Potensi Fintech Go Public di Tahun Babi Tanah
A
A
A
Remon Samora
Analis Bank Indonesia
PERFORMA industri financial technology (fintech) lending pada 2018 tergolong fantastis. Otoritas Jasa Keuangan mencatat akumulasi pinjaman yang disalurkan pemain fintech hingga Oktober 2018 mencapai Rp15,99 triliun. Dibandingkan posisi akhir tahun sebelumnya, angka tersebut tumbuh signifikan, yakni lebih dari empat kali lipat hanya dalam tempo sepuluh bulan.
Setali tiga uang, fintech sistem pembayaran juga mencetak kinerja tak kalah impresif. Per November 2018, Statista merilis nilai transaksi digital payment di Indonesia sebesar USD22,42 juta atau naik 21% dibandingkan tahun sebelumnya. Statista memprediksi nilai ini akan melesat hampir dua kali lipat menjadi USD40 juta pada 2023. Berkaca pada tren apik tersebut, industri ini diproyeksikan masih akan dinaungi awan cerah pada Tahun Babi Tanah.
Sejumlah pemain fintech dikabarkan akan memanfaatkan peluang emas tersebut dengan menggelar penawaran saham perdana (initial public offering /IPO) tahun ini. Rencana aksi korporasi ini telah dikonfirmasi oleh sebuah perusahaan sekuritas yang menyebut sudah ada lima calon emiten fintech. Sayangnya, berdasarkan data Bursa Efek Indonesia per Desember 2018, belum terlihat daftar nama pemain fintech yang akan melakukan IPO hingga Juni 2019. Apakah berarti rencana realisasi IPO fintech akan berlangsung pada semester dua tahun ini? Belum tentu.
Bloomberg memprediksi ada lima tren global pada industri fintech pada 2019. Salah satunya ialah keragu-raguan pemain fintech untuk masuk ke pasar modal (IPOs looming ). Penyebab utamanya ialah kejatuhan harga saham emiten fintech dalam beberapa tahun terakhir. Selain itu, pemain fintech sebagaimana usaha rintisan pada umumnya lebih tertarik fokus mengembangkan produk dibandingkan mengejar laba. Kondisi sebaliknya, justru akan terjadi tatkala mereka terdaftar di bursa saham. Perolehan keuntungan sebesar-besarnya akan menjadi prioritas untuk meningkatkan nilai pemegang saham.
Pendanaan Modal Ventura
Alih-alih mencatatkan diri di pasar modal, opsi investasi dari modal ventura maupun perusahaan raksasa teknologi diyakini masih akan menjadi primadona. Mengutip laporan "Fintech Report 2018" yang dilansir DailySocial, tercatat 12 aksi pendanaan kepada pemain fintech Tanah Air sepanjang 2018. Total nilai investasi mencapai USD180,3 juta karena 66% di antaranya diraih fintech kategori deposit and lending .
Fenomena ini tampaknya masih belum akan berakhir dalam jangka pendek. Pasalnya, pasar usaha rintisan Indonesia memiliki daya magnet besar untuk menarik arus modal asing masuk. Argumen ini turut didukung riset Google-Temasek bertajuk "E-conomy SEA 2018 ". Hasil studi ini menunjukkan ekonomi digital Indonesia dinobatkan sebagai yang terbesar dan tumbuh paling pesat di Asia Tenggara.
Nilai transaksi digital atau Gross Merchandise Value (GMV) Indonesia diperkirakan mencapai USD 27 miliar pada 2018 dan USD100 miliar pada 2025. Rata-rata pertumbuhan tahunan ekonomi digital Indonesia dalam sepuluh tahun mencapai 28%. Berangkat dari tren tersebut, tak heran Indonesia meraih posisi sebagai negara penerima dana investasi usaha rintisan terbesar nomor dua di Asia Tenggara. Dalam tiga tahun terakhir, nilai pendanaan yang dikucurkan sebesar USD6 miliar, dengan rincian USD1,2 miliar (2016), USD3 miliar (2017), dan USD1,8 miliar (semester I-2018).
Dari sisi operasional usaha, pemain fintech pasti lebih nyaman memilih pendanaan modal ventura, terutama jika dikaitkan dengan praktik "bakar uang". Sudah barang tentu pemain fintech tidak akan leluasa memberikan subsidi harga secara masif jika opsi listing pasar modal yang dipilih. Tatkala telah menjadi emiten bursa efek, praktik semacam ini kemungkinan besar akan menuai banyak pertentangan dari investor konservatif. Implikasinya, model bisnis fintech tak ubahnya dengan lembaga jasa keuangan konvensional pada umumnya.
Di sisi lain, dengan mengandalkan pendanaan modal ventura, valuasi saham fintech berpotensi tumbuh eksponensial sekalipun mencatatkan kerugian akibat praktik tidak lazim ini. Sederhananya, valuasi saham fintech dan usaha rintisan pada umumnya tidak ditentukan oleh besar kecilnya perolehan laba. Angka ini lebih banyak dipengaruhi oleh jumlah pengguna aktif aplikasi yang akhirnya terefleksi pada pencapaian GMV. Kondisi ini lantas menjelaskan mengapa strategi bakar uang menjadi sangat diminati dalam menjaring konsumen loyalis sebanyak mungkin.
Hal lain tidak boleh dilupakan ialah adanya manfaat transfer pengetahuan dari pemodal ventura. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemodal ventura tidak hanya sekadar menginjeksikan dana semata. Pemberian mentoring dan perluasan networking bagi pemain fintech menjadi faktor lain yang fundamental. Mempertimbangkan bahwa rata-rata pemain fintech belum memiliki banyak jam terbang dan kompetensi teknis yang memadai, praktis kemitraan dengan pemodal ventura merupakan pilihan paling logis untuk dieksekusi.
Momentum IPO
Berangkat dari konfigurasi problematika di atas, rencana pemain fintech untuk melantai di bursa saham dalam jangka pendek sepertinya masih belum mendapatkan momentum tepat. Jika mengacu ke best practice lima tahapan pendanaan usaha rintisan, pemain fintech seyogianya mendapatkan pendanaan Seri C dahulu sebelum melakukan IPO.
Pada umumnya pendanaan Seri C digunakan untuk ekspansi produk dan membuka cabang secara nasional maupun internasional. Tercatat baru sedikit pemain fintech yang mencapai tahap pendanaan Seri C. Sepanjang 2018, hanya CekAja dan Akulaku yang memperoleh pendanaan Seri C pada Juli dan Oktober. Dengan time horizon yang relatif sempit dan hasil pendanaan belum terlihat, wacana IPO fintech patut dikalkulasi ulang.
Dalam konteks lebih luas, hingga saat ini belum ada pemain fintech lokal yang tercatat sebagai unicorn (usaha rintisan dengan nilai valuasi di atas USD1 miliar). Predikat ini terbilang krusial, terutama jika dikaitkan dengan daya tarik minat investor. Artinya, target paling rasional dalam jangka menengah pascapendanaan Seri C ialah memantapkan status sebagai unicorn . Meskipun demikian, harus diakui target tersebut tidaklah mudah diraih.
Sementara dalam jangka panjang, pemain fintech idealnya memang lebih baik didorong untuk listing di pasar modal, apalagi jika menyandang status unicorn . Dengan adanya serangkaian persyaratan penerapan tata kelola yang baik (good corporate governance ), kredibilitas pemain fintech di mata stakeholder tentu akan semakin baik.
Lagi pula secara substansi, pemain fintech memiliki core business yang sama dengan lembaga jasa keuangan konvensional, yakni bisnis kepercayaan. Komitmen transparansi memungkinkan semakin banyak pihak mengawasi jalannya bisnis fintech dan memastikan aspek kepercayaan tetap terpelihara.
*) Tulisan ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili lembaga tempat bekerja
Analis Bank Indonesia
PERFORMA industri financial technology (fintech) lending pada 2018 tergolong fantastis. Otoritas Jasa Keuangan mencatat akumulasi pinjaman yang disalurkan pemain fintech hingga Oktober 2018 mencapai Rp15,99 triliun. Dibandingkan posisi akhir tahun sebelumnya, angka tersebut tumbuh signifikan, yakni lebih dari empat kali lipat hanya dalam tempo sepuluh bulan.
Setali tiga uang, fintech sistem pembayaran juga mencetak kinerja tak kalah impresif. Per November 2018, Statista merilis nilai transaksi digital payment di Indonesia sebesar USD22,42 juta atau naik 21% dibandingkan tahun sebelumnya. Statista memprediksi nilai ini akan melesat hampir dua kali lipat menjadi USD40 juta pada 2023. Berkaca pada tren apik tersebut, industri ini diproyeksikan masih akan dinaungi awan cerah pada Tahun Babi Tanah.
Sejumlah pemain fintech dikabarkan akan memanfaatkan peluang emas tersebut dengan menggelar penawaran saham perdana (initial public offering /IPO) tahun ini. Rencana aksi korporasi ini telah dikonfirmasi oleh sebuah perusahaan sekuritas yang menyebut sudah ada lima calon emiten fintech. Sayangnya, berdasarkan data Bursa Efek Indonesia per Desember 2018, belum terlihat daftar nama pemain fintech yang akan melakukan IPO hingga Juni 2019. Apakah berarti rencana realisasi IPO fintech akan berlangsung pada semester dua tahun ini? Belum tentu.
Bloomberg memprediksi ada lima tren global pada industri fintech pada 2019. Salah satunya ialah keragu-raguan pemain fintech untuk masuk ke pasar modal (IPOs looming ). Penyebab utamanya ialah kejatuhan harga saham emiten fintech dalam beberapa tahun terakhir. Selain itu, pemain fintech sebagaimana usaha rintisan pada umumnya lebih tertarik fokus mengembangkan produk dibandingkan mengejar laba. Kondisi sebaliknya, justru akan terjadi tatkala mereka terdaftar di bursa saham. Perolehan keuntungan sebesar-besarnya akan menjadi prioritas untuk meningkatkan nilai pemegang saham.
Pendanaan Modal Ventura
Alih-alih mencatatkan diri di pasar modal, opsi investasi dari modal ventura maupun perusahaan raksasa teknologi diyakini masih akan menjadi primadona. Mengutip laporan "Fintech Report 2018" yang dilansir DailySocial, tercatat 12 aksi pendanaan kepada pemain fintech Tanah Air sepanjang 2018. Total nilai investasi mencapai USD180,3 juta karena 66% di antaranya diraih fintech kategori deposit and lending .
Fenomena ini tampaknya masih belum akan berakhir dalam jangka pendek. Pasalnya, pasar usaha rintisan Indonesia memiliki daya magnet besar untuk menarik arus modal asing masuk. Argumen ini turut didukung riset Google-Temasek bertajuk "E-conomy SEA 2018 ". Hasil studi ini menunjukkan ekonomi digital Indonesia dinobatkan sebagai yang terbesar dan tumbuh paling pesat di Asia Tenggara.
Nilai transaksi digital atau Gross Merchandise Value (GMV) Indonesia diperkirakan mencapai USD 27 miliar pada 2018 dan USD100 miliar pada 2025. Rata-rata pertumbuhan tahunan ekonomi digital Indonesia dalam sepuluh tahun mencapai 28%. Berangkat dari tren tersebut, tak heran Indonesia meraih posisi sebagai negara penerima dana investasi usaha rintisan terbesar nomor dua di Asia Tenggara. Dalam tiga tahun terakhir, nilai pendanaan yang dikucurkan sebesar USD6 miliar, dengan rincian USD1,2 miliar (2016), USD3 miliar (2017), dan USD1,8 miliar (semester I-2018).
Dari sisi operasional usaha, pemain fintech pasti lebih nyaman memilih pendanaan modal ventura, terutama jika dikaitkan dengan praktik "bakar uang". Sudah barang tentu pemain fintech tidak akan leluasa memberikan subsidi harga secara masif jika opsi listing pasar modal yang dipilih. Tatkala telah menjadi emiten bursa efek, praktik semacam ini kemungkinan besar akan menuai banyak pertentangan dari investor konservatif. Implikasinya, model bisnis fintech tak ubahnya dengan lembaga jasa keuangan konvensional pada umumnya.
Di sisi lain, dengan mengandalkan pendanaan modal ventura, valuasi saham fintech berpotensi tumbuh eksponensial sekalipun mencatatkan kerugian akibat praktik tidak lazim ini. Sederhananya, valuasi saham fintech dan usaha rintisan pada umumnya tidak ditentukan oleh besar kecilnya perolehan laba. Angka ini lebih banyak dipengaruhi oleh jumlah pengguna aktif aplikasi yang akhirnya terefleksi pada pencapaian GMV. Kondisi ini lantas menjelaskan mengapa strategi bakar uang menjadi sangat diminati dalam menjaring konsumen loyalis sebanyak mungkin.
Hal lain tidak boleh dilupakan ialah adanya manfaat transfer pengetahuan dari pemodal ventura. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemodal ventura tidak hanya sekadar menginjeksikan dana semata. Pemberian mentoring dan perluasan networking bagi pemain fintech menjadi faktor lain yang fundamental. Mempertimbangkan bahwa rata-rata pemain fintech belum memiliki banyak jam terbang dan kompetensi teknis yang memadai, praktis kemitraan dengan pemodal ventura merupakan pilihan paling logis untuk dieksekusi.
Momentum IPO
Berangkat dari konfigurasi problematika di atas, rencana pemain fintech untuk melantai di bursa saham dalam jangka pendek sepertinya masih belum mendapatkan momentum tepat. Jika mengacu ke best practice lima tahapan pendanaan usaha rintisan, pemain fintech seyogianya mendapatkan pendanaan Seri C dahulu sebelum melakukan IPO.
Pada umumnya pendanaan Seri C digunakan untuk ekspansi produk dan membuka cabang secara nasional maupun internasional. Tercatat baru sedikit pemain fintech yang mencapai tahap pendanaan Seri C. Sepanjang 2018, hanya CekAja dan Akulaku yang memperoleh pendanaan Seri C pada Juli dan Oktober. Dengan time horizon yang relatif sempit dan hasil pendanaan belum terlihat, wacana IPO fintech patut dikalkulasi ulang.
Dalam konteks lebih luas, hingga saat ini belum ada pemain fintech lokal yang tercatat sebagai unicorn (usaha rintisan dengan nilai valuasi di atas USD1 miliar). Predikat ini terbilang krusial, terutama jika dikaitkan dengan daya tarik minat investor. Artinya, target paling rasional dalam jangka menengah pascapendanaan Seri C ialah memantapkan status sebagai unicorn . Meskipun demikian, harus diakui target tersebut tidaklah mudah diraih.
Sementara dalam jangka panjang, pemain fintech idealnya memang lebih baik didorong untuk listing di pasar modal, apalagi jika menyandang status unicorn . Dengan adanya serangkaian persyaratan penerapan tata kelola yang baik (good corporate governance ), kredibilitas pemain fintech di mata stakeholder tentu akan semakin baik.
Lagi pula secara substansi, pemain fintech memiliki core business yang sama dengan lembaga jasa keuangan konvensional, yakni bisnis kepercayaan. Komitmen transparansi memungkinkan semakin banyak pihak mengawasi jalannya bisnis fintech dan memastikan aspek kepercayaan tetap terpelihara.
*) Tulisan ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili lembaga tempat bekerja
(thm)