Fiskal Dinamis
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
PERKEMBANGAN hasil kebijakan fiskal tahun 2018 pada akhirnya telah mencapai titik puncaknya. Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berhasil mencatat realisasi penerimaan negara sebesar Rp1.943,3 triliun atau sekitar 102,5% dari target APBN 2018.
Tingkat pertumbuhan pendapatan negara secara akumulatif mencapai 16,6% secara year on year dan melesat dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 7,1%. Jajaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) layak diberikan acungan jempol atas kinerjanya. Begitu pula dengan raihan belanja negara, sampai akhir tahun fiskal 2018, realisasi belanja kita telah mencapai 99,2% dari alokasi 2018.
Tentunya hal ini dapat meningkatkan kontribusi pemerintah dalam perekonomian, baik secara langsung maupun intermediasi. Paling lebih melegakan lagi tahun kemarin kita bisa menekan defisit fiskal hingga hanya sebesar 1,76% terhadap produk domestik bruto (PDB), jauh di bawah target APBN 2018 sebesar 2,19%.
Indikator keseimbangan primer juga berhasil ditekan hingga hanya defisit Rp1,8 triliun. Capaian keduanya (defisit fiskal dan keseimbangan primer) menjadi paling hemat (kecil) sejak 2012.
Prestasi ini bisa menjadi kado manis dari Presiden Jokowi dan jajaran pemerintahannya menjelang berakhirnya periode pertama masa kepemimpinannya. Dalam press release yang disampaikan Menteri Keuangan, realisasi sementara penerimaan pajak hingga ditutupnya tahun kalender 2018 mencapai Rp1.521,4 triliun atau sekitar 94% dari target APBN. Kendati masih di bawah angka target, tetapi dari sisi pertumbuhannya sudah sangat meyakinkan dengan posisi sementara sebesar 13,2%.
Rasio pajak (tax ratio) mengalami kenaikan 0,8% menjadi 11,5% pada tahun 2018. Kenaikan ini menandakan bahwa langkah reformasi perpajakan selama tahun fiskal 2018 banyak mendukung kemajuan terhadap capaian penerimaan perpajakan.
Beberapa langkah reformasi dalam setahun terakhir di antaranya adalah upaya peningkatan basis pajak setelah pemberlakuan tax amnesty, penyempurnaan data dan sistem informasi perpajakan yang up to date dan terintegrasi, serta beberapa insentif fiskal seperti diberlakukannya tax holiday dan tax allowance untuk meningkatkan investasi dan daya saing ekonomi.
Struktur pendapatan negara sebagian besar masih disokong dari penerimaan pajak, yakni sekitar 78,33% dari pendapatan negara secara keseluruhan. Perolehan ini semakin mengukuhkan betapa pentingnya peranan pajak dalam kekuatan/kapasitas fiskal di negara kita.
Beberapa sektor lapangan usaha mengalami pertumbuhan signifikan jumlah setoran pajak yang dihasilkan. Sektor industri pengolahan yang berkontribusi sebesar Rp363,6 triliun (sekitar 30% dari total penerimaan pajak), jumlah setorannya meningkat sebesar 18,28%.
Berikutnya sektor perdagangan menghasilkan pajak sebesar Rp234,46 triliun (19,3%), setorannya meningkat sebesar 25,09%. Adapun pertumbuhan tertinggi dihasilkan dari sektor pertambangan yang pada tahun kemarin meningkat 40,83%. Akan tetapi, angka itu masih lebih rendah dibandingkan pertumbuhan tahun sebelumnya yang mencapai 51,15%.
Nah yang menarik, salah satu sebab kenaikan pendapatan negara yang signifikan ini adalah berkat menguatnya peranan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dukungan PNBP yang melesat ini sudah semestinya perlu juga kita apresiasi. Pasalnya, selama ini kontribusi PNBP nyaris tenggelam karena tidak dikelola optimal.
Realisasi sementara PNBP mencapai Rp407,1 triliun atau sekitar 147,8% dari target APBN. Tingkat pertumbuhannya juga cukup fantastis dengan berada di posisi 30,8%. Faktor utama yang mendorong capaian progresif tersebut adalah meningkatnya harga komoditi andalan khususnya harga batu bara (USD99,3/ton) dan minyak (USD67,5/barel) selama satu tahun terakhir.
Catatan lainnya ialah momentum pertumbuhan PNBP SDA yang mampu dijaga serta pendapatan bagian laba BUMN yang meningkat dari Rp47,3 triliun menjadi Rp53,7 triliun dan menjadi tertinggi sejak 2012 silam. Kendati tergolong potensial, selama ini PNBP kurang dilirik karena bargaining-nya tidak terlalu menyokong capaian tax ratio.
Ke depannya, dibutuhkan langkah-langkah transformatif agar potensi-potensi yang kita miliki (tidak hanya PNBP) bisa memiliki andil permanen efektif untuk meningkatkan kapasitas fiskal kita. Belajar atas fenomena tersebut, penulis menilai ada baiknya pemerintah perlu menyusun kerangka kebijakan fiskal jangka menengah dan panjang (middle/long term fiscal framework).
Pentingnya perencanaan tersebut untuk menghindari dinamika penerimaan yang akan sangat memengaruhi keberlangsungan program-program pemerintah. Selain itu, jika pemerintah memiliki kerangka jangka menengah dan panjang akan semakin meningkatkan kemampuan governance (tata kelola) pemerintah di mata investor maupun pihak lain yang berkepentingan bisnis dengan pemerintah.
Pentingnya Kerangka Fiskal
Dalam perspektif pembangunan berkelanjutan, peran fiskal akan sangat dinamis untuk mengimbangi berbagai kemungkinan/kebutuhan di masa depan. Peran fiskal dari sisi belanja adalah untuk menciptakan stabilitas pembangunan negara melalui pembiayaan/investasi pemerintah yang bermuara pada peningkatan produktivitas nasional.
Sementara itu, dari sisi pendapatan akan menjadi kunci pengendalian ritme peran pemerintah (melalui belanja) agar tetap bisa terlaksana dengan optimal dan berkesinambungan. Pentingnya kerangka fiskal jangka menengah dan panjang adalah untuk memberikan gambaran/proyeksi kebijakan fiskal dalam beberapa tahun mendatang, bagaimana cara mencapai visi pembangunan yang dicanangkan secara berjenjang, seraya melakukan mitigasi risiko agar kinerja makro fiskal tetap sehat dan tidak membebani pemerintah serta masyarakat di kemudian hari.
Dalam frasa ringkasnya, pemerintah perlu menjaga kemampuan pembiayaan/belanjanya secara berkelanjutan, tanpa membahayakan fungsi-fungsi anggarannya. Dari situlah diksi sustainabilitas fiskal dilahirkan.
Dalam berbagai literatur mengenai kerangka fiskal jangka menengah dan panjang, ada empat indikator paling umum untuk dijadikan parameter kesehatan makro fiskal di sebuah negara, yakni rasio utang (debt ratio), rasio pajak (tax ratio), defisit fiskal (fiscal deficit), dan keseimbangan primer (primary balance). Semua indikator dirasiokan dengan besaran PDB.
Dari empat indikator tersebut, pemerintah dapat menyesuaikan langkah preventif untuk meminimalisasikan risiko dan mendorong produktivitas APBN. Secara umum, middle/long term fiscal framework (MTFF/LTFF) diarahkan untuk memperkokoh pengelolaan fiskal yang mampu mendorong investasi dan daya saing bangsa.
Langkah yang bisa ditempuh di antaranya adalah dengan menjaga kebijakan fiskal tetap ekspansif, tetapi perlu difokuskan untuk meningkatkan kapasitas produksi dan daya saing nasional. Dalam posisi ini, empat indikator makro fiskal yang tadi disebutkan akan menjadi alarm mitigasinya.
Tax ratio akan menjadi parameter bagi pemerintah untuk mengukur sejauh mana produktivitas APBN dalam membiayai kebutuhan pembangunan. Dalam pola kebijakan ekspansif, risiko defisit fiskal dan rasio utang akan meningkat jika tax ratio-nya mengalami stagnasi.
Pada kondisi itu, kemampuan pemerintah dalam memenuhi kewajibannya (solvabilitas) akan menurun karena beban utang memangkas diskresi dalam pemanfaatan sumber daya APBN untuk menstimulasi perekonomian.
Pada tahap selanjutnya akan mulai terlihat sejauh mana posisi primary balance sebagai refleksi gap antara pendapatan negara dan belanja. Semakin besar angka primary balance, maka diskresi pemerintah akan semakin mengecil. Jadi, solvabilitas pemerintah bisa terbelenggu oleh beban utang.
Oleh karena itu, MTFF dan LTFF diharapkan dapat disusun pemerintah untuk menggambarkan milestones kebijakan fiskal. Pada intinya, pemerintah perlu membuat rencana pembangunan yang diselaraskan dengan visi dan proyeksi kebutuhan kebijakan secara dinamis pada periode-periode tertentu.
Misalnya untuk lima tahun mendatang, pada saat kita diprediksi akan berada di era bonus demografi, kebijakan yang dibutuhkan adalah meningkatkan kapasitas lapangan pekerjaan secara masif untuk memanfaatkan potensi tersebut.
Maka itu, kebijakan strategis yang dibutuhkan adalah meningkatkan daya saing investasi melalui perbaikan regulasi investasi, ekspansi keterampilan SDM, dan peningkatan kapasitas serta kualitas infrastruktur dengan lebih merata. Muaranya adalah peningkatan produktivitas nasional secara menyeluruh. Lantas, pemerintah dapat mengukur seberapa besar kemampuan APBN dan sejauh mana titik ideal makro fiskal dalam pembiayaan kebutuhan pembangunan di era tersebut.
Epilog
Pelajaran dari penerimaan fiskal tahun 2018 ini bahwa minyak dan gas masih merupakan sumber penerimaan negara paling utama, khususnya pada saat harga komoditi tidak memberikan jaminan seperti yang kita harapkan. Untuk itu, pengelolaan minyak dan gas (SDA secara umum) perlu terus diperbaiki, bukan hanya eksplorasi semata, tetapi menjaga kesinambungan SDA tersebut.
Pekerjaan rumah, seperti memperbaiki defisit transaksi berjalan melalui pengembangan ekspor, daya saing sektor industri, dan penurunan biaya logistik melalui pembangunan infrastruktur, tentu perlu terus diupayakan sebagai sektor yang akan mengakselerasi sektor lainnya, seperti pariwisata, kuliner, perhotelan, dan perdagangan. Pengendalian inflasi dan peningkatan pendapatan masyarakat juga diperlukan untuk menjaga denyut perekonomian tetap sehat dan stabil.
Transformasi ini memang pada akhirnya tidak hanya pada level pemerintah, tetapi juga pada masyarakat dan unsur lainnya, mengingat proses pembangunan (termasuk dalam penyusunan undang-undang dan penyusunan kebijakan) diupayakan menggunakan pendekatan partisipatif aktif. Transformasi ini perlu dilakukan bersama dan dikelola melalui kepemimpinan (leadership) yang kuat dan inspiratif sehingga kita optimistis akan melihat Indonesia lebih baik dan lebih kuat di masa mendatang.
Penyusunan MTFF dan LTFF tidak hanya diperlukan pemerintah pusat saja, pemerintah daerah juga diharapkan bisa menyusun kebijakan serupa minimal untuk memetakan dinamika fiskalnya dalam jangka menengah (MTFF). Dengan begitu, ada guidance pembangunan yang disusun secara sistematis dan terintegrasi, baik dari dimensi waktu ataupun ruang lingkup wilayah yang diharapkan dapat meningkatkan kinerja pembangunan dan daya saing bangsa menjadi lebih optimal di masa mendatang.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
PERKEMBANGAN hasil kebijakan fiskal tahun 2018 pada akhirnya telah mencapai titik puncaknya. Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berhasil mencatat realisasi penerimaan negara sebesar Rp1.943,3 triliun atau sekitar 102,5% dari target APBN 2018.
Tingkat pertumbuhan pendapatan negara secara akumulatif mencapai 16,6% secara year on year dan melesat dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 7,1%. Jajaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) layak diberikan acungan jempol atas kinerjanya. Begitu pula dengan raihan belanja negara, sampai akhir tahun fiskal 2018, realisasi belanja kita telah mencapai 99,2% dari alokasi 2018.
Tentunya hal ini dapat meningkatkan kontribusi pemerintah dalam perekonomian, baik secara langsung maupun intermediasi. Paling lebih melegakan lagi tahun kemarin kita bisa menekan defisit fiskal hingga hanya sebesar 1,76% terhadap produk domestik bruto (PDB), jauh di bawah target APBN 2018 sebesar 2,19%.
Indikator keseimbangan primer juga berhasil ditekan hingga hanya defisit Rp1,8 triliun. Capaian keduanya (defisit fiskal dan keseimbangan primer) menjadi paling hemat (kecil) sejak 2012.
Prestasi ini bisa menjadi kado manis dari Presiden Jokowi dan jajaran pemerintahannya menjelang berakhirnya periode pertama masa kepemimpinannya. Dalam press release yang disampaikan Menteri Keuangan, realisasi sementara penerimaan pajak hingga ditutupnya tahun kalender 2018 mencapai Rp1.521,4 triliun atau sekitar 94% dari target APBN. Kendati masih di bawah angka target, tetapi dari sisi pertumbuhannya sudah sangat meyakinkan dengan posisi sementara sebesar 13,2%.
Rasio pajak (tax ratio) mengalami kenaikan 0,8% menjadi 11,5% pada tahun 2018. Kenaikan ini menandakan bahwa langkah reformasi perpajakan selama tahun fiskal 2018 banyak mendukung kemajuan terhadap capaian penerimaan perpajakan.
Beberapa langkah reformasi dalam setahun terakhir di antaranya adalah upaya peningkatan basis pajak setelah pemberlakuan tax amnesty, penyempurnaan data dan sistem informasi perpajakan yang up to date dan terintegrasi, serta beberapa insentif fiskal seperti diberlakukannya tax holiday dan tax allowance untuk meningkatkan investasi dan daya saing ekonomi.
Struktur pendapatan negara sebagian besar masih disokong dari penerimaan pajak, yakni sekitar 78,33% dari pendapatan negara secara keseluruhan. Perolehan ini semakin mengukuhkan betapa pentingnya peranan pajak dalam kekuatan/kapasitas fiskal di negara kita.
Beberapa sektor lapangan usaha mengalami pertumbuhan signifikan jumlah setoran pajak yang dihasilkan. Sektor industri pengolahan yang berkontribusi sebesar Rp363,6 triliun (sekitar 30% dari total penerimaan pajak), jumlah setorannya meningkat sebesar 18,28%.
Berikutnya sektor perdagangan menghasilkan pajak sebesar Rp234,46 triliun (19,3%), setorannya meningkat sebesar 25,09%. Adapun pertumbuhan tertinggi dihasilkan dari sektor pertambangan yang pada tahun kemarin meningkat 40,83%. Akan tetapi, angka itu masih lebih rendah dibandingkan pertumbuhan tahun sebelumnya yang mencapai 51,15%.
Nah yang menarik, salah satu sebab kenaikan pendapatan negara yang signifikan ini adalah berkat menguatnya peranan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dukungan PNBP yang melesat ini sudah semestinya perlu juga kita apresiasi. Pasalnya, selama ini kontribusi PNBP nyaris tenggelam karena tidak dikelola optimal.
Realisasi sementara PNBP mencapai Rp407,1 triliun atau sekitar 147,8% dari target APBN. Tingkat pertumbuhannya juga cukup fantastis dengan berada di posisi 30,8%. Faktor utama yang mendorong capaian progresif tersebut adalah meningkatnya harga komoditi andalan khususnya harga batu bara (USD99,3/ton) dan minyak (USD67,5/barel) selama satu tahun terakhir.
Catatan lainnya ialah momentum pertumbuhan PNBP SDA yang mampu dijaga serta pendapatan bagian laba BUMN yang meningkat dari Rp47,3 triliun menjadi Rp53,7 triliun dan menjadi tertinggi sejak 2012 silam. Kendati tergolong potensial, selama ini PNBP kurang dilirik karena bargaining-nya tidak terlalu menyokong capaian tax ratio.
Ke depannya, dibutuhkan langkah-langkah transformatif agar potensi-potensi yang kita miliki (tidak hanya PNBP) bisa memiliki andil permanen efektif untuk meningkatkan kapasitas fiskal kita. Belajar atas fenomena tersebut, penulis menilai ada baiknya pemerintah perlu menyusun kerangka kebijakan fiskal jangka menengah dan panjang (middle/long term fiscal framework).
Pentingnya perencanaan tersebut untuk menghindari dinamika penerimaan yang akan sangat memengaruhi keberlangsungan program-program pemerintah. Selain itu, jika pemerintah memiliki kerangka jangka menengah dan panjang akan semakin meningkatkan kemampuan governance (tata kelola) pemerintah di mata investor maupun pihak lain yang berkepentingan bisnis dengan pemerintah.
Pentingnya Kerangka Fiskal
Dalam perspektif pembangunan berkelanjutan, peran fiskal akan sangat dinamis untuk mengimbangi berbagai kemungkinan/kebutuhan di masa depan. Peran fiskal dari sisi belanja adalah untuk menciptakan stabilitas pembangunan negara melalui pembiayaan/investasi pemerintah yang bermuara pada peningkatan produktivitas nasional.
Sementara itu, dari sisi pendapatan akan menjadi kunci pengendalian ritme peran pemerintah (melalui belanja) agar tetap bisa terlaksana dengan optimal dan berkesinambungan. Pentingnya kerangka fiskal jangka menengah dan panjang adalah untuk memberikan gambaran/proyeksi kebijakan fiskal dalam beberapa tahun mendatang, bagaimana cara mencapai visi pembangunan yang dicanangkan secara berjenjang, seraya melakukan mitigasi risiko agar kinerja makro fiskal tetap sehat dan tidak membebani pemerintah serta masyarakat di kemudian hari.
Dalam frasa ringkasnya, pemerintah perlu menjaga kemampuan pembiayaan/belanjanya secara berkelanjutan, tanpa membahayakan fungsi-fungsi anggarannya. Dari situlah diksi sustainabilitas fiskal dilahirkan.
Dalam berbagai literatur mengenai kerangka fiskal jangka menengah dan panjang, ada empat indikator paling umum untuk dijadikan parameter kesehatan makro fiskal di sebuah negara, yakni rasio utang (debt ratio), rasio pajak (tax ratio), defisit fiskal (fiscal deficit), dan keseimbangan primer (primary balance). Semua indikator dirasiokan dengan besaran PDB.
Dari empat indikator tersebut, pemerintah dapat menyesuaikan langkah preventif untuk meminimalisasikan risiko dan mendorong produktivitas APBN. Secara umum, middle/long term fiscal framework (MTFF/LTFF) diarahkan untuk memperkokoh pengelolaan fiskal yang mampu mendorong investasi dan daya saing bangsa.
Langkah yang bisa ditempuh di antaranya adalah dengan menjaga kebijakan fiskal tetap ekspansif, tetapi perlu difokuskan untuk meningkatkan kapasitas produksi dan daya saing nasional. Dalam posisi ini, empat indikator makro fiskal yang tadi disebutkan akan menjadi alarm mitigasinya.
Tax ratio akan menjadi parameter bagi pemerintah untuk mengukur sejauh mana produktivitas APBN dalam membiayai kebutuhan pembangunan. Dalam pola kebijakan ekspansif, risiko defisit fiskal dan rasio utang akan meningkat jika tax ratio-nya mengalami stagnasi.
Pada kondisi itu, kemampuan pemerintah dalam memenuhi kewajibannya (solvabilitas) akan menurun karena beban utang memangkas diskresi dalam pemanfaatan sumber daya APBN untuk menstimulasi perekonomian.
Pada tahap selanjutnya akan mulai terlihat sejauh mana posisi primary balance sebagai refleksi gap antara pendapatan negara dan belanja. Semakin besar angka primary balance, maka diskresi pemerintah akan semakin mengecil. Jadi, solvabilitas pemerintah bisa terbelenggu oleh beban utang.
Oleh karena itu, MTFF dan LTFF diharapkan dapat disusun pemerintah untuk menggambarkan milestones kebijakan fiskal. Pada intinya, pemerintah perlu membuat rencana pembangunan yang diselaraskan dengan visi dan proyeksi kebutuhan kebijakan secara dinamis pada periode-periode tertentu.
Misalnya untuk lima tahun mendatang, pada saat kita diprediksi akan berada di era bonus demografi, kebijakan yang dibutuhkan adalah meningkatkan kapasitas lapangan pekerjaan secara masif untuk memanfaatkan potensi tersebut.
Maka itu, kebijakan strategis yang dibutuhkan adalah meningkatkan daya saing investasi melalui perbaikan regulasi investasi, ekspansi keterampilan SDM, dan peningkatan kapasitas serta kualitas infrastruktur dengan lebih merata. Muaranya adalah peningkatan produktivitas nasional secara menyeluruh. Lantas, pemerintah dapat mengukur seberapa besar kemampuan APBN dan sejauh mana titik ideal makro fiskal dalam pembiayaan kebutuhan pembangunan di era tersebut.
Epilog
Pelajaran dari penerimaan fiskal tahun 2018 ini bahwa minyak dan gas masih merupakan sumber penerimaan negara paling utama, khususnya pada saat harga komoditi tidak memberikan jaminan seperti yang kita harapkan. Untuk itu, pengelolaan minyak dan gas (SDA secara umum) perlu terus diperbaiki, bukan hanya eksplorasi semata, tetapi menjaga kesinambungan SDA tersebut.
Pekerjaan rumah, seperti memperbaiki defisit transaksi berjalan melalui pengembangan ekspor, daya saing sektor industri, dan penurunan biaya logistik melalui pembangunan infrastruktur, tentu perlu terus diupayakan sebagai sektor yang akan mengakselerasi sektor lainnya, seperti pariwisata, kuliner, perhotelan, dan perdagangan. Pengendalian inflasi dan peningkatan pendapatan masyarakat juga diperlukan untuk menjaga denyut perekonomian tetap sehat dan stabil.
Transformasi ini memang pada akhirnya tidak hanya pada level pemerintah, tetapi juga pada masyarakat dan unsur lainnya, mengingat proses pembangunan (termasuk dalam penyusunan undang-undang dan penyusunan kebijakan) diupayakan menggunakan pendekatan partisipatif aktif. Transformasi ini perlu dilakukan bersama dan dikelola melalui kepemimpinan (leadership) yang kuat dan inspiratif sehingga kita optimistis akan melihat Indonesia lebih baik dan lebih kuat di masa mendatang.
Penyusunan MTFF dan LTFF tidak hanya diperlukan pemerintah pusat saja, pemerintah daerah juga diharapkan bisa menyusun kebijakan serupa minimal untuk memetakan dinamika fiskalnya dalam jangka menengah (MTFF). Dengan begitu, ada guidance pembangunan yang disusun secara sistematis dan terintegrasi, baik dari dimensi waktu ataupun ruang lingkup wilayah yang diharapkan dapat meningkatkan kinerja pembangunan dan daya saing bangsa menjadi lebih optimal di masa mendatang.
(poe)