Menanti Komitmen Pemajuan Kebudayaan Daerah
A
A
A
Riko Noviantoro
Mahasiswa Magister Ilmu Administrasi Universitas Nasional Jakarta
BADAN Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pada 2017 menginventarisasi jumlah bahasa daerah sebanyak 652 bahasa. Jumlah itu belum menghitung dengan dialek dan subdialek. Sedangkan Sensus Penduduk 2010, jumlah bahasa di Indonesia mencapai 2.500. Jumlah itu hampir dua kali lipat dari jumlah suku bangsa yang berhuni di bumi Nusantara, mencapai 1.340 suku bangsa. Fantastis.
Sayangnya, bahasa daerah itu tidak semua terawat baik. Sejumlah riset menunjukkan kondisi bahasa daerah mengalami kepunahan dan sebagian terancam punah. Dari berbagai data tercatat 19 bahasa daerah terancam punah, dua bahasa daerah kritis, dan 11 bahasa daerah sudah punah (Badan Bahasa: 2018).
Punahnya satu bahasa daerah harus dimaknai sebagai bencana kebudayaan. Kebencanaan yang sama dahsyatnya dengan bencana alam lain. Bahkan punahnya bahasa daerah akan berlanjut pada punahnya sebagian budaya pada suku yang menggunakan bahasa itu. Maka, kemudian identitas suku itu pun akan punah seiring waktu.
Pemerhati bahasa menyatakan kepunahan sebuah bahasa bukan sekadar kepunahan kosakata atau tata bahasa, tetapi kehilangan warisan budaya bangsa yang sangat berharga (Hurip Danu, 2018). Tak heran jika lembaga setingkat UNESCO pun mengkhawatirkan punahnya suatu bahasa karena akan diikuti pula punahnya pengetahuan yang hidup dalam suku tersebut.
Sayangnya, kesadaran tentang peran strategis bahasa daerah tidak begitu banyak disadari masyarakat. Bahasa daerah hanya ditempatkan sebagai alat komunikasi komunitas semata. Bahasa daerah belum ditempatkan sebagai identitas sosial yang kuat. Hal itu dibuktikan dari generasi muda yang enggan kembali menggunakan bahasa daerah dalam kesehariannya. Memilih gunakan bahasa asing sebagai simbol pribadinya.
Padahal, bahasa daerah bukan semata alat komunikasi komunitas. Bahasa daerah harus dipandang sebagai kekayaan bangsa. Kekayaan yang disejajarkan dengan kekayaan alam lain yang tersimpan di bumi Nusantara. Kekayaan linguistik juga memiliki nilai strategis, baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun politik.
Tidak pula dipungkiri upaya pemerintah mendorong hidupnya bahasa daerah telah dilakukan. Mulai dari menjadikan bahasa daerah sebagai muatan lokal pelajaran sekolah sampai upaya menggunakan bahasa daerah pada sejumlah materi informasi publik di daerah. Namun, upaya tersebut belumlah cukup.
Peran media massa untuk terlibat dalam menjaga bahasa daerah juga penting. Saya merasa momentum debat calon presiden bisa menjadi langkah efektif. Langkah untuk mengenalkan kembali bahasa daerah. Para calon pemimpin bangsa ini perlu sesekali diuji kemampuan berkomunikasi dalam bahasa daerah yang dikuasainya. Memang faktanya pun bahasa daerah tidak menjadi bagian dalam janji politik para calon presiden ini.
Jika ini bisa diwujudkan, rasanya pun suasana debat akan lebih Indonesia. Para pendukung kedua capres akan terhipnotis secara sendiri. Mereka menyadari secara langsung pentingnya bahasa daerah. Panelis debat capres perlu juga menanyakan arah kebijakan terkait menjaga bahasa daerah dan bahasa Indonesia.
Dengan argumentasi itulah, sangat tepat memasukkan bahasa daerah sebagai materi uji kemampuan komunikasi para calon presiden. Semoga melalui materi bahasa daerah, bisa membangun kesadaran tentang pentingnya menjaga bahasa daerah. Indonesia Berbudaya.
Mahasiswa Magister Ilmu Administrasi Universitas Nasional Jakarta
BADAN Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pada 2017 menginventarisasi jumlah bahasa daerah sebanyak 652 bahasa. Jumlah itu belum menghitung dengan dialek dan subdialek. Sedangkan Sensus Penduduk 2010, jumlah bahasa di Indonesia mencapai 2.500. Jumlah itu hampir dua kali lipat dari jumlah suku bangsa yang berhuni di bumi Nusantara, mencapai 1.340 suku bangsa. Fantastis.
Sayangnya, bahasa daerah itu tidak semua terawat baik. Sejumlah riset menunjukkan kondisi bahasa daerah mengalami kepunahan dan sebagian terancam punah. Dari berbagai data tercatat 19 bahasa daerah terancam punah, dua bahasa daerah kritis, dan 11 bahasa daerah sudah punah (Badan Bahasa: 2018).
Punahnya satu bahasa daerah harus dimaknai sebagai bencana kebudayaan. Kebencanaan yang sama dahsyatnya dengan bencana alam lain. Bahkan punahnya bahasa daerah akan berlanjut pada punahnya sebagian budaya pada suku yang menggunakan bahasa itu. Maka, kemudian identitas suku itu pun akan punah seiring waktu.
Pemerhati bahasa menyatakan kepunahan sebuah bahasa bukan sekadar kepunahan kosakata atau tata bahasa, tetapi kehilangan warisan budaya bangsa yang sangat berharga (Hurip Danu, 2018). Tak heran jika lembaga setingkat UNESCO pun mengkhawatirkan punahnya suatu bahasa karena akan diikuti pula punahnya pengetahuan yang hidup dalam suku tersebut.
Sayangnya, kesadaran tentang peran strategis bahasa daerah tidak begitu banyak disadari masyarakat. Bahasa daerah hanya ditempatkan sebagai alat komunikasi komunitas semata. Bahasa daerah belum ditempatkan sebagai identitas sosial yang kuat. Hal itu dibuktikan dari generasi muda yang enggan kembali menggunakan bahasa daerah dalam kesehariannya. Memilih gunakan bahasa asing sebagai simbol pribadinya.
Padahal, bahasa daerah bukan semata alat komunikasi komunitas. Bahasa daerah harus dipandang sebagai kekayaan bangsa. Kekayaan yang disejajarkan dengan kekayaan alam lain yang tersimpan di bumi Nusantara. Kekayaan linguistik juga memiliki nilai strategis, baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun politik.
Tidak pula dipungkiri upaya pemerintah mendorong hidupnya bahasa daerah telah dilakukan. Mulai dari menjadikan bahasa daerah sebagai muatan lokal pelajaran sekolah sampai upaya menggunakan bahasa daerah pada sejumlah materi informasi publik di daerah. Namun, upaya tersebut belumlah cukup.
Peran media massa untuk terlibat dalam menjaga bahasa daerah juga penting. Saya merasa momentum debat calon presiden bisa menjadi langkah efektif. Langkah untuk mengenalkan kembali bahasa daerah. Para calon pemimpin bangsa ini perlu sesekali diuji kemampuan berkomunikasi dalam bahasa daerah yang dikuasainya. Memang faktanya pun bahasa daerah tidak menjadi bagian dalam janji politik para calon presiden ini.
Jika ini bisa diwujudkan, rasanya pun suasana debat akan lebih Indonesia. Para pendukung kedua capres akan terhipnotis secara sendiri. Mereka menyadari secara langsung pentingnya bahasa daerah. Panelis debat capres perlu juga menanyakan arah kebijakan terkait menjaga bahasa daerah dan bahasa Indonesia.
Dengan argumentasi itulah, sangat tepat memasukkan bahasa daerah sebagai materi uji kemampuan komunikasi para calon presiden. Semoga melalui materi bahasa daerah, bisa membangun kesadaran tentang pentingnya menjaga bahasa daerah. Indonesia Berbudaya.
(maf)