Menanti Komitmen Pemajuan Kebudayaan Daerah

Selasa, 15 Januari 2019 - 07:29 WIB
Menanti Komitmen Pemajuan Kebudayaan Daerah
Menanti Komitmen Pemajuan Kebudayaan Daerah
A A A
Riko Noviantoro
Mahasiswa Magister Ilmu Administrasi Universitas Nasional Jakarta

BADAN Pengem­bang­an dan Pem­binaan Bahasa pa­da 2017 meng­in­ven­tarisasi jumlah bahasa dae­rah sebanyak 652 bahasa. Jum­lah itu belum menghitung de­ngan dialek dan subdialek. Se­dangkan Sensus Penduduk 2010, jumlah bahasa di Indo­ne­sia mencapai 2.500. Jumlah itu hampir dua kali lipat dari jum­lah suku bangsa yang ber­huni di bumi Nusantara, men­ca­pai 1.340 suku bangsa. Fan­tastis.

Sayangnya, bahasa daerah itu tidak semua terawat baik. Sejumlah riset menunjukkan kondisi bahasa daerah meng­alami kepunahan dan se­ba­gi­an terancam punah. Dari ber­ba­gai data tercatat 19 bahasa daerah terancam punah, dua ba­hasa daerah kritis, dan 11 ba­hasa daerah sudah punah (Ba­dan Bahasa: 2018).

Punahnya satu bahasa dae­rah harus dimaknai sebagai ben­cana kebudayaan. Keben­ca­na­an yang sama dahsyatnya dengan bencana alam lain. Bahkan punahnya bahasa dae­rah akan berlanjut pada pu­nahnya sebagian budaya pada suku yang menggunakan ba­ha­sa itu. Maka, kemudian iden­titas suku itu pun akan punah seiring waktu.

Pemerhati bahasa me­nya­ta­kan kepunahan sebuah ba­hasa bukan sekadar kepu­nah­an kosakata atau tata bahasa, tetapi kehilangan warisan bu­daya bangsa yang sangat ber­har­ga (Hurip Danu, 2018). Tak heran jika lembaga setingkat UNESCO pun mengkhawatir­kan punahnya suatu bahasa ka­rena akan diikuti pula pu­nah­nya pengetahuan yang hi­dup dalam suku tersebut.

Sayangnya, kesadaran ten­tang peran strategis bahasa dae­rah tidak begitu banyak di­sadari masyarakat. Bahasa daerah hanya ditempatkan se­bagai alat komunikasi komu­ni­tas semata. Bahasa daerah be­lum ditempatkan sebagai identitas sosial yang kuat. Hal itu dibuktikan dari generasi mu­da yang enggan kembali meng­gunakan bahasa daerah dalam kesehariannya. Me­mi­lih gunakan bahasa asing se­ba­gai simbol pribadinya.

Padahal, bahasa daerah bu­kan semata alat komunikasi ko­munitas. Bahasa daerah harus dipandang sebagai ke­ka­yaan bangsa. Kekayaan yang di­se­jajarkan dengan kekayaan alam lain yang tersimpan di bumi Nusantara. Kekayaan linguistik juga memiliki nilai strategis, baik dari sisi eko­no­mi, sosial, maupun politik.

Tidak pula dipungkiri upa­ya pemerintah mendorong hi­dupnya bahasa daerah telah di­lakukan. Mulai dari men­ja­di­kan bahasa daerah sebagai muatan lokal pelajaran seko­lah sampai upaya meng­gu­na­kan bahasa daerah pada se­jum­lah ­materi informasi pub­lik di daerah. Namun, upaya tersebut belumlah cukup.

Peran media massa untuk terlibat dalam menjaga bahasa daerah juga penting. Saya me­rasa momentum debat calon presiden bisa menjadi langkah efektif. Langkah untuk me­nge­nalkan kembali bahasa daerah. Para calon pemimpin bang­sa ini perlu sesekali diuji kemampuan berkomunikasi dalam bahasa daerah yang di­kuasainya. Memang faktanya pun bahasa daerah tidak men­jadi bagian dalam janji politik para calon presiden ini.

Jika ini bisa diwujudkan, rasanya pun suasana debat akan lebih Indonesia. Para pen­du­kung kedua capres akan ter­hi­p­notis secara sendiri. Mereka me­nyadari secara lang­sung pen­tingnya bahasa daerah. Pa­nelis debat capres perlu juga me­nanyakan arah kebijakan ter­kait menjaga ba­hasa daerah dan bahasa Indo­nesia.

Dengan argumentasi itu­lah, sangat tepat memasukkan bahasa daerah sebagai materi uji kemampuan komunikasi para calon presiden. Semoga melalui materi bahasa daerah, bisa membangun kesadaran tentang pentingnya menjaga bahasa daerah. Indonesia Berbudaya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6324 seconds (0.1#10.140)