Kualitas Demokrasi Kita
A
A
A
Rheza FirmasnyahPeneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
PEMILU serentak yang akan dilaksanakan pada 17 April 2019 bisa jadi merupakan paling rumit di dunia. Hal ini karena Indonesia menggabungkan langsung pelaksanaan pemilihan legislatif (DPR, DPD, dan DPRD provinsi, kabupaten/kota) dan pemilihan presiden beserta wakil presiden (pilpres). Pelaksanaan pemilu serentak ini mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013. Melalui pemilu serentak nasional ada upaya memperkuat hubungan legislatif dengan eksekutif dalam kerangka mekanisme cheks and balances yang dikehendaki konstitusi. Harapannya akan tercipta pemerintahan lebih stabil dan efektif dalam konteks sistem pemerintahan presidensial yang telah dikonsepkan dalam UUD NRI 1945.
Namun, hal itu tidak bisa lepas dari sisi gelap demokrasi. Seorang pengamat perkembangan politik Indonesia, Olle Tornguist, meramalkan akan datangnya hantu (kaum jahat) demokrasi. Dalam bentuk ini demokrasi hanya terjadi secara formal dan minus substansi. Rakyat tidak pernah secara nyata menjadi pemegang penuh kedaulatan negara yang bersifat strategis dan hanya dikuasai segelintir elite dan oligarki yang berkuasa. Akibatnya partisipasi rakyat terhadap demokrasi yang berjalan cenderung rendah. Bukan hanya itu, minusnya kualitas pejabat publik juga berbanding lurus dengan maraknya money politics yang mengarah pada munculnya transaksi material. Hasil penelitian (Firman Noor: 2014) menunjukkan bahwa saat ini masyarakat cenderung tidak tabu lagi mengaitkan kemampuan seorang politisi yang memberikan hasil dengan kelayakan untuk dipilih. Dalam pandangan masyarakat, saat ini yang terpenting para politisi bisa memberi sesuatu (entah barang ataupun uang) tanpa peduli apa partainya dan apa benderanya.
Sementara itu, pengamat politik Eep Saefulloh Fatah mengatakan, Indonesia saat ini terancam hanya bisa membangun model demokrasi pencari rente, karena praktik berdemokrasi baru menghasilkan kepentingan elitis yang memperjuangkan kepentingan kelompok elite dan oligarki saja (Eep Saefulloh Fatah: 2014). Implikasinya adalah kebijakan yang dihasilkan kerap kali berseberangan dengan kepentingan masyarakat pada umumnya, menghasilkan parpol yang mengambang, minim akan gagasan, kemudian berlanjut pada representasi membangun lembaga perwakilan rakyat yang terpisah dengan rakyat. Dari lembaga perwakilan berlanjut pada pembentukan pemerintahan cenderung tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan lembaga peradilan tidak peka terhadap rasa keadilan masyarakat.
Kondisi inilah sekarang sedang kita alami bersama. Pada akhirnya, masyarakat Indonesia lebih percaya terhadap paparan para ahli atau para ilmuwan terkemuka, baik itu dalam bidang hukum maupun politik, dibandingkan dengan para politisi ulung. Jika dibandingkan dengan negara Jerman yang demokrasinya sudah mapan, masyarakat lebih justru senang membaca, menyimak, dan mendengarkan pendapat, yang disampaikan para politisi di media dibandingkan dengan para pakar dan intelektual. Alasannya sederhana, dalam pemilihan umum, kehidupan politik selalu dilihat berdasarkan pada proporsi pemilu dari sudut kompetisi antarparpol. Kompetisi tersebut tidak kalah serunya dengan kompetisi sepak bola. Dalam pemilu di Jerman, pendapat ilmuwan seperti Lyotard dan Jurgen Habermas dianggap tidak relevan dan tidak menarik sama sekali. Hal ini terjadi karena popularitas dan kemampuan dari para calon di Jerman dinilai lebih andal dari para ilmuwan tersebut. Selain itu, para kandidat tersebut juga merupakan seorang negarawan. Tidak hany itu, masyarakat pun berkembang dari segi rasional materi.
Kewajiban Memenuhi Janji Politik
Pada akhirnya kondisi demokrasi kita hari ini mengarah pada model demokrasi delegasi (delegative democracy ), bukan demokrasi perwakilan (representative democracy ). Dalam pemaknaan representative democracy , para politisi mendegar suara rakyat dan bekerja untuk memenuhi kepentingan rakyatnya. Sedangkan dalam pemaknaan delegative democracy, rakyat diibaratkan sebagai suara anjing yang menggonggong, sementara para politisi adalah kafilah yang terus berjalan. Dalam mewujudkan democracy representative tidak ada jalan lain kecuali memaksa para kontestan merealisasikan janji- janji politik pada saat kampanye.
Pemilu bisa dikatakan sebagai kontrak sosial, satu pihak menjamin hak dan satu pihak lain menuntut terlaksananya suatu kewajiban. Hak untuk memilih adalah berdaulat menentukan pilihan yang dioperasikan melalui kebebasan menentukan pilihannya, baik memilih siapa pun atau tidak memilih siapa pun, dan merahasiakannya. Selain itu, adanya kewajiban peserta pemilu mempertanggungjawabkan segala upayanya dalam mendapatkan suara pemilih/konstituen. Lebih dari itu, para peserta pemilu yang berhasil menduduki kursi jabatan berkewajiban mempertanggungjawabkan janjinya ketika terpilih.
Salah satu langkah bisa diambil adalah memformulasikan janji politik ke dalam bentuk akta (naskah hukum) yang ditandatangani Komisi Pemilihan Umum (KPU) beserta para calon di hadapan notaris. Dengan begitu, hal tersebut dapat menimbulkan implikasi hukum bila seorang kontestan pemilu ketika terpilih tidak bisa merealisasikan janjinya.
Dalam perspektif hukum tata negara, ingkar janji (wanprestasi) dalam politik bisa bermakna recall untuk anggota dewan dan impeachment untuk presiden. Sudah saatnya peraturan perundang-undangan di Indonesia ini mengatur prosedur pemberian mandat rakyat terhadap wakilnya melalui pemilu, tetapi juga harus menyediakan mekanisme bagi rakyat untuk mencabut mandat tersebut jika terbukti para wakilnya ingkar janji (wanprestasi).
Melibatkan Rakyat dalam Recall-Impeachment
Pasal 239 Undang-Undang Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) mengatur mekanisme recall . Namun, dalam pengaturan ini perlu ada catatan, rakyat sebagai pemilik kedaulatan sudah seharusnya dilibatkan dalam proses recall sebagai salah satu instrumen kontrol bagi anggota dewan. Hanya saja, recall yang dilakukan justru melalui mekanisme parpol. Padahal secara esensi dimaksud dengan recall adalah hak rakyat/konstituen (bukan parpol) untuk melengserkan wakil rakyat sebelum masa jabatannya berakhir.
Begitu halnya dengan impeachment bagi presiden dan wakil presiden yang hanya bisa dilakukan oleh MPR dan DPR saja. Rakyat sama sekali tidak mendapatkan ruang untuk itu. Padahal jika ditelaah mendalam pascaperubahan UUD 1945, presiden tidak lagi bertanggung jawab terhadap parlemen (MPR), tetapi langsung bertanggung jawab kepada rakyat. Namun anehnya, saat ini rakyat sama sekali tidak memiliki alat untuk meminta pertanggungjawaban dari presiden. Pengingkaran janji (wanprestasi) tidak bisa dijadikan alasan untuk dilakukan impeachment . Berkaca dari hal ini dapat dibandingkan dengan apa yang terjadi di Amerika. Di negara Paman Sam itu istilah recall election dipakai menyatakan hak rakyat pemilih (konstituen) untuk melengserkan wakil rakyat sebelum masa jabatannya berakhir.
Prosedurnya dimulai dari inisiatif rakyat pemilih yang mengajukan petisi kepada para anggota Badan Perwakilan. Bila Badan Perwakilan Rakyat menyetujui petisi kepada para (konstituen), maka diadakan pemungutan suara yang akan menentukan apakah wakil rakyat terkait lengser atau tetap di jabatannya. Recall adalah hak konstituen, bukan hak dari wakil rakyat atau partai (RM AB Kusuma: 2012). Begitu pun mekanisme ini juga bisa diterapkan dalam proses impeachment presiden dan wakil presiden.
Demokrasi Ideal
Dalam uraian singkat ini sudah saatnya kita melihat realitas akan kualitas demokrasi kita. Kita harus senantiasa menumbuhkan optimisme dalam diri bahwa demokrasi ini adalah bagian warisan dari budaya luhur pada pendiri bangsa ini (founding father ) sehingga sudah seharusnya kita merawatnya. Ibarat kata, kita saat ini sedang mencari sebuah harta karun, yaitu demokrasi yang ideal. Dalam pencarian harta karun tersebut, kita terus menggali tanah, tanah galian itulah yang bisa menjadikan tanah menjadi gembur dan subur. Tanah yang gembur dan subur itulah makna dari demokratisasi senantiasa kita wujudkan bersama, baik sadar maupun tidak sadar. Bangsa ini sedang mencari sebuah demokrasi ideal yang itu sulit ditemukan. Sebagaimana dikatakan Dhaniel Dhakidae bahwa semua yang kita kerjakan selama ini adalah untuk mencari sesuatu yang tidak bisa ditemukan, yaitu demokrasi. Akan tetapi, siapa tahu tindakan mencari itulah, membangun partai, memilih, mendidik para pemilih, membedakan mana politisi bagus dan mana politisi busuk, menjadi tujuan dalam dirinya sendiri, serta sambil menyuburkan ladang demokrasi tersebut.
PEMILU serentak yang akan dilaksanakan pada 17 April 2019 bisa jadi merupakan paling rumit di dunia. Hal ini karena Indonesia menggabungkan langsung pelaksanaan pemilihan legislatif (DPR, DPD, dan DPRD provinsi, kabupaten/kota) dan pemilihan presiden beserta wakil presiden (pilpres). Pelaksanaan pemilu serentak ini mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013. Melalui pemilu serentak nasional ada upaya memperkuat hubungan legislatif dengan eksekutif dalam kerangka mekanisme cheks and balances yang dikehendaki konstitusi. Harapannya akan tercipta pemerintahan lebih stabil dan efektif dalam konteks sistem pemerintahan presidensial yang telah dikonsepkan dalam UUD NRI 1945.
Namun, hal itu tidak bisa lepas dari sisi gelap demokrasi. Seorang pengamat perkembangan politik Indonesia, Olle Tornguist, meramalkan akan datangnya hantu (kaum jahat) demokrasi. Dalam bentuk ini demokrasi hanya terjadi secara formal dan minus substansi. Rakyat tidak pernah secara nyata menjadi pemegang penuh kedaulatan negara yang bersifat strategis dan hanya dikuasai segelintir elite dan oligarki yang berkuasa. Akibatnya partisipasi rakyat terhadap demokrasi yang berjalan cenderung rendah. Bukan hanya itu, minusnya kualitas pejabat publik juga berbanding lurus dengan maraknya money politics yang mengarah pada munculnya transaksi material. Hasil penelitian (Firman Noor: 2014) menunjukkan bahwa saat ini masyarakat cenderung tidak tabu lagi mengaitkan kemampuan seorang politisi yang memberikan hasil dengan kelayakan untuk dipilih. Dalam pandangan masyarakat, saat ini yang terpenting para politisi bisa memberi sesuatu (entah barang ataupun uang) tanpa peduli apa partainya dan apa benderanya.
Sementara itu, pengamat politik Eep Saefulloh Fatah mengatakan, Indonesia saat ini terancam hanya bisa membangun model demokrasi pencari rente, karena praktik berdemokrasi baru menghasilkan kepentingan elitis yang memperjuangkan kepentingan kelompok elite dan oligarki saja (Eep Saefulloh Fatah: 2014). Implikasinya adalah kebijakan yang dihasilkan kerap kali berseberangan dengan kepentingan masyarakat pada umumnya, menghasilkan parpol yang mengambang, minim akan gagasan, kemudian berlanjut pada representasi membangun lembaga perwakilan rakyat yang terpisah dengan rakyat. Dari lembaga perwakilan berlanjut pada pembentukan pemerintahan cenderung tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan lembaga peradilan tidak peka terhadap rasa keadilan masyarakat.
Kondisi inilah sekarang sedang kita alami bersama. Pada akhirnya, masyarakat Indonesia lebih percaya terhadap paparan para ahli atau para ilmuwan terkemuka, baik itu dalam bidang hukum maupun politik, dibandingkan dengan para politisi ulung. Jika dibandingkan dengan negara Jerman yang demokrasinya sudah mapan, masyarakat lebih justru senang membaca, menyimak, dan mendengarkan pendapat, yang disampaikan para politisi di media dibandingkan dengan para pakar dan intelektual. Alasannya sederhana, dalam pemilihan umum, kehidupan politik selalu dilihat berdasarkan pada proporsi pemilu dari sudut kompetisi antarparpol. Kompetisi tersebut tidak kalah serunya dengan kompetisi sepak bola. Dalam pemilu di Jerman, pendapat ilmuwan seperti Lyotard dan Jurgen Habermas dianggap tidak relevan dan tidak menarik sama sekali. Hal ini terjadi karena popularitas dan kemampuan dari para calon di Jerman dinilai lebih andal dari para ilmuwan tersebut. Selain itu, para kandidat tersebut juga merupakan seorang negarawan. Tidak hany itu, masyarakat pun berkembang dari segi rasional materi.
Kewajiban Memenuhi Janji Politik
Pada akhirnya kondisi demokrasi kita hari ini mengarah pada model demokrasi delegasi (delegative democracy ), bukan demokrasi perwakilan (representative democracy ). Dalam pemaknaan representative democracy , para politisi mendegar suara rakyat dan bekerja untuk memenuhi kepentingan rakyatnya. Sedangkan dalam pemaknaan delegative democracy, rakyat diibaratkan sebagai suara anjing yang menggonggong, sementara para politisi adalah kafilah yang terus berjalan. Dalam mewujudkan democracy representative tidak ada jalan lain kecuali memaksa para kontestan merealisasikan janji- janji politik pada saat kampanye.
Pemilu bisa dikatakan sebagai kontrak sosial, satu pihak menjamin hak dan satu pihak lain menuntut terlaksananya suatu kewajiban. Hak untuk memilih adalah berdaulat menentukan pilihan yang dioperasikan melalui kebebasan menentukan pilihannya, baik memilih siapa pun atau tidak memilih siapa pun, dan merahasiakannya. Selain itu, adanya kewajiban peserta pemilu mempertanggungjawabkan segala upayanya dalam mendapatkan suara pemilih/konstituen. Lebih dari itu, para peserta pemilu yang berhasil menduduki kursi jabatan berkewajiban mempertanggungjawabkan janjinya ketika terpilih.
Salah satu langkah bisa diambil adalah memformulasikan janji politik ke dalam bentuk akta (naskah hukum) yang ditandatangani Komisi Pemilihan Umum (KPU) beserta para calon di hadapan notaris. Dengan begitu, hal tersebut dapat menimbulkan implikasi hukum bila seorang kontestan pemilu ketika terpilih tidak bisa merealisasikan janjinya.
Dalam perspektif hukum tata negara, ingkar janji (wanprestasi) dalam politik bisa bermakna recall untuk anggota dewan dan impeachment untuk presiden. Sudah saatnya peraturan perundang-undangan di Indonesia ini mengatur prosedur pemberian mandat rakyat terhadap wakilnya melalui pemilu, tetapi juga harus menyediakan mekanisme bagi rakyat untuk mencabut mandat tersebut jika terbukti para wakilnya ingkar janji (wanprestasi).
Melibatkan Rakyat dalam Recall-Impeachment
Pasal 239 Undang-Undang Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) mengatur mekanisme recall . Namun, dalam pengaturan ini perlu ada catatan, rakyat sebagai pemilik kedaulatan sudah seharusnya dilibatkan dalam proses recall sebagai salah satu instrumen kontrol bagi anggota dewan. Hanya saja, recall yang dilakukan justru melalui mekanisme parpol. Padahal secara esensi dimaksud dengan recall adalah hak rakyat/konstituen (bukan parpol) untuk melengserkan wakil rakyat sebelum masa jabatannya berakhir.
Begitu halnya dengan impeachment bagi presiden dan wakil presiden yang hanya bisa dilakukan oleh MPR dan DPR saja. Rakyat sama sekali tidak mendapatkan ruang untuk itu. Padahal jika ditelaah mendalam pascaperubahan UUD 1945, presiden tidak lagi bertanggung jawab terhadap parlemen (MPR), tetapi langsung bertanggung jawab kepada rakyat. Namun anehnya, saat ini rakyat sama sekali tidak memiliki alat untuk meminta pertanggungjawaban dari presiden. Pengingkaran janji (wanprestasi) tidak bisa dijadikan alasan untuk dilakukan impeachment . Berkaca dari hal ini dapat dibandingkan dengan apa yang terjadi di Amerika. Di negara Paman Sam itu istilah recall election dipakai menyatakan hak rakyat pemilih (konstituen) untuk melengserkan wakil rakyat sebelum masa jabatannya berakhir.
Prosedurnya dimulai dari inisiatif rakyat pemilih yang mengajukan petisi kepada para anggota Badan Perwakilan. Bila Badan Perwakilan Rakyat menyetujui petisi kepada para (konstituen), maka diadakan pemungutan suara yang akan menentukan apakah wakil rakyat terkait lengser atau tetap di jabatannya. Recall adalah hak konstituen, bukan hak dari wakil rakyat atau partai (RM AB Kusuma: 2012). Begitu pun mekanisme ini juga bisa diterapkan dalam proses impeachment presiden dan wakil presiden.
Demokrasi Ideal
Dalam uraian singkat ini sudah saatnya kita melihat realitas akan kualitas demokrasi kita. Kita harus senantiasa menumbuhkan optimisme dalam diri bahwa demokrasi ini adalah bagian warisan dari budaya luhur pada pendiri bangsa ini (founding father ) sehingga sudah seharusnya kita merawatnya. Ibarat kata, kita saat ini sedang mencari sebuah harta karun, yaitu demokrasi yang ideal. Dalam pencarian harta karun tersebut, kita terus menggali tanah, tanah galian itulah yang bisa menjadikan tanah menjadi gembur dan subur. Tanah yang gembur dan subur itulah makna dari demokratisasi senantiasa kita wujudkan bersama, baik sadar maupun tidak sadar. Bangsa ini sedang mencari sebuah demokrasi ideal yang itu sulit ditemukan. Sebagaimana dikatakan Dhaniel Dhakidae bahwa semua yang kita kerjakan selama ini adalah untuk mencari sesuatu yang tidak bisa ditemukan, yaitu demokrasi. Akan tetapi, siapa tahu tindakan mencari itulah, membangun partai, memilih, mendidik para pemilih, membedakan mana politisi bagus dan mana politisi busuk, menjadi tujuan dalam dirinya sendiri, serta sambil menyuburkan ladang demokrasi tersebut.
(mhd)