7 Poin Gagalnya Politik Identitas dalam Pertarungan Elektroral Pilpres
A
A
A
JAKARTA - Politik identitas dalam Pemilu dan Pilpres 2019 dinilai tidak berpengaruh atau berkorelasi dengan peningkatan elektabilitas pasangan Capres-Cawapres Prabowo-Sandi.
Peneliti Seven Strategic Studies, Girindra Sandino mengatakan ada tujuh poin yang dapat dianalisa mengapa strategi tersebut tidak berhasil dalam kontestasi demokrasi di Indonesia. Bahkan dapat disebut gagal total.
Pertama, karena Indonesia memiliki social capital yang luar biasa. Berbeda dengan negara-negara lain. Modal sosial itu antara lain adalah banyaknya ormas-ormas keagamaan yang memiliki basis massa dan selalu mengkampanyekan pentingnya rasa persatuan.
"Sebut saja ormas keagamaan seperti, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. NU dengan jumlah warganya 91,2 juta jiwa telah berhasil mengharmonisasikan hubungan agama dan negara. Jargon hubbul wathon minal iman (nasionalisme bagian dari iman), adalah di antara kuncinya," ujarnya kepada SINDOnews, Minggu (3/2/2019).
(Baca juga: Jokowi Dapat Suntikan Dukungan Koalisi Alumni Diponegoro)
Kedua, karena ikatan dan rasa kebangsaan di Indonesia cukup kuat sehingga identitas asal atau primodial seperti agama, suku, ras dan golongan tidak laku sebagai “jualan” dalam politik electoral.
"Ketiga, politik identitas di seluruh dunia ada dan tidak akan bisa hilang, tapi lama kelamaan perannya menurun pada tataran kuaantitas karena kedewasaan dan kematangan berdemokrasi di tiap negara, karena inklusifisme antar golongan terus meingkat, melumerkan blok-blok budaya (cultural blocks) antar golongan," jelasnya.
Keempat, kata Girindra, Prabowo dalam setiap kali pidato politiknya selalu dihiasi dengan retorika yang bernuansa “kelas” dan identitas pribumi. Hal ini justru merugikan Prabowo sendiri karena kontras dengan citra diri dan rekam jejaknya.
Kelima, narasi politik identitas yang dilontarkan oleh kubu Prabowo-Sandi cepat di counter oleh kubu Jokowi dengan menjalankan strategi kontra-black campaign. Sehingga pembicaraan di ruang publik mengenai politik identitas dengan cepat diredam, walau masih saja ada suara-suara lantang yang mendukung membabi buta narasi politik identitas kubu Prabowo-Sandi
(Baca juga: Airlangga Klaim Suara Golkar untuk Jokowi Sudah Capai 75%)
Keenam, penggunaan isu agama sebagai alat untuk meraih dukungan kelompok Islam, melalui Ijtima Ulama II, telah terdegradasi sendiri, disamping terjadi perpecahan. Ulama-ulama yang menunjuk Prabowo-Sandi sebagai wakilnya dalam setiap penyampaian dukungan kepada Prabowo-Sandi, selalu dengan ucapan kebencian, kemarahan, kedengkian, sehingga hal ini membuat masyrakat menjadi takut dan resah.
"Dan dapat dibilang dukungan ulama-ulama, khususnya yang berlaga keras malah merugikan Prabowo-Sandi dalam menggaet suara pemilih, alias menjadi blunder politik. Karena saat ini masyarakat sudah cerdas dalam hal memilih pemimpin, termasuk siapa pendukungnya. Isu agama sangat sedikit korelasinya dengan peningkatan elektabilitas Prabowo-Sandi," pungkasnya.
Ketujuh, adalah peran pemerintah sendiri yang saat ini responsif terhadap gejala-gejala yang mengarah kepada isu-isu politik identitas, penyebaran hoaks, fitnah, dan lain-lain. "Peran Persiden Jokowi sebagai Capres bersama Cawapres KH Ma’ruf Amin dan timnya, cukup signifikan dalam meredam dan membloking meluasnya politik identitas tersebut," tutupnya.
Peneliti Seven Strategic Studies, Girindra Sandino mengatakan ada tujuh poin yang dapat dianalisa mengapa strategi tersebut tidak berhasil dalam kontestasi demokrasi di Indonesia. Bahkan dapat disebut gagal total.
Pertama, karena Indonesia memiliki social capital yang luar biasa. Berbeda dengan negara-negara lain. Modal sosial itu antara lain adalah banyaknya ormas-ormas keagamaan yang memiliki basis massa dan selalu mengkampanyekan pentingnya rasa persatuan.
"Sebut saja ormas keagamaan seperti, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. NU dengan jumlah warganya 91,2 juta jiwa telah berhasil mengharmonisasikan hubungan agama dan negara. Jargon hubbul wathon minal iman (nasionalisme bagian dari iman), adalah di antara kuncinya," ujarnya kepada SINDOnews, Minggu (3/2/2019).
(Baca juga: Jokowi Dapat Suntikan Dukungan Koalisi Alumni Diponegoro)
Kedua, karena ikatan dan rasa kebangsaan di Indonesia cukup kuat sehingga identitas asal atau primodial seperti agama, suku, ras dan golongan tidak laku sebagai “jualan” dalam politik electoral.
"Ketiga, politik identitas di seluruh dunia ada dan tidak akan bisa hilang, tapi lama kelamaan perannya menurun pada tataran kuaantitas karena kedewasaan dan kematangan berdemokrasi di tiap negara, karena inklusifisme antar golongan terus meingkat, melumerkan blok-blok budaya (cultural blocks) antar golongan," jelasnya.
Keempat, kata Girindra, Prabowo dalam setiap kali pidato politiknya selalu dihiasi dengan retorika yang bernuansa “kelas” dan identitas pribumi. Hal ini justru merugikan Prabowo sendiri karena kontras dengan citra diri dan rekam jejaknya.
Kelima, narasi politik identitas yang dilontarkan oleh kubu Prabowo-Sandi cepat di counter oleh kubu Jokowi dengan menjalankan strategi kontra-black campaign. Sehingga pembicaraan di ruang publik mengenai politik identitas dengan cepat diredam, walau masih saja ada suara-suara lantang yang mendukung membabi buta narasi politik identitas kubu Prabowo-Sandi
(Baca juga: Airlangga Klaim Suara Golkar untuk Jokowi Sudah Capai 75%)
Keenam, penggunaan isu agama sebagai alat untuk meraih dukungan kelompok Islam, melalui Ijtima Ulama II, telah terdegradasi sendiri, disamping terjadi perpecahan. Ulama-ulama yang menunjuk Prabowo-Sandi sebagai wakilnya dalam setiap penyampaian dukungan kepada Prabowo-Sandi, selalu dengan ucapan kebencian, kemarahan, kedengkian, sehingga hal ini membuat masyrakat menjadi takut dan resah.
"Dan dapat dibilang dukungan ulama-ulama, khususnya yang berlaga keras malah merugikan Prabowo-Sandi dalam menggaet suara pemilih, alias menjadi blunder politik. Karena saat ini masyarakat sudah cerdas dalam hal memilih pemimpin, termasuk siapa pendukungnya. Isu agama sangat sedikit korelasinya dengan peningkatan elektabilitas Prabowo-Sandi," pungkasnya.
Ketujuh, adalah peran pemerintah sendiri yang saat ini responsif terhadap gejala-gejala yang mengarah kepada isu-isu politik identitas, penyebaran hoaks, fitnah, dan lain-lain. "Peran Persiden Jokowi sebagai Capres bersama Cawapres KH Ma’ruf Amin dan timnya, cukup signifikan dalam meredam dan membloking meluasnya politik identitas tersebut," tutupnya.
(kri)