Propaganda Politik Tabloid Barokah

Kamis, 07 Februari 2019 - 08:40 WIB
Propaganda Politik Tabloid Barokah
Propaganda Politik Tabloid Barokah
A A A
Adi Prayitno
Dosen Politik FISIP UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia

JAGAT politik kisruh beberapa waktu lalu. Ratusan ribu eksemplar Tabloid Barokah masif membanjiri masjid di berbagai penjuru Tanah Air. Substansi beritanya campur aduk antara opini dan fakta. Tabloid Barokah ini membangkitkan memori kelam tentang Tabloid Obor Rakyat lima tahun silam yang penuh fitnah dan informasi bohong. Bedanya, Tabloid Barokah semata memuat konten negatif salah satu calon presiden. Serupa propaganda politik menjatuhkan lawan politik.

Propaganda, dalam definisi Dan Nimmo (1993), ialah serangkaian komunikasi terencana yang sengaja digunakan kelompok tertentu untuk menciptakan partisipasi aktif publik melalui rekayasa psikologi politik. Tujuannya jelas dan terukur, yakni mengharapkan hubungan timbal balik antarindividu atas satu fenomena politik yang dapat mengubah persepsi dan kepercayaan terhadap sesuatu.

Dalam kategori ini, Tabloid Barokah nyata propaganda politik menyerang Prabowo Subianto. Narasi isunya banyak menyudutkan. Dalam kanal laporan utama memuat judul “Prabowo Marah Media Terbelah” menggambarkan mantan Danjen Kopassus itu sosok reaktif temperamental. Termasuk juga ulasan reuni 212 dituding gerakan politik karena ditunggangi kepentingan elite. Sementara kanal liputan khusus memuat hoaks Ratna Sarumpaet memajang foto Prabowo Subianto, Sandiaga Uno, dan Fadli Zon.

Sejumput contoh narasi di atas memberondong pesan politik kuat. Ada aroma menyengat kampanye negatif menyerang Prabowo Subianto dengan data faktual. Tak ada yang salah karena regulasi pemilu tak melarang kampanye negatif. Namun, demi keajegan berkompetisi, propaganda dengan kampanye negatif sejatinya bisa dihindari mengutamakan visi misi dan program kerja unggulan. Bukan malah sibuk menyerang pihak lawan.

Pada spektrum lain, Tabloid Barokah membeberkan kepedulian pemerintah terhadap umat Islam. Sebut saja misalnya, soal beasiswa santri, membangun 1.000 Balai Latihan Kerja dan Bank Wakaf Mikro di lingkungan pesantren. Termasuk isu soal radikalisme, agenda HTI merongrong negara, serta relasi wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir menegaskan satu penggiringan opini bahwa Prabowo Subianto cukup dekat dengan kelompok ekstrem agama itu.

Narasi kontras ini syarat kepentingan politik elektoral yang mudah ditebak arahnya. Prabowo Subianto dipersonifikasi sebagai pemimpin pemarah, dekat dengan tukang hoaks, dan kelompok radikal. Sementara petahana dipersepsikan sebaliknya. Oleh karena itu, Tabloid Barokah jelas propaganda politik karena mendiskreditkan Prabowo Subianto melalui rangkaian kampanye negatif di wilayah “remang-remang”. Semacam hantu yang bergerak aktif bergentayangan menyusur lorong gelap gulita politik bertujuan merubah persepsi pemilih.

Merebut Pemilih Islam
Secara politik, Tabloid Barokah bisa dibaca dari dua perspektif. Pertama, dari sudut kepentingan pemilihan presiden (pilpres). Tabloid Barokah tentu saja tak lahir dalam ruang hampa sebatas ekspresi iseng minus motif politik elektoral. Buktinya, alamat tabloid fiktif, berbiaya mahal, serta disebarkan ke berbagai masjid pelosok republik. Itu artinya, distribusi Tabloid Barokah dilakukan profesional untuk kepentingan politik terselubung. Tujuannya terang benderang, menjatuhkan satu capres dan meninggikan capres lainnya.

Sementara dari substansi isu, narasi berita Tabloid Barokah beririsan dengan pilpres yang kerap memercik kegaduhan. Mulai dari isu fitnah PKI, Islam radikal, hoaks, berita negatif, hingga berebut simpati umat Islam. Wajar jika tabloid ini dituding penuh muatan politik. Sebab isunya lekat dengan “diskursus kandidat” yang selalu dijadikan amunisi perang urat syaraf.

Kedua, target penerima Tabloid Barokah menyasar pemilih Islam. Bukan hal kebetulan jika masjid menjadi lokus gempuran. Belakangan ini masjid menjadi medium utama umat Islam berbicara tentang politik, mengkritisi kinerja pemerintah, mengajak berdemonstrasi, hingga protes terhadap kebijakan tak populis lainnya.

Saat ini mudah mendapati orang bicara soal impor beras, kriminalisasi ulama, pemimpin kafir, dan sederet persoalan mutakhir dalam ceramah reguler di masjid. Dari sinilah kemudian sentimen politik identitas kian mengeras. Preferensi pemilih bergeser bukan lagi berdasar logika sehat melainkan lebih pada persoalan rasa like or dislike.

Dua hal inilah paling mungkin bisa diungkap terkait propaganda politik Tabloid Barokah. Narasinya bersayap dengan fokus utama merebut pemilih Islam berbasis masjid. Pemilih Islam menjadi primadona di tengah mengerasnya sentimen politik identitas. Semua pihak pasti berkepentingan meraih dukungan mereka.

Oleh sebab itu, sangat sulit untuk tak mengatakan bahwa Tabloid Barokah tak bernuansa politis. Ia adalah alat propaganda guna mengonsolidasi opini publik demi kepentingan politik elektoral. Ia adalah peluru ampuh menyerang kantong suara umat Islam yang gelisah dengan dinamika pilpres ekstrem, saling menegasi, dan menjatuhkan.

Usut Tuntas
Undang-Undang Pemilu tegas melarang berkampanye di tempat ibadah dan menghina suku, agama, dan ras orang lain. Tujuannya ingin menciptakan suasana kondusif pemilu demokratis berkualitas tanpa tindakan diskriminatif. Kampanye yang dilarang berupa ajakan terbuka memilih capres tertentu, menyampaikan visi-misi, dan memperkenalkan identitas diri partai atau capres.

Tabloid Barokah bukan kampanye terlarang dalam definisi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebab tak ada paparan visi-misi, ajakan terbuka memilih capres di tempat ibadah, maupun menghina suku, agama, dan ras tertentu. Secara normatif, Tabloid Barokah hanya bisa dikategorikan kampanye negatif karena menjatuhkan salah satu capres dan memproyeksikan capres lainnya dengan mengutip berita di media.

Hasil temuan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) tak menemukan unsur pelanggaran, pidana pemilu, hingga kampanye hitam dalam Tabloid Barokah. Sementara itu, Dewan Pers menilai Tabloid Barokah bukan produk jurnalistik. Bagi pihak yang merasa dirugikan bisa menggunakan Undang-Undang Nomor 40/1999 tentang Pers, menempuh jalur hukum karena konten berita menyudutkan salah satu capres tanpa verifikasi, klarifikasi, atau konfirmasi kepada pihak yang diberitakan.

Publik hanya bisa pasrah menunggu ending “drama” Tabloid Barokah. Atas nama demokrasi kekisruhan ini mesti segera diungkap pihak berwajib karena sangat meresahkan. Sekadar memastikah, apakah Tabloid Barokah melanggar hukum pidana atau ada unsur kesengajaan lain bertujuan mengganggu stabilitas pemilu. Jika tidak melanggar, lalu kenapa alamat redaksi disamarkan, tujuannya masjid, bukan tempat netral.

Pemilu serentak 2019 sejatinya menjadi momen penting menciptakan pemilu berkualitas tinggi tanpa desas-desus, hoaks, dan kegaduhan lain. Bawaslu, Sentra Gakkumdu, dan polisi, harus bisa memberikan efek jera bagi kelompok yang sengaja mengacaukan pemilu. Apa pun motifnya, Tabloid Barokah didesain apik untuk merekayasa bahkan memanipulasi psikologi pemilih.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4558 seconds (0.1#10.140)