Jalan Tol dan Cermin Disorientasi Kebijakan

Senin, 07 Januari 2019 - 08:30 WIB
Jalan Tol dan Cermin...
Jalan Tol dan Cermin Disorientasi Kebijakan
A A A
Bambang Istianto
Wakil Ketua Ilmuwan Administrasi Negara, Direktur Eksekutif Center of Public Policy Studies Institut STIAMI Jakarta

ARAH kebijakan pemerintah dewasa ini sedang fokus pada pembangunan infrastruktur jalan. Pembangunan tersebut di samping memicu pertumbuhan ekonomi, juga mengintegrasikan antarwilayah guna memperkuat NKRI. Pembangunan jalan tol dikembangkan di wilayah trans-Sumatera, Sulawesi, Kalimanatan, dan Papua. Pembangunan infrastruktur membutuhkan pembiayaan besar. Karena itu dalam pelaksanaannya menggandeng pihak swasta dengan cara privatisasi. Pembangunan jalan tol berimplikasi terhadap aspek sosial, politik, ekonomi, dan pemerintahan. Topik tulisan ini membahas implikasi sosial, ekonomi, dan pemerintahan dengan lokus kajian pembangunan jalan tol di trans-Jawa.

Jalan tol singkatan dari kata tax on location, artinya siapa yang lewat dikenai pajak. Namun di beberapa negara maju seperti di Inggris dan Amerika jalan demikian lebih dikenal dengan toll road. Secara umum di Indonesia jalan tol dikenal sebagai jalan bebas hambatan. Dalam ilmu transportasi tol di desain seperti flow, yakni tidak berujung sehingga jalan tol bebas dalam kapasitas (capacity). Karena itu sebenarnya tidak dikenal "manajemen rakayasa lalu lintas".

Indonesia mengenal jalan tol ketika dibangun tol Jagorawi pada 1974 dan selesai pada 1978. Pembangunan tol Jagorawi mendapat bantuan USAID sebesar 28,6 juta dolar AS dengan masa pengembalian 30 tahun dan bunga 3%. Pembangunan tol Jagorawi dikerjakan kontraktor Hyundai Contruction Co dari Korea Selatan. Tol Jagorawi diresmikan dan beroperasi mulai 25 Februari 1978.

Dalam kajian administrasi publik, jalan tol di kategorikan sebagai "barang publik (public good)". Karena itu penyelenggaraannya menjadi mandatory pemerintah. Jika pemerintah lalai menyediakan, publik legal menuntut agar disediakan. Karena itu sifat barang publik adalah menjadi hak setiap warga negara menggunakannya secara gratis.

Sejak 1978 terbit PP No 4/1978 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Persero yang mengurusi infrastruktur jalan raya. Persero tersebut adalah PT Jasa Marga. Dengan demikian saat itu pertama kali kendaraan roda empat lewat jalan raya yang semula "gratis". Sejak beroperasinya jalan tol Jagorawi sudah berbayar. Dalam kajian adminsitrasi negara, fenomena tersebut merupakan perubahan dari public good menjadi quasi good. Artinya bahwa telah terjadi pergeseran paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pergeseran tersebut dari administrasi tradisional yang berorientasi pada efisiensi birokrasi menuju entrepreneurship birokrasi. Dalam pandangan paradigma reinventing government (Osborne, 1992) disebut catalytic government. Dengan mengikuti paradigma tersebut penyelenggaraan pemerintahan dilakukan dengan gaya manajemen bisnis (Istianto, 2015).

Jalan Tol Untung
Perkembangan bisnis jalan tol melaju dengan pesat. Profit yang menjadi kebanggaan PT Jasa Marga adalah laba pada 2017 sebesar Rp35 triliun (https/m.liputan 6.com/bsn, 2018). Jalan tol merupakan tren bisnis yang menggiurkan. Tol Jagorawi dilewati 407.232 kendaraan per hari (baranews.co). Adapun ruas tol Tangerang-Merak pada periode semester pertama 2017 sebanyak 134.000 kendaraan per hari atau naik 3,4% dari 28.000 per hari dalam tahun yang sama (bisnis.com, 20 Juli 2017).

Kinerja pelayanan jalan tol juga ditingkatkan, yaitu upaya mengurangi kemacetan di gerbang pembayaran tol telah digunakan e-toll card atau pembayaran nontunai. Sistem tersebut dapat mempercepat antrean selama 6 sampai 8 detik bila dibandingkan dengan pembayaran tunai. Misalnya satu gerbang tol nontunai mampu melayani 720 kendaraan per jam berbanding dengan 425 kendaraan per jam dengan tunai (id.techninisa.com ). Adapun data mengenai penggunaan nontunai atau e-toll di Indoneisia sebesar 33%, sedangkan di tol Jabodetabek sebesar 36% (CNN.com, 6/9 2017 ).

Keluhan Masyarakat
Seiring dengan kebijakan jalan tol menuju privatisasi, hal itu tidak terelakkan dan terus berlanjut. Seperti dijelaskan, keuntungan jalan tol cukup progresif. Implikasi kebijakan privatisasi antara lain harga tarif tol akan terus naik. Bahkan kenaikan tarif didukung dengan undang-undang. Namun di pihak lain respons publik cukup beragam terhadap kebijakan jalan tol. Beberapa tanggapan masyarakat dapat diidentifikasi sebagai berikut.

Pertama, kinerja pelayanan jalan tol terus mengalami distorsi, terutama kemacetan yang semakin sulit diatasi seiring pembangunan flyover jalan tol Jakarta-Cikampek meskipun bersifat sementara. Kedua, kualitas jalan tidak memadai sebagai jalan yang berbayar, misalnya berlubang. Perbaikan jalan yang berlubang pun kualitasnya sangat jelek. Ketiga, melaju di ruas jalan tol mana pun belum nyaman. Keempat, kebijakan e-toll menambah beban biaya pengeluaran masyarakat. Dengan e-toll, berapa besar dana masyarakat tersisa yang mengendap. Siapa yang diuntungkan? Karena dana sisa pada e-toll belum bisa digunakan untuk semua transaksi.

Kelima, mengacu pada kritik Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mewakili suara konsumen. Menurut YLKI, terkait dengan kebijakan tarif setiap dua tahun sekali, pemerintah tidak fair karena SPM sudah tak terpenuhi. Keenam, konsekuensi kebijakan privatisasi jalan tol berimplikasi terhadap tarif tol semakin mahal dan setiap dua tahun naik terus. Di samping itu kenaikan tarif di-back-up undang-undang. Ketujuh, Jakarta sebagai ibu kota negara ruas jalan wilayahnya mengalami kemacetan yang sudah hampir dalam tahap "stagnasi". Seharusnya keberadaan jalan tol di tengah kota dapat berkontribusi mengurangi kemacetan. Kedelapan, kemacetan di jalan tol sulit diprediksi karena rekayasa lalu lintas kurang optimal. Kemacetan bisa puluhan atau bahkan ratusan kilometer. Masih kuat ingatan masyarakat saat kemacetan tersebut populer dengan istilah "kemacetan Brexit".

Tol dan Pertumbuhan Ekonomi
Secara teoretis, infrastruktur jalan memengaruhi pertumbuhan ekonomi di wilayah hinterland. Oleh sebab itu ambisi pemerintah membangun jalan tol di Jawa menapaktilasi "Jalan Daendeles" sepanjang 1.200 km dengan nilai investasi Rp50 triliun (CNBC, 28 Desember 2018 ). Namun di pihak lain ada hasil penelitian tesis Anggraini Yekti, mahasiswa Universitas Gajah Mada, pada 2016 tentang "pengaruh infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi". Penelitian dilakukan di 33 provinsi dalam kurun waktu 2006 sampai dengan 2013.

Hasil penelitian menemukan bahwa infrastruktur jalan "tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi". Berdasarkan pengamatan terhadap masyarakat sepanjang jalan raya "Kota Indramayu, Brebes, Tegal, dan Cirebon, beberapa pemilik warung di tepi jalan yang ditemui mengaku semakin sepi dan bahkan sebagian ada yang sudah tutup setelah dibukanya tol Cipali. Fenomena tersebut boleh jadi membenarkan temuan hasil penelitian tesis di atas.

Hindari Disorientasi Kebijakan
Kebijakan privatisasi jalan tol merupakan konsekuensi logis dengan penerapan paradigma catalytic government (Osborne, 1992). Artinya peran pemerintah hanya steering atau pengarah dan rowing atau fungsi operasionalnya dikerjakan sektor swasta. Dengan kata lain pemerintah hanya sebagai watch dog . Demikian pula prinsip customer driven government. Prinsip tersebut maknanya penyediaan kepentingan publik disesuaikan dengan tebal tipisnya kantong pelanggan (masyarakat). Seperti diuraikan di atas, jalan tol sebagai barang public good telah bergeser menjadi quasi good.

Implikasinya tanpa disadari pemerintah bertindak diskriminitatif. Faktanya yang mengonsumsi jalan tol hanya yang punya mobil dan yang mampu membeli e-toll card . Masyarakat yang tidak mampu bayar tol cukup melewati jalan nontol yang keberadaannya kurang nyaman bila dibandingkan dengan jalan tol. Implikasi pemikiran Osborne di atas dikritik oleh Denhart (2003) yang menyatakan service citizen not customer. Pandangan Denhart sebagai antitesis terhadap pemikiran Osborne. Menurut pemikiran Denhart, "seharusnya pemerintah menyediakan pelayanan publik terhadap setiap warga negara sama tanpa dikecualikan". Dengan kata lain pelayanan publik memiliki kualitas yang disediakan sama terhadap setiap warga negara. Karena itu standar pelayanan minimal (SPM) harus lebih ditingkatkan agar perbedaan tol dan nontol tidak terlalu kontras.

Berdasarkan identifikasi masalah yang dikeluhkan masyarakat di atas dapat dinilai telah terjadi disorientasi dalam kebijakan tersebut. Untuk mengurangi disorientasi dalam pembuatan kebijakan, seluruh variabel yang terkait mesti dihitung dengan cermat. Adapun variabel yang sulit bisa diintegrasikan dan dikendalikan (Mazmanian dan Sabartier, 1983). Demikian pula baik dalam pembuatan kebijakan maupun pelaksana kebijakan harus dilakukan oleh aktor-aktor yang kredibel (Drazen, 1994, dalam Sugema, 2015).
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0750 seconds (0.1#10.140)