Hak Pilih Anak Berkewarganegaraan Ganda
A
A
A
A Ahsin Thohari
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta/
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta
SALAH satu persoalan penting menjelang digelarnya Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 adalah hak pilih anak berkewarganegaraan ganda. Sayangnya, persoalan ini kurang diperhatikan oleh penyelenggara pemilu. Jamak diketahui, hukum kewarganegaraan kita mengakui status kewarganegaraan ganda khusus bagi anak hasil perkawinan campuran antara warga negara Indonesia (WNI) dan warga negara asing (WNA) sampai dengan usia 18 tahun atau sudah kawin.
Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12/2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin, anak tersebut harus menyampaikan pernyataan untuk memilih salah satu kewarganegaraan dalam waktu paling lambat tiga tahun. Artinya, anak tersebut memiliki waktu toleransi untuk memilih hingga batas usia 21 tahun.
Pada sisi lain, hukum pemilu kita mengatur bahwa pemilih adalah WNI yang sudah genap berumur 17 tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin, seperti diatur dalam Pasal 1 angka 34 jo Pasal 198 UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu. Pertanyaannya adalah, apakah anak berkewarganegaraan ganda yang sudah genap berusia 17 tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin, sampai dengan batas usia 21 tahun, memiliki hak pilih dan karenanya dapat menjadi pemilih dalam pemilu?
Pertanyaan ini penting dijawab agar hak untuk memilih dalam pemilu (suffrage atau right to vote) sebagai wujud partisipasi aktif warga negara dalam politik dapat dihormati, dilindungi, dan dipenuhi secara memadai oleh negara.
Dua Teori Kewarganegaraan
Hukum kewarganegaraan suatu negara selalu paralel dengan imajinasi kepentingan nasionalnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kita menemukan pengaturan kewarganegaraa beragam dan tidak jarang bertolak belakang satu sama lain. Dalam hukum kewarganegaraan yang dipraktikkan di pelbagai negara, setidaknya dikenal dua teori yang dianut untuk menjelaskan pola hubungan timbal balik antara negara dengan warganya.
Pertama, teori liberal-individualist. Teori ini mendalilkan kewarganegaraan sebagai hak ditujukan untuk memuliakan martabat manusia yang memiliki otonomi secara moral dengan kewajiban membayar pajak, menaati hukum, dan bebas melakukan aktivitas privasi dengan fokus utama pada perbaikan aspek ekonominya. Konsepsi ini lebih menitikberatkan bahwa negara ada untuk kepentingan warga negara dengan kewajiban melindungi hak-haknya berapa pun biaya yang harus dibayar negara.
Kedua, teori civic-republican .Teori ini mengandaikan kewarganegaraan sebagai proses keterlibatan aktif manusia dalam politik. Begitu seseorang menjadi warga negara, ia sesungguhnya telah aktif dalam proses bernegara dengan segala hak dan kewajibannya dalam bingkai hukum sebagai pembatasnya.
Partisipasi politik adalah muara akhir konsepsi ini yang berbalas dengan kewajiban perlindungan negara terhadapnya. Oleh karena itu, banyak negara—termasuk Indonesia—mengadopsi asas perlindungan maksimum yang mewajibkan negara memberikan perlindungan penuh kepada warga negara dalam keadaan apa pun baik di dalam maupun di luar negeri.
Permisif Melawan Restriktif
Turut serta dalam pemilu sebagai wujud penggunaan hak untuk memilih (right to vote) merupakan hak dasar bagi warga negara sebagai anggota dari masyarakat politik (political community) , yang bernama negara sekaligus menyimbolkan aktualisasi diri pemegang kedaulatan rakyat dan relasi erat antara negara serta warga negara sebagai dua unsur deklaratif terbentuknya negara selain pemerintahan.
Meskipun demikian, negara-negara di dunia ini mengatur secara berbeda terhadap hak untuk memilih, khususnya dikaitkan dengan kewarganegaraan ganda sesuai dengan kebutuhan domestiknya. Amerika Serikat (AS) misalnya, dikenal sebagai negara yang mengakui kewarganegaraan ganda tak terbatas paling permisif di dunia dalam hal memberikan hak bagi warga negaranya untuk memilih dalam pemilu di negara asing atau bahkan turut serta dalam pemerintahan negara asing tanpa akibat hukum apa pun.
Hal ini merupakan konsekuensi dianutnya prinsip kewarganegaraan ganda ekstrem sebagai manifestasi doktrin keterbukaan AS. Australia dan Kanada juga bisa dikategorikan permisif hukum kewarganegaraannya dengan derajat lebih rendah dibandingkan AS. Sebaliknya, di Indonesia, Arab Saudi, dan Malaysia, misalnya, memilih dalam pemilu di negara asing atau turut serta dalam pemerintahan negara asing dianggap sebagai tindakan yang bisa menyebabkan hilangnya kewarganegaraan, karena dianggap membentuk kesetiaan pada negara asing (allegiance to a foreign state).
Bagi negara-negara seperti ini, tidak boleh tersedia ruang sekecil apa pun untuk menoleransi adanya kesetiaan yang terbagi (divided loyalty) bagi warga negaranya, karena hukum kewarganegaraannya bersifat restriktif. Oleh karena itu, jika ada WNI yang memilih dalam pemilu di negara asing padahal tidak diwajibkan menurut hukum setempat atau turut serta dalam pemerintahan negara asing, maka ia akan kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia.
Tak Dilarang Berarti Boleh
Hukum pemilu kita tidak mengatur apakah anak berkewarganegaraan ganda memiliki hak pilih dan karenanya bisa menjadi pemilih dalam pemilu di Indonesia. Akan tetapi, tak ada satu pasal pun yang melarangnya. Oleh karena itu, berdasarkan adagium everything which is not forbidden is allowed (segala sesuatu yang tidak dilarang berarti diperbolehkan), menjadi jelas bahwa anak berkewarganegaraan ganda memiliki hak pilih dalam pemilu di Indonesia dan bisa menjadi pemilih jika sudah genap berusia 17 tahun, sudah kawin, atau sudah pernah kawin, sampai dengan batas usia 21 tahun.
Hal yang menjadi masalah adalah, jika anak berkewarganegaraan ganda tersebut telah menggunakan hak pilihnya di Indonesia, maka ia berisiko kehilangan kewarganegaraan asingnya jika menurut hukum negara asing tersebut orang yang telah menggunakan hak pilihnya dalam pemilu negara lain akan kehilangan kewarganegaraannya seperti dianut negara-negara yang hukum kewarganegaraannya bersifat restriktif.
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta/
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta
SALAH satu persoalan penting menjelang digelarnya Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 adalah hak pilih anak berkewarganegaraan ganda. Sayangnya, persoalan ini kurang diperhatikan oleh penyelenggara pemilu. Jamak diketahui, hukum kewarganegaraan kita mengakui status kewarganegaraan ganda khusus bagi anak hasil perkawinan campuran antara warga negara Indonesia (WNI) dan warga negara asing (WNA) sampai dengan usia 18 tahun atau sudah kawin.
Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12/2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin, anak tersebut harus menyampaikan pernyataan untuk memilih salah satu kewarganegaraan dalam waktu paling lambat tiga tahun. Artinya, anak tersebut memiliki waktu toleransi untuk memilih hingga batas usia 21 tahun.
Pada sisi lain, hukum pemilu kita mengatur bahwa pemilih adalah WNI yang sudah genap berumur 17 tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin, seperti diatur dalam Pasal 1 angka 34 jo Pasal 198 UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu. Pertanyaannya adalah, apakah anak berkewarganegaraan ganda yang sudah genap berusia 17 tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin, sampai dengan batas usia 21 tahun, memiliki hak pilih dan karenanya dapat menjadi pemilih dalam pemilu?
Pertanyaan ini penting dijawab agar hak untuk memilih dalam pemilu (suffrage atau right to vote) sebagai wujud partisipasi aktif warga negara dalam politik dapat dihormati, dilindungi, dan dipenuhi secara memadai oleh negara.
Dua Teori Kewarganegaraan
Hukum kewarganegaraan suatu negara selalu paralel dengan imajinasi kepentingan nasionalnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kita menemukan pengaturan kewarganegaraa beragam dan tidak jarang bertolak belakang satu sama lain. Dalam hukum kewarganegaraan yang dipraktikkan di pelbagai negara, setidaknya dikenal dua teori yang dianut untuk menjelaskan pola hubungan timbal balik antara negara dengan warganya.
Pertama, teori liberal-individualist. Teori ini mendalilkan kewarganegaraan sebagai hak ditujukan untuk memuliakan martabat manusia yang memiliki otonomi secara moral dengan kewajiban membayar pajak, menaati hukum, dan bebas melakukan aktivitas privasi dengan fokus utama pada perbaikan aspek ekonominya. Konsepsi ini lebih menitikberatkan bahwa negara ada untuk kepentingan warga negara dengan kewajiban melindungi hak-haknya berapa pun biaya yang harus dibayar negara.
Kedua, teori civic-republican .Teori ini mengandaikan kewarganegaraan sebagai proses keterlibatan aktif manusia dalam politik. Begitu seseorang menjadi warga negara, ia sesungguhnya telah aktif dalam proses bernegara dengan segala hak dan kewajibannya dalam bingkai hukum sebagai pembatasnya.
Partisipasi politik adalah muara akhir konsepsi ini yang berbalas dengan kewajiban perlindungan negara terhadapnya. Oleh karena itu, banyak negara—termasuk Indonesia—mengadopsi asas perlindungan maksimum yang mewajibkan negara memberikan perlindungan penuh kepada warga negara dalam keadaan apa pun baik di dalam maupun di luar negeri.
Permisif Melawan Restriktif
Turut serta dalam pemilu sebagai wujud penggunaan hak untuk memilih (right to vote) merupakan hak dasar bagi warga negara sebagai anggota dari masyarakat politik (political community) , yang bernama negara sekaligus menyimbolkan aktualisasi diri pemegang kedaulatan rakyat dan relasi erat antara negara serta warga negara sebagai dua unsur deklaratif terbentuknya negara selain pemerintahan.
Meskipun demikian, negara-negara di dunia ini mengatur secara berbeda terhadap hak untuk memilih, khususnya dikaitkan dengan kewarganegaraan ganda sesuai dengan kebutuhan domestiknya. Amerika Serikat (AS) misalnya, dikenal sebagai negara yang mengakui kewarganegaraan ganda tak terbatas paling permisif di dunia dalam hal memberikan hak bagi warga negaranya untuk memilih dalam pemilu di negara asing atau bahkan turut serta dalam pemerintahan negara asing tanpa akibat hukum apa pun.
Hal ini merupakan konsekuensi dianutnya prinsip kewarganegaraan ganda ekstrem sebagai manifestasi doktrin keterbukaan AS. Australia dan Kanada juga bisa dikategorikan permisif hukum kewarganegaraannya dengan derajat lebih rendah dibandingkan AS. Sebaliknya, di Indonesia, Arab Saudi, dan Malaysia, misalnya, memilih dalam pemilu di negara asing atau turut serta dalam pemerintahan negara asing dianggap sebagai tindakan yang bisa menyebabkan hilangnya kewarganegaraan, karena dianggap membentuk kesetiaan pada negara asing (allegiance to a foreign state).
Bagi negara-negara seperti ini, tidak boleh tersedia ruang sekecil apa pun untuk menoleransi adanya kesetiaan yang terbagi (divided loyalty) bagi warga negaranya, karena hukum kewarganegaraannya bersifat restriktif. Oleh karena itu, jika ada WNI yang memilih dalam pemilu di negara asing padahal tidak diwajibkan menurut hukum setempat atau turut serta dalam pemerintahan negara asing, maka ia akan kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia.
Tak Dilarang Berarti Boleh
Hukum pemilu kita tidak mengatur apakah anak berkewarganegaraan ganda memiliki hak pilih dan karenanya bisa menjadi pemilih dalam pemilu di Indonesia. Akan tetapi, tak ada satu pasal pun yang melarangnya. Oleh karena itu, berdasarkan adagium everything which is not forbidden is allowed (segala sesuatu yang tidak dilarang berarti diperbolehkan), menjadi jelas bahwa anak berkewarganegaraan ganda memiliki hak pilih dalam pemilu di Indonesia dan bisa menjadi pemilih jika sudah genap berusia 17 tahun, sudah kawin, atau sudah pernah kawin, sampai dengan batas usia 21 tahun.
Hal yang menjadi masalah adalah, jika anak berkewarganegaraan ganda tersebut telah menggunakan hak pilihnya di Indonesia, maka ia berisiko kehilangan kewarganegaraan asingnya jika menurut hukum negara asing tersebut orang yang telah menggunakan hak pilihnya dalam pemilu negara lain akan kehilangan kewarganegaraannya seperti dianut negara-negara yang hukum kewarganegaraannya bersifat restriktif.
(thm)