit menyumbang perolehan devisa cukup signifikan, menjadi tempat bekerja bagi 17 juta pekerja dan petani, serta berkontribusi membangun ekonomi daerah terpencil. Namun nyatanya, kita masih risau dan waswas ketika harga jatuh serta timbul rasa khawatir kalau produk sawit Indonesia ditolak di negara atau kawasan tertentu (misal Eropa dan Amerika Serikat).
Di sinilah pentingnya Indonesia memiliki cetak biru pengembangan industri yang jelas dan dipedomani. Dengan luas areal tertanam 14 juta ha yang terdiri dari 8,4 juta areal perusahaan dan 5,6 juta areal petani (Ditjenbun, 2018), Indonesia memproduksi 45 juta ton CPO. Dari jumlah tersebut, 10 juta ton dikonsumsi secara domestik (30%) dan 31 juta ton (70%) dijual ke pasar ekspor (Gapki, 2018).
Tinggal Landas dan Berdaulat
Menghadapi tren tantangan di pasar global yang makin berat khususnya kampanye anti-sawit di Eropa dan Amerika Serikat, Pemerintah Indonesia mengeluarkan berbagai produk regulasi, baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah, perpres, permen, inpres, dan lainnya.
Apakah berbagai produk regulasi tersebut efektif menjawab berbagai tantangan dan menjadi pijakan bagi industri sawit untuk tinggal landas dan berdaulat? Jika kita menarik benang merah berbagai produk regulasi yang ada, maka arah pengembangan industri sawit Indonesia ke depan akan ditekankan pada beberapa aspek sebagai berikut.
Pertama, pengembangan industri sawit ke depan tidak menekankan pada ekspansi lahan, tapi difokuskan pada intensifikasi guna mencapai peningkatan produktivitas tanaman yang optimal, khususnya kebun sawit milik petani, yang saat ini produktivitasnya hanya 12 ton TBS/hektare per tahun atau setara 2,1 ton CPO/hektare per tahun. Padahal perusahaan besar yang menjadi benchmark mampu mencapai minimal 30 ton TBS/hektare per tahun atau setara 7 ton CPO/hektare per tahun.
Cara paling tepat adalah melakukan peremajaan tanaman tua dan mengganti dengan tanaman baru dari bibit unggul yang memiliki produktivitas 7 ton CPO/ hektare per tahun. Pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) memberikan hibah Rp25 juta per hektare untuk mempercepat peremajaan kebun petani yang ditargetkan 185.000 hektare per tahun.
Dikhawatirkan hal ini sulit dicapai karena dana Rp25 juta per hektare jauh dari cukup untuk membangun kebun yang baik. Dibutuhkan dana pendamping bagi petani untuk membangun dan merawat kebun sampai kebunnya menghasilkan pada tahun keempat. Pemerintah telah mengeluarkan KUR untuk peremajaan. Namun, nyatanya serapan KUR masih jauh dari harapan. Tidak mudah bagi petani untuk bisa mendapatkan pembiayaan dari bank.
Kedua, pengembangan industri hilir adalah keniscayaan. Ini bertujuan untuk semaksimal mungkin rantai nilai industri sawit dikuasai dan dikembangkan di dalam negeri. Riset memegang peranan penting di sini, karena pengembangan produk hilir harus mampu menjawab tuntutan konsumen dan pasar. Salah satu produk hilir yang penting dan sedang dikembangkan adalah biodiesel. Biodiesel saat ini mampu menggantikan peranan solar sebanyak 20%.
Dalam konteks Indonesia, biodiesel menjadi penting dan sesuai kebutuhan pasar. Penting karena Indonesia tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak sebab produksi terus menurun sehingga memerlukan BBM berasal dari impor. Karena kebutuhan BBM terus naik setiap tahun (tahun 2025 : 60 juta kiloliter), jelas impor sepenuhnya tidak sehat bagi neraca perdagangan Indonesia.
Riset perlu terus dikembangkan untuk memperluas pemanfaatan minyak sawit sebagai bahan bakar, misalnya 100% sawit (green diesel), bioavtur, bahkan gasoline (campuran bensin). Riset juga sudah dikembangkan untuk menjadikan minyak sawit CPO dibakar langsung dalam genset pembangkit listrik. Pemerintah perlu memperkuat riset ini dengan target pemanfaatan minyak sawit sebagai bahan bakar minyak dalam 10 tahun mendatang menjadi 25 juta KL dibandingkan dengan penggunaan saat ini sebesar 3,8 juta kiloliter (Aprobi, 2018).
Ketiga, penguatan penguasaan pasar ekspor. Saat ini Indonesia menguasai 54% pangsa pasar minyak sawit global dan menguasai pangsa pasar ekspor minyak nabati global sebesar 31%. Hal ini disebabkan 73% dari produk sawit Indonesia dijual ke pasar ekspor. Pada 2025 yang akan datang produksi Indonesia diperkirakan akan mencapai 60 juta ton dengan ekspor sekitar 30 juta ton. Artinya, pasar ekspor tetap penting bagi Indonesia.
Tidak saja karena hasil devisa yang besar, yakni USD 22,97 miliar (BPS, 2017), tetapi karena memang Indonesia akan terus mengalami surplus produksi. Dengan berbagai hambatan dalam perdagangan, baik tarif maupun nontarif, Indonesia justru harus memperkuat politik perdagangannya. Strategi nasional perdagangan perlu dibuat untuk menyusun prioritas kawasan/negara tujuan ekspor yang harus dipertahankan/dikembangkan.
Perlu strategi karena bentuk hambatan yang berbeda-beda di tingkat kawasan ataupun negara. Hambatan perdagangan muncul biasanya berkaitan dengan kepentingan negara tersebut. Sebagai contoh, Eropa sebagai produsen rapeseed dan bunga matahari akan mempertahankan eksistensi komoditas tersebut dengan cara mengampanyekan kejelekan minyak sawit serta membuat hambatan melalui regulasi. Indonesia perlu memperkuat perdagangan minyak sawit melalui diplomasi, negosiasi, dan retaliasi.
Keempat, penerapan sistem produksi minyak sawit yang berkelanjutan (sustainable palm oil). Terlepas dari berbagai tuduhan dan kampanye negatif yang melecehkan Indonesia, kita tetap harus konsisten menunjukkan pada dunia bahwa industri sawit Indonesia adalah berkelanjutan atau berproses menuju keberlanjutan. Pihak luar menuduh Indonesia tidak sustainable hanya karena definisi sustainability berbeda-beda.
Indonesia tidak perlu berkecil hati karena skema keberlanjutan ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) dianggap tidak kredibel dan tidak diakui. Dengan pencapaian sertifikasi sebanyak 457 (perusahaan dan kebun rakyat) sampai 2018 ini adalah capaian yang baik, walaupun target 100% sertifikasi tentu tidak sepi dari kendala. Tidak ada di negara manapun, minyak nabati manapun yang mempunyai demikian banyak sertifikat keberlanjutan.
Saya meyakini bahwa tidak ada standar sustainability bersifat global. Hal yang ada adalah standar negara tertentu atau pasar tertentu. Dengan semakin, banyak perkebunan kelapa sawit memperoleh sertifikat ISPO seharusnya menjadi alat diplomasi dan negosiasi perdagangan.
Keempat arah pengembangan industri sawit nasional tersebut perlu dikelola. Karena membuat regulasi saja tidak cukup, apalagi ketika berbagai regulasi tadi ada tersebar di berbagai kementerian/lembaga. Tidak bisa dimungkiri masih adanya ego sektoral demi mempertahankan kepentingan masing-masing dengan dalih kinerja. Dibutuhkan dirigen untuk menyatukan tujuan dan mengharmoniskan irama sehingga menjadi konser yang enak ditonton dan didengar.
Mungkin diperlukan semacam badan yang secara khusus mengelola kebijakan, membuat peta jalan, menjabarkan program, dan mengevaluasi capaian sehingga regulasi tadi menjadi enabler. Targetnya adalah meningkatkan daya saing industri sawit Indonesia sehingga memimpin di pasar global dan berdaulat di negeri sendiri. Dengan demikian, ketika harga CPO di pasar dunia turun, pelaku usaha dan petani tidak waswas lagi, karena sawit Indonesia makin kompetitif dan pemerintah sudah memiliki mekanisme mengendalikan pasar domestik.
(thm)