Dengvaxia dan Wabah Campak: Pelajaran dari Filipina

Rabu, 13 Februari 2019 - 08:15 WIB
Dengvaxia dan Wabah...
Dengvaxia dan Wabah Campak: Pelajaran dari Filipina
A A A
Pudji Lestari
Dosen dan Pemerhati Kesehatan Masyarakat

AKHIR 2018 ditutup dengan laporan mengejutkan yang dirilis oleh Pemerintah Filipina dan WHO tentang merebaknya wabah campak di negara tersebut. Jumlah kasus mencapai 17.298 selama Januari-November 2018, yang merupakan kenaikan lebih dari 350% dibanding periode yang sama bulan sebelumnya. Awal tahun ini dilaporkan wabah meluas, mencakup tujuh wilayah di Filipina, termasuk Manila.Lima puluh tujuh kematian dilaporkan dari Lazaro Hospital, rumah sakit milik pemerintah di Manila. Pada 2014 lalu Filipina sudah mengalami wabah campak meliputi 58.010 kasus, dan 110 kematian.
Campak dan Bahayanya

Penyakit campak adalah infeksi menular yang disebabkan oleh virus. Sebelum imunisasi campak digalakkan, campak adalah salah satu penyakit endemik yang menyebabkan kematian terbanyak setiap tahunnya. Penyakit ini pada umumnya menyerang anak-anak, meski bisa juga terjadi pada orang dewasa yang belum pernah terkena di masa anak. Penyakit ini disebabkan oleh virus dalam keluarga paramyxovirus yang biasanya ditularkan melalui kontak langsung dengan penderita atau lewat udara. Virus menginfeksi saluran pernapasan dan kemudian menyebar ke seluruh tubuh.

Gejala spesifik dari penyakit ini adalah ruam kulit berwarna kemerahan yang muncul 7-14 hari setelah paparan dan dapat bertahan selama 4-10 hari. Pada anak-anak, penyakit ini bisa menyebabkan komplikasi serius yang mematikan jika tidak ditangani dengan baik.Komplikasi tersering adalah muntaber, yang mengkhawatirkan adalah komplikasi ke paru berupa radang paru (pneumonia). Anak akan kesulitan bernapas dan sesak napas. Komplikasi fatal lainnya ensefalitis, yaitu radang otak yang menyebabkan anak kejang-kejang dan mengalami penurunan kesadaran. Anak-anak juga dapat mengalami perdarahan dan trombositopenia, namun ini jarang terjadi.
Kembali ke kejadian wabah di Filipina, mengapa hal ini justru terjadi ketika banyak negara lain sudah mendeklarasikan diri bebas campak? Pihak oposisi dan beberapa pakar kesehatan masyarakat menuduh program vaksinasi dengue dengan Dengvaxia yang dilakukan pemerintah pada 2016. Program ini meliputi vaksinasi 800.000 siswa SD tanpa skrining sebelumnya. Beberapa kasus infeksi dengue yang fatal dikaitkan dengan vaksinasi ini.Pada November 2017 pihak pembuat vaksin Sanofi, mengumumkan bahwa bagi yang belum pernah terinfeksi dengue, pemberian vaksin bisa menyebabkan keparahan penyakit. Program vaksinasi dengue akhirnya ditunda, dan terdapat tuntutan kepada pembuat kebijakan dan Sanofi. Para ahli kesehatan masyarakat, melihat hal ini sebagai preseden buruk yang menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap vaksinasi.
Vaksinasi tanpa Skrining Justru Berisiko

Dengue memiliki ciri menarik, yang dikenali sejak lama, yaitu kasus-kasus berat dengan perdarahan, bukanlah merupakan infeksi primer, melainkan hasil reaksi silang dengan virus yang berbeda serotipenya. Yang dimaksud serotipe adalah perbedaan reaksi virus dengan antibodi manusia dalam darah. Serotipe yang sudah dikenal meliputi empat macam, disebut DEN-1, DEN-2, DEN-3, and DEN-4. Artinya, bila seorang anak baru pertama kali terinfeksi semisal dengan DEN1, maka gejala tidak berat, namun bila terinfeksi kedua kali dengan serotipe diluar DEN-1, maka risiko untuk terjadinya perdarahan membesar. Dengvaxia dalam hal ini mengandung semua serotipe dengue.

Pada orang yang sudah terinfeksi (seropositif), pemberian vaksin ini akan memberikan proteksi terjadinya infeksi sekunder dengan gejala yang berat, namun pada orang yang belum pernah terinfeksi (seronegatif), kemungkinan bisa memperberat infeksi sekundernya. Pada daerah endemis, di mana seropositif bisa lebih dari 90% seperti Filipina, vaksin ini dalam perspektif populasi masih memberikan keuntungan, menurunkan angka rawat inap dan kematian. Filipina memiliki beberapa kasus fatal yang dicurigai terkait dengan pemberian vaksin ini pada anak seronegatif. WHO sekarang menganjurkan pemberian vaksin ini hanya pada subjek yang diketahui sudah pernah menderita infeksi dengue sebelumnya (dengan skrining serologis).

Kasus Dengvaxia menurunkan kepercayaan masyarakat Filipina terhadap program vaksinasi. Studi yang dilakukan oleh Led dari the London School of Hygiene & Tropical Medicine (LSHTM), mencatat penurunan dari 93% pada 2015 ke 32% pada 2018, untuk persetujuan dilakukan vaksinasi. Adapun untuk persepsi tentang keamanan vaksin penurunan terjadi lebih drastis dari 82% pada 2015 menjadi hanya 22% pada 2018. Dengan demikian bisa dipahami bila cakupan vaksinasi dasar di Filipina secara nasional pada 2017 hanya 70%.

Relevansi Pencegahan di Indonesia

Sebagai negara yang memiliki banyak kemiripan dengan Filipina, Indonesia perlu belajar banyak dari kasus di atas. Pertama banyak wilayah Indonesia merupakan daerah endemis dengue, bahkan Jakarta dan beberapa kota besar hari-hari ini mengalami kenaikan kasus yang bermakna. Penggunaan vaksin untuk dengue memang belum diwacanakan, namun pengalaman Filipina terkait vaksin dengue ini merupakan pelajaran berharga.Jika dipertimbangkan untuk melakukan vaksinasi, maka skrining serologis harus menjadi prasyarat. Secara etika kemanusiaan, bagaimanapun, sebuah program proteksi tidaklah boleh menempatkan subyek (seronegatif) dalam risiko. Kehilangan dukungan kepercayaan masyarakat terhadap vaksinasi fatal untuk tercapainya herd immunity.
Kedua, Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, sudah diguncang fatwa haram MUI tentang vaksin MR (untuk campak dan rubella), karena dianggap mengandung produk babi, pada 2018 lalu. Data menunjukkan cakupan vaksinasi campak di Jawa hingga November 2018 hanya 68%, bahkan di Aceh dilaporkan hanya 8%.Cakupan vaksinasi aman di angka 90-95%, cakupan vaksinasi sebesar ini diperlukan untuk menciptakan herd immunity, yakni lingkungan atau komunitas yang resisten terhadap suatu jenis penyakit umumnya karena vaksin. Adapun provinsi dengan cakupan vaksinasi mencapai 90% kemungkinan hanya 15 provinsi, dari total 34 provinsi di Indonesia.
Wabah campak terakhir yang dilaporkan terjadi di Indonesia ada di Kabupaten Asmat Papua, akhir 2017 sampai 2018. Krisis tersebut melibatkan 71 anak meninggal dunia dan sedikitnya 800 orang dirawat di rumah sakit. Meskipun kondisi di Papua memang berbeda dengan kesulitan geografis dan gizi buruk, dari perspektif kesehatan masyarakat, bila herd immunity tidak tercapai, sesungguhnya kita sedang berada dalam risiko besar untuk terjadinya wabah.

Memenangkan kembali kepercayaan masyarakat ini menjadi hal yang urgen untuk dicapai. Kampanye, tentang pentingnya vaksinasi atau akibat bila tidak divaksin, perlu dilakukan secara lebih kreatif. Isi kampanye dan kemasan penyampaian, perlu dikonsultasikan kepada para ahli komunikasi, supaya tepat sasaran dan efektif.Mempertimbangkan para orang tua/subjek dalam usia milenial dan penetrasi internet di Indonesia sudah lebih dari 50%, maka pelibatan para influencer mungkin perlu dipikirkan. Media massa (radio, koran, televisi) perlu diminta menyediakan ruang publik untuk kampanye ini.Para pemimpin daerah (bupati/wali kota) harus diminta untuk mengambil peran aktif, melakukan koordinasi antardinas kesehatan, pendidikan dan urusan agama untuk melakukan pendekatan kepada pimpinan sekolah, utamanya madrasah dan pesantren. Semoga semuanya belum terlambat.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0810 seconds (0.1#10.140)