Dangdut, Sawer, dan Kejantanan Laki-Laki

Rabu, 23 Januari 2019 - 06:36 WIB
Dangdut, Sawer, dan...
Dangdut, Sawer, dan Kejantanan Laki-Laki
A A A
Dr Ahmad Zainul Hamdi
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya
Wakil Ketua ISNU Jawa Timur

SAYA lahir dan tumbuh di lingkungan sosial desa di mana dangdut adalah selera musik hampir semua orang. Jika membicarakannya dalam konteks sejarah perkembangan masyarakat, selera berdangdut yang tumbuh di kalangan anak-anak muda di lingkungan saya saat itu mungkin bisa dianggap sebagai era peralihan dari seni rakyat-tradisional ke seni modern-populer.

Seiring dengan hilangnya generasi tua sebagai soko guru seni-rakyat-tradisional, misalnya tayub atau gambyong, anak-anak muda mulai menikmati rancaknya musik dangdut. Jadi sejak kecil, saya sangat familiar dengan dua jenis kesenian tersebut.

Peralihan ini sesungguhnya bukan sebuah lompatan sejarah yang signifikan. Semelo apapun lirik-lirik lagu dangdut, gendangannya tetap memungkinkan penikmatnya untuk bisa bergoyang dengan riang. Layaknya gendang dalam seni tayub, gendang dangdut selalu menyediakan dirinya sebuah ruang agar lagu dangdut tetap bisa digunakan untuk berjoged.

Karenanya, tidak mengherankan sekalipun orang-orang tua tetap lebih menyukai tayub, namun di antara mereka juga asyik-asyik saja dengan lagu-lagu dangdut. Begitu juga anak-anak muda, sekalipun mereka lebih menyukai musik dangdut, tapi mereka tidak kalah antusiasnya jika ada pagelaran tayub di desa, baik di acara hajatan kemantenan maupun bersih desa.

Ketika sekarang muncul fenomena dangdut koplo yang ciri utamanya adalah hentakan gendang ala tayub dipadu dengan senggakan-senggakan musisinya di beberapa part, hal ini sama sekali tidak mengherankan. Dangdut koplo bisa dikatakan sebagai hasil kawin silang antara dangdut (musik Melayu) dan tayub (seni tradisional-rakyat).

Salah satu fenomena menarik terkait dengan lahirnya dangdut koplo adalah praktik nyawer terhadap penyanyi. Sawer adalah praktik yang umum ditemui dalam seni rakyat tradisional, semisal tayub atau lengger atau jaipong. Baik dalam pertunjukan tayub maupun lengger, laki-laki yang ingin bertandak dengan sang penari harus nyawer sang penari, baik dari tangan ke tangan maupun memasukkan uang ke dalam kemben sang penari.

Dalam pertunjukan dangdut-melayu hingga dasawarsa 90-an, nyawer ke biduan bukan sesuatu yang umum. Namun saat ini, nyaris setiap pertunjukan dangdut koplo, para laki-laki yang berjoged, baik di atas pentas maupun di bawah, selalu nyawer biduan yang sedang bernyanyi.

Biasanya sekali nyawer, para laki-laki itu memberi uang antara lima hingga sepuluh ribu rupiah. Fenomena ini bisa dilihat langsung dalam pertunjukan dangdut koplo maupun video-video bajakan dangdut koplo yang setiap hari di putar di warung-warung kopi rakyat pinggir jalan.

Jika dangdut koplo dilihat sebagai seni hibrida antara dagdut-melayu dengan seni rakyat tradisional, fenomena nyawer bukan seuatu yang aneh. Kewajarannya praktik sawer dalam dangdut koplo seperti kewajaran masuknya hentakan gendang dan senggakan khas seni rakyat tradisional ke dalam dangdut saat ini.

Makna Sawer
Seorang biduan diundang untuk bernyanyi dan karenanya dia berhak mendapatkan honorarium sebagai bentuk pertukaran atas layanan jasanya. Ini tak beda dari semua bisnis jasa apapun. Lalu, apa makna nyawer dalam pertunjukan dangdut saat ini? Apakah uang sawer ini semacam bayaran ekstra bagi si penyanyi?

Dari sudut padang penyanyi, bisa jadi uang yang diterima dari penyawer adalah hasil tambahan di luar honorarium resmi yang ia terima dari pengundang. Di sini, sawer semacam uang ekstra karena si pengguna jasa merasa puas dengan layanan penyedia jasa. Ini juga tak beda dengan yang terjadi pada berbagai profesi penyedia jasa lain.

Akan tetapi, jika sawer adalah semacam uang kepuasan ekstra, mengapa setiap biduan yang bernyanyi akan di-sawer? Untuk apa sesungguhnya para laki-laki itu memberi uang sawer kepada si biduan? Jika itu dianggap sebagai bentuk kedermawanan yang secara moral adalah sebuah tindakan kebajika, bagaimanakah kedermawanan itu seharusnya terjadi secara wajar?

Bukankah kedermawanan yang wajar adalah ketika orang yang memiliki harta lebih memberi sesuatu kepada orang yang lebih tidak berpunya. Marilah kita melihat posisi ekonomi antara laki-laki penyawer dengan sang biduan.

Memang, ada laki-laki penyawer yang berharta lebih banyak dari si biduan. Tapi jelas sebagian besar penonton dangdut yang menyawer adalah laki-laki biasa yang hidup dengan pemasukan bias-biasa saja, bahkan jika dibanding dengan pemasukan biduan dangdut, bisa jadi para laki-laki penyawer itu hidup pas-pasan.

Jika menggunakan hitungan margin bawah, seorang biduan dangdut akan dibayar sekitar lima ratus hingga satu juta rupiah untuk sekali pertunjukan. Hitunglah berapa pemasukannya dalam sebulan jika setidaknya dia mendapat undangan menyanyi sekali dalam seminggu.

Bandingkan dengan gaji pekerja kasar, kuli bangunan misalnya, yang mendapat gaji rata-rata tujuh puluh lima ribu ruiah untuk bekerja sehari penuh. Jelas bahwa ini bukan semata-mata urusan kedermawanan.

Apakah laki-laki penyawer itu tidak tahu bahwa kehidupan ekonomi biduan yang di-sawer-nya lebih baik dari dirinya? Jelas sebagian besar mereka menyadari itu. Lalu apa yang menjadi motifnya?

Sawer adalah pembuktian kelaki-lakian dari manusia yang berjenis kelamin jantan. Norma gender mendikte bagaimana seorang yang berjenis kelamin jantan atau betina diharapkan menunjukkan kelaki-lakian atau kewanitaannya dengan cara tertentu.

Menjadi laki-laki, misalnya, bukan semata-mata terlahir dengan organ biologis dan susunan kromosom tertentu. Menjadi laki-laki bukan sesuatu yang selesai. Ia harus diperjuangkan terus-menerus.

Dalam ideologi gender yang mengangungkan kekuatan dan kekuasaan laki-laki, kelaki-lakian salah satunya harus dibuktikan dengan cara “memiliki” perempuan. Karena perempuan dianggap sebagai hak milik, perempuan dipadang sebagai benda.

Untuk memiliki perempuan yang sudah dibendakan ini, laki-laki mengerahkan segala daya untuk menunjukkan kekuasaannya. Uang dianggap banyak laki-laki sebagai sarana penting untuk memiliki perempuan. Tidak hanya uang, bahkan laki-laki pun rela melepaskan nyawanya untuk membuktikan bawa dia adalah laki-laki sejati.

Dalam konteks sawer biduan dangdut, apakah perempuan layak dituduh sebagai makhluk tak bermoral karena memanipulasi hasrat kelaki-lakian? Moral tidak menjadi isu di sini. Poinnya adalah kelaki-lakian bukan kategori yang sudah jadi sejak dari sono-nya. Kelaki-lakian adalah identitas yang terus diperjuangankan.

Jika merasa berat menjadi laki-laki, kita punya pilihan lain kok. Karena, norma gender adalah fiksi yang kita ciptakan sendiri, setidaknya, itulah yang dikatakan Harari dalam bukunya yang berjudul Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia (2011).
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0672 seconds (0.1#10.140)