Menakar Dominasi Teknologi Militer China dalam Kancah Global

Jum'at, 25 Januari 2019 - 09:31 WIB
Menakar Dominasi Teknologi Militer China dalam Kancah Global
Menakar Dominasi Teknologi Militer China dalam Kancah Global
A A A
Dave Akbarshah Fikarno Laksono
Anggota Komisi I DPR RI

PIDATO Presiden Xi Jinping dalam perayaan 40 tahun Hubungan Lintas Selat China-Taiwan di Beijing, Selasa 1 Januari 2019 lalu, membuat suhu politik global meninggi. Presiden Jinping secara terbuka menyatakan akan menggunakan kekuatan militer kepada Taiwan jika negara pulau pimpinan Tsai Ing Wen itu tetap menolak bersatu sepenuhnya dengan China. Ancaman itu dilontarkan tepat 40 tahun sejak pengiriman pesan ajakan reunifikasi kepada Taiwan pada 1979.

Melalui anggota Komisi Militer Pusat China, Jenderal Li Zuocheng, China juga telah mengirim pesan langsung kepada Amerika Serikat (AS) yang dianggap sebagai sekutu tak resmi Taiwan, bahwa mereka tidak segan menggunakan kekuatan militer untuk menguasai Taiwan. Gertakan ini tidak bisa dianggap remeh, karena AS pun telah mengakui modernisasi militer China.

Laporan Badan Intelijen Pertahanan AS memaparkan, Beijing terus meningkatkan kapabilitas militer secara masif dalam beberapa tahun terakhir. Laporan Pentagon berjudul "China Military Power" menyebut bahwa China saat ini berada di puncak pencapaian dalam teknologi militer dan mengerahkan sistem senjata paling modern di dunia.

Belum lama ini China telah membuat terobosan dengan mengembangkan senjata mutakhir untuk memperkuat militernya. Senjata yang dikembangkan oleh Angkatan Laut China tersebut bernama hypersonic weapon, yang memiliki jarak tembak 200 km dengan kecepatan 2,5 km per detik atau tujuh kali lebih cepat dari kecepatan suara. Senjata tersebut diindikasikan telah diuji coba oleh Angkatan Laut China di wilayah perairan China Timur, yang dipasang pada kapal perang dengan jenis tank landing ship (TLS).

Mewaspadai Potensi Konflik Kawasan
Kemajuan teknologi militer yang dimiliki oleh China tentu akan membawa pengaruh yang besar sebagai bentuk ancaman bagi negara-negara terutama yang bersitegang dengan China terkait konflik di Laut China Selatan (LCS). Sengketa berkepanjangan di LCS yang melibatkan China dan negara-negara ASEAN serta Taiwan yang berbatasan langsung dengan kawasan LCS, sekaligus menjadi sinyal peringatan bagi Indonesia untuk waspada dan sigap dalam merespons ancaman konflik di wilayah perairan tersebut.

Insiden tertangkapnya kapal nelayan China pada 2016 lalu di perairan Kepulauan Natuna, misalnya, telah mendorong Indonesia untuk mengubah nama perairan tersebut menjadi "Laut Natuna Utara". Langkah Indonesia mengubah nama sebagian LCS yang diperebutkan tersebut merupakan sebuah peringatan terhadap China bahwa Indonesia memiliki otoritas untuk menjaga kedaulatan wilayah tanpa menimbulkan pertikaian.

China tidak mengklaim Kepulauan Natuna, tetapi pada 2016 Kementerian Luar Negeri China mengutip hak historis bagi kapal-kapal penangkap ikan China untuk menggunakan perairan di dekat rantai kepulauan itu. Klaim tersebut dapat dipatahkan karena pada Juli 2016, mahkamah arbitrase dunia memutuskan bahwa China tidak mempunyai dasar hukum atas klaim tersebut.

Langkah Indonesia dipertebal dengan diresmikannya pangkalan militer di Kepulauan Natuna, yang diperkuat 1.000 personel lebih pada Desember 2018 lalu. Pangkalan dekat pelabuhan Selat Lama itu memiliki hanggar untuk pesawat nirawak dan dilengkapi personel yang terlatih untuk segala jenis operasi.

Dalam forum multilateral, Indonesia sebagai anggota negara terbesar ASEAN aktif mendorong penyelesaian sengketa LCS. Dalam pertemuan ASEAN-China, November 2018 lalu, telah disepakati bahwa perundingan penyelesaian Code of Conducts of the South China Sea ditargetkan selesai dalam tiga tahun ke depan. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyatakan LCS harus menjadi kawasan yang stabil dan damai, dan semua pihak harus menghormati hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982. Peran Indonesia tersebut sangat penting untuk meredam ketegangan antarnegara yang bersengketa sehingga konflik bisa mengalami deeskalasi.

Setelah mendapat reaksi yang cukup keras dari beberapa negara ASEAN atas klaim LCS, China menempuh jalur yang lebih lunak melalui kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan. Salah satunya adalah megaproyek infrastruktur One Belt and One Road (OBOR), yakni sebuah instrumen investasi yang menjadi jembatan diplomasi penghubung antara pihak yang bersitegang atas klaim LCS untuk menyelesaikan permasalahan LCS secara damai.

Meski Indonesia melakukan kerja sama perdagangan dan investasi dengan China, hal ini tidak mengubah posisi Indonesia. Sikap Indonesia dalam isu LCS tetap konsisten. Sebagai negara non-claimant state , Indonesia memiliki sikap tegas atas kepentingan di LCS, terutama untuk melindungi kedaulatan Kepulauan Natuna.

Sikap tegas Indonesia telah disampaikan oleh Presiden Jokowi yang menyatakan bahwa salah satu klaim utama China terhadap sebagian besar LCS tidak memiliki dasar hukum dalam hukum internasional, namun Indonesia ingin tetap menjadi "Honest Broker" (perantara yang tidak memihak) dalam salah satu sengketa teritorial Asia yang paling berduri.

Di masa depan, Indonesia dapat terus berperan menjadi negara yang aktif untuk menginterupsi apabila kebijakan luar negeri China berpotensi mengancam stabilitas keamanan regional dan internasional. Dengan demikian, perimbangan kekuatan dunia (global power) tetap terjaga dan usia perdamaian dunia bisa lebih panjang.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6170 seconds (0.1#10.140)
pixels