Saatnya Kampanye Berbasis Program

Jum'at, 25 Januari 2019 - 09:01 WIB
Saatnya Kampanye Berbasis Program
Saatnya Kampanye Berbasis Program
A A A
Stephanie Tangkilisan
Alumni Fakultas Ilmu Politik dan Filsafat University of Chicago

SAAT ini isu politik identitas dan hoaks kerap dibahas menjelang Pemilihan Umum 2019. Dua isu ini (politik identitas dan hoaks) menjadi sentral perdebatan dan menggeser gagasan kampanye berbasis program. Karena itu, kita perlu mengingatkan pentingnya melaksanakan kampanye berbasis program menjelang pemilu presiden dan pemilu legislatif.

Berbagai kekhawatiran pun muncul terkait kemampuan destruktif (merusak) yang mungkin ditimbulkan oleh politik identitas dan hoaks terhadap kualitas demokrasi di Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan yang umumnya timbul adalah apakah isu politik identitas dan hoaks benar-benar akan menurunkan kualitas demokrasi Indonesia pada pemilu yang digelar pada 17 April mendatang? Isu politik identitas telah lama menjadi concern banyak pihak dan masuk dalam perdebatan politik elektoral. Bahkan, isu ini telah muncul sejak 1960-an di Amerika Serikat, sementara hoaks sebagai propaganda politik telah menjadi bagian dari kampanye elektoral sejak pemilu pertama kali digelar di Indonesia pada 1955.

Dalam literasi disebutkan, politik identitas berpusat pada politisasi identitas bersama atau perasaan "kekitaan" yang menjadi basis utama perekat kolektivitas kelompok. Identitas ini lalu dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrem, yang bertujuan mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa "sama", baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya.

Dibandingkan dengan yang terjadi di Amerika Serikat, memang ada situasi yang kontras, bahwa politik identitas di Indonesia cenderung dimaknai secara berlebihan serta dianggap berbahaya. Sementara di Amerika Serikat, politik identitas dianggap sebagai hal yang biasa dan menjadi "makanan" politik wajib yang dikonsumsi masyarakat, bukan hanya saat pemilu akan digelar saja, melainkan juga dalam kehidupan sehari-hari.

Setidaknya ada beberapa variabel yang membuat kondisi pemaknaan politik identitas di Indonesia cenderung berbeda, yakni belum adanya gagasan yang kuat untuk menepis dan menetralisasi politik identitas itu sendiri. Pancasila dan gagasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) belum mampu memainkan perannya secara maksimal. Institusi negara dan penegak hukum belum punya sikap yang jelas dalam menghadapi isu politik identitas. Terlihat belum adanya rasa empati sosial untuk menyelesaikan politik identitas secara adil dan berimbang. Kemudian juga masih kuatnya efek sejarah sejak era kolonial yang membuat ada pemisahan-pemisahan dalam struktur masyarakat.

Ditambah konteks disparitas ekonomi-politik yang terjadi selama era Orde Baru telah menjadikan politik identitas sebagai saluran aspirasi kesenjangan sosial. Karena itu, masyarakat perlu untuk ikut membahas dinamika politik yang oleh banyak pihak ini dianggap meresahkan masyarakat banyak ini, meskipun seharusnya isu ini tidak perlu ditanggapi secara berlebihan.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.0092 seconds (0.1#10.140)