Bulog dan Kebijakan Pemerintah

Kamis, 21 Februari 2019 - 09:29 WIB
Bulog dan Kebijakan Pemerintah
Bulog dan Kebijakan Pemerintah
A A A
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-sekarang), penulis buku "Ironi Negeri Beras "

TAHUN 2019 dan setelahnya merupakan tahun-tahun krusial bagi Bulog. Krusial karena inilah tahun-tahun mahaberat dan penuh batu ujian bagi manajemen Bulog. Bila Bulog mampu melewati tahun-tahun krusial ini, ada peluang eksistensinya tetap ada. Sebaliknya, jika manajemen BUMN berbentuk Perum itu tidak mampu mendayung di antara karang ujian, bukan mustahil pula keberadaan Bulog bakal pelan-pelan tersingkir. Ini semua tidak bisa dilepaskan dari perubahan drastis kebijakan pemerintah terkait tugas pelayanan publik (public service obligation/PSO ) Bulog dalam melayani warga miskin.

Dimulai sejak 2017, transformasi Beras Sejahtera (Rastra) -yang semula bernama Raskin menjadi bantuan pangan nontunai (BPNT) ditargetkan tuntas pada 2019 ini. Itu berarti 15,5 juta kelompok penerima manfaat (KPM) yang semula menerima subsidi dalam bentuk beras bakal berubah menerima uang. Sejalan target pemerintah mengubah bantuan menjadi transfer tunai secara online , bisa dipastikan jumlah PSO yang ditangani Bulog bakal habis. Jika pun masih tersisa, hanya ada di daerah-daerah 3T: tertinggal, terisolasi, dan terluar. Mereka masih menerima subsidi dalam bentuk beras yang dinamakan bantuan sosial (Bansos) Rastra. Ini berarti Raskin/Rastra hanya tinggal cerita.

Bagi Bulog, perubahan itu jadi genting karena tugas-tugas PSO selama ini menyita hampir seluruh energi awak BUMN tersebut. Lewat BPNT dan Bansos Rastra, secara teoritis tidak ada lagi penyaluran beras bersubsidi yang dalam setahun bisa mencapai 2,5 - 3,4 juta ton. Ketika tugas-tugas PSO dikempiskan, agar tetap eksis, mau tidak mau Bulog harus mengembangkan dan bisa bertumpu pada usaha komersial sendiri. Masalahnya, kebijakan pemerintah yang bersifat ad hoc , pragmatis, dan berubah-ubah dalam tempo amat cepat membuat manajemen sulit beradaptasi, apalagi harus mengembangkan usaha komersial. Meskipun telah dirintis sejak puluhan tahun lalu, divisi komersial belum bisa jadi andalan. Mungkin baru 15% dari seluruh usaha Bulog.

Dibandingkan Raskin/Rasta, skema BPNT dapat meningkatkan ketepatan sasaran, waktu, dan administrasi. Kriteria ketepatan kualitas, harga, dan jumlah tidak lagi relevan karena masyarakat miskin/rentan bisa memilih sendiri beras dan pangan lain. Skema baru ini juga tidak mendistorsi pasar gabah/beras, dan rumah tangga miskin/rentan tidak perlu menyediakan uang untuk menebus seperti pada Raskin/Rasta. Selain itu, dana APBD pendamping dari kabupaten/kota dapat dihapus dan direalokasikan untuk yang lain.

Masalahnya, perubahan PSO secara drastis ini menabrak aturan dan inkonsisten dengan tugas Bulog. Ada dua aturan yang dilanggar. Pertama , Inpres No 5/2015tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Dalam diktum kelima disebutkan Bulog sebagai pelaksana kebijakan pengadaan dan penyaluran beras bersubsidi bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah atau miskin. Kedua , Perpres No 48/2016 tentang Penugasan kepada Perum Bulog dalam Kerangka Ketahanan Pangan Nasional. Di Pasal 2 ayat 3 disebutkan, Bulog bertugas menjaga ketersediaan pangan dan stabilisasi harga pangan pada tingkat konsumen dan produsen untuk beras, jagung, dan kedelai. Di Pasal 3 ayat 2 disebutkan, Bulog dapat menyalurkan pangan yang dikelolanya untuk masyarakat berpendapatan rendah untuk beras, industri pakan ternak untuk jagung, dan perajin tahu dan tempe untuk kedelai. Aturan ini masih berlaku.

Merujuk aturan itu, Bulog masih jadi operator pengadaan dan penyaluran beras bersubsidi untuk masyarakat miskin, yang dalam dua aturan tersebut disebut "masyarakat berpendapatan rendah". Tugas pengadaan dan penyaluran merupakan dua sisi dari mata uang: saling terkait dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Jika salah satu tugas ditiadakan, pasti mengganggu keseluruhan kinerja Bulog. Jika gangguan berlangsung terus-menerus, bisa saja muncul komplikasi. Situasi itulah yang terjadi pada Bulog akhir-akhir ini: tugas penyerapan beras masih melekat, tapi outlet penyaluran dipangkas.

Sebagai gambaran, stok akhir beras Bulog pada 2018 sebesar 2,2 juta ton. Ini jumlah yang amat besar. Satu dekade terakhir, stok akhir tahun berkisar 1,3 juta-1,5 juta ton beras. Stok akhir 2018 menjadi besar karena penyaluran PSO sepanjang tahun hanya 2 juta ton, terdiri atas 1,2 juta ton Bansos Rastra, operasi pasar, dan bantuan bencana (0,55 juta ton), golongan anggaran (101 ribu ton), dan komersial (159 ribu ton). Stok akhir yang kemudian menjadi stok awal 2019 ini membawa konsekuensi serius. Beras selain bersifat bulky, juga mudah rusak. Tanpa outlet penyaluran yang jelas dan pasti, sementara Februari 2019 sudah harus menyerap gabah/beras petani domestik, akan dikemanakan beras Bulog? Rencana Dirut Bulog Budi Waseso yang menjajaki ekspor beras adalah bentuk sindiran ke otoritas. Mana mungkin mengekspor beras Indonesia yang harganya lebih mahal ketimbang harga di pasar dunia? Kecuali kalau harga beras dibanting rendah.

Paparan ini menuju satu titik: menyelesaikan enam ketidaktepatan dalam penyaluran Raskin/Rastra dengan menanggalkan peran Bulog telah menimbulkan masalah baru. Bukan hanya tugas PSO Bulog kempis, masalah yang tidak kalah penting adalah tiadanya lagi instrumen stabilisasi harga gabah dan beras. Beras adalah salah satu komoditas biang inflasi. Ketika Raskin/Rasta tidak ada lagi, tidak ada pula instrumen mengendalikan harga gabah/beras. Harga gabah/beras mudah terombang-ambing oleh perilaku culas para tengkulak dan pedagang. Harga gabah rentan jatuh saat panen raya. Petani akan sengsara jika Bulog tak lagi menyerap gabah mereka. Ini konsekuensi hilangnya outlet penyaluran.

Sebaliknya, harga beras rawan melejit tinggi. Jumlah penyaluran Raskin/Rasta 232.000 ton/bulan atau 10% dari kebutuhan beras memang besar pengaruhnya pada harga. Ketika harga stabil, inflasi akan terkendali. Ketika 15,5 juta keluarga tidak lagi menerima subsidi dalam bentuk beras, mereka pergi ke pasar membeli beras. "Serbuan" mereka potensial membuat harga beras tertarik ke atas. Inflasi bakal meroket karena instrumen stabilisasi absen. Bagi rakyat, terutama yang miskin, kenaikan harga beras dan kenaikan inflasi akan menggerogoti daya beli mereka. Setiap 1% kenaikan harga beras terdapat potensi kenaikan jumlah orang miskin hampir 300.000 orang (Yusuf 2018).

Agar hal itu tidak terjadi, ada dua jalan. Pertama , memperbesar cadangan beras pemerintah (CBP) dari 0,35 juta ton jadi 1,5-2 juta ton. CBP sebagian besar diisi beras kualitas premium. Penggunaan CBP premium selain untuk operasi pasar bisa digunakan buat beragam program pemerintah seperti food for work, ekspor, program antikemiskinan dan bantuan internasional. Opsi ini menuntut anggaran yang tidak kecil. Kedua, menugaskan Bulog untuk mengisi beras di outlet pembelian pangan nontunai bagi para KPM. Cara ini tidak mengubah secara signifikan skema penyaluran Raskin/Rasta, terutama dalam kaitan fungsi Raskin/Rasta sebagai stabilisasi harga gabah/beras. Lebih dari itu, cara ini juga membuat eksistensi Bulog sebagai penyangga harga pangan tetap terjaga.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4069 seconds (0.1#10.140)