Commercialization of Sex

Jum'at, 18 Januari 2019 - 06:36 WIB
Commercialization of Sex
Commercialization of Sex
A A A
Faisal Ismail Guru Besar Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

KATA commercialization (Inggris; noun/kata benda) sudah diindonesiakan menjadi komersialisasi. Kata commercialization berasal dari verb/kata kerja to commercialize. Dalam The Random House of Dictionary of the English Language (Random House, edisi kedua, New York, 1987, hlm. 411), kata kerja to commercialize diartikan to offer for sale; make available as commodity (menawarkan untuk dijual; membuat tersedia sebagai komoditas). Jadi, commercialization of sex (komersialisasi seks) berarti menawarkan dan menjajakan seks (perempuan) sebagai komoditas untuk dijual kepada laki-laki. Praktik bisnis mesum seperti ini dikenal dengan sebutan prostitusi (pelacuran).

Pria hidung belang menikmati seks bersama prostitute (wanita pelacur) dengan membayar sejumlah uang yang sudah disepakati antara kedua belah pihak. Transaksi prostitusi ini bisa langsung antara pria hidung belang dengan perempuan pekerja seks komersial (PSK) atau bisa melalui mucikari sebagai perantara. Di era komunikasi modern seperti sekarang ini, sang mucikari menawarkan PSK-nya secara daring kepada pria hidung belang dan prostitusi dilakukan di hotel berbintang dengan tarif mahal untuk sekali kencan.

Praktik prostitusi sudah sejak lama ada dan terjadi di mana-mana di belahan dunia ini. Praktik prostitusi tampak sulit diberantas ke akar-akarnya sampai ke titik nol. Bisa jadi dapat dicegah di satu lokasi tertentu, tetapi kemudian muncul lagi dan menjamur di lokasi lain. Prostitusi bisa terjadi di kalangan komunitas agama karena ketergiuran godaan fulus dan materi yang meruntuhkan akidah serta moral pelakunya. Terlebih dalam masyarakat yang menganut sekularisme (paham dan pandangan hidup yang memisahkan ajaran agama dari kehidupan keduniawian), praktik prostitusi terjadi secara masif. Dalam masyarakat sekuler yang menganut filsafat hidup, pandangan hidup, dan moralitas sekuler, pornografi dan prostitusi saling berkelindan serta menjamur secara eskalatif dan masif.

Di Amerika Serikat (AS), misalnya, pornografi sudah menjadi bisnis besar dan dijual luas, antara lain di majalah Playboy dan Penthouse. Komersialisasi seks dan prostitusi juga sulit dibendung di AS karena masyarakat di negeri Paman Sam itu menganut moral sekuler. Majalah Plain Truth yang terbit di AS dalam sebuah edisinya pada 1980-an menyebut permissiveness sebagai curse of western society (kutukan terhadap masyarakat Barat). Kutukan permissiveness tidak hanya terjadi di masyarakat Barat, tetapi terjadi juga di hampir semua masyarakat di dunia, termasuk di Indonesia. Pernah dirilis data di media massa, terdapat lebih dari 100 tempat lokalisasi prostitusi yang dilegalisasi di seluruh Indonesia. Ironis! Justru hal ini terjadi di sebuah negara yang dikenal sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia.

Kasus Terkini

Hampir di semua kota besar di Indonesia terdapat lokalisasi prostitusi. Kita menyampaikan apresiasi dan salut kepada Sutiyoso (saat itu sebagai Gubernur DKI Jakarta) dan Tri Rismaharini (Wali Kota Surabaya sekarang) yang bertindak tegas meniadakan lokalisasi pelacuran di wilayahnya masing-masing. Sutiyoso menyulap pusat pelacuran Kramat Tunggak menjadi Islamic Center. Tri Risma melikuidasi pusat pelacuran Gang Dolly menjadi kawasan nyaman dan terhormat. Sungguh sangat mulia kebijakan dan tindakan yang diambil Sutiyoso dan Tri Rismaharini. Kebijakan keduanya patut dicontoh oleh gubernur, wali kota, dan bupati, untuk menghapus lokalisasi pelacuran yang ada di daerahnya masing-masing.

Saya tidak sependapat dengan kalangan yang mengatakan pelacuran harus dilokalisasi agar tidak menyebar ke mana-mana. Jika logika absurd ini diikuti, korupsi juga harus dilokalisasi agar tidak menyebar ke mana-mana. Prostitusi dan korupsi itu sama saja, sama-sama haram. Tidak perlu dilokalisasi. Upaya penting dan strategis yang perlu kita lakukan adalah memperkuat pelaksanaan pendidikan agama dan moral agar orang merasa malu untuk melacur dan berselingkuh seraya melakukan pengawasan ketat dan pencegahan terhadap bisnis esek-esek ini secara berkesinambungan dan efektif.

Komersialisasi seks dalam bentuk prostitusi daring terjadi di Surabaya baru-baru ini dan kasus ini telah ditangani Kepolisian Jatim. Kabid Humas Polda Jatim Kombes Polisi Frans Barung Mangera mengungkapkan, sebanyak 45 artis diduga terlibat prostitusi daring (di bawah jaringan germo ES dan TN), umur mereka rata-rata di bawah 29 tahun dan ada di antaranya masih berusia 19 tahun.

Kapolda Jatim Irjen Luki Hermawan mengonfirmasi ada 45 artis dan 100 model terlibat pelacuran yang didukung data otentik rekam jejak digital daring mulai dari lokasi di hotel, rekaman percakapan, hingga terjadinya transaksi prostitusi tersebut. Germo ES dan TN berbagi tugas dalam menjalankan komersialisasi seks ini. ES mengendalikan 45 artis, sedangkan TN membawahi ratusan model untuk dijajakan dan ditawarkan kepada pria hidung belang. Polisi telah menetapkan ES dan TN sebagai tersangka. Polda Jatim secara serius terus mengusut jaringan komersialisasi seks ini dengan memanggil para artis dan oknum yang diduga terlibat.

Dalam praktik komersialisasi seks dan transaksi prostitusi daring yang dikendalikan ES dan TN itu, artis dengan inisial VA dan AS serta lima artis lainnya, disebut terlibat dalam praktik prostitusi daring ini. Kapolda Jatim Irjen Luki Hermawan mengungkapkan, jaringan komersialisasi seks dan praktik prostitusi daring yang dikendalikan ES dan TN ini bisa melayani pemesannya (pengusaha) dari dalam dan luar negeri, seperti Hong Kong dan Singapura. Prostitusinya dilakukan di hotel berbintang di Surabaya dengan tarif sangat fantastis, yaitu Rp80 juta dan ada pula yang Rp25 juta untuk sekali kencan.

Bagi kaum agamawan, beriman, dan moralis, segala bentuk komersialisasi seks dan praktik prostitusi adalah perbuatan tercela, asusila, dan amoral. Saya yakin, semua agama melarang semua praktik komersialisasi seks dan pelacuran. Semua agama hanya membenarkan dan melegalkan hubungan seks melalui ikatan pernikahan yang sah antara pria dan wanita. Dalam perspektif hukum Islam, segala bentuk hubungan seks di luar nikah merupakan dosa besar dan dikategorikan sebagai perbuatan zina sangat terlarang (haram). Karena itu, semua perbuatan mesum, perselingkuhan, dan pelacuran harus dijauhi dan ditinggalkan.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3528 seconds (0.1#10.140)