Lagi, Government Shutdown di AS
A
A
A
Dinna Wisnu, Ph.D
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
SEBANYAK 75% pegawai negeri di Amerika Serikat (AS) masih dapat menikmati malam Natal 2018 dan Tahun Baru 2019 tanpa rasa cemas. Mereka tidak khawatir karena gaji mereka telah disetujui Kongres pada bulan Oktober 2018.
Nasib menyedihkan terjadi pada 25% pegawai negeri sipil lain yang gajinya belum dibayarkan karena pihak eksekutif dan legislatif di DPR tidak dapat menyetujui UU APBN AS untuk anggaran 2019.
Kebuntuan politik itu secara otomatis menyebabkan sebagian pelayanan pemerintah federal terhenti atau yang disebut dengan government shutdown sejak tengah malam 22 Desember 2018. Akibatnya, sekitar 800.000 orang tidak mendapat gaji.
Sebagian besar dari pegawai negeri tersebut bekerja di Departemen Pertanian, Kehakiman, Keuangan, Dalam Negeri, Perhubungan, Keamanan Dalam Negeri, Perumahan Rakyat dan sejumlah departemen lain. Perkaranya, pihak legislatif belum memberikan persetujuan permintaan anggaran untuk membangun tembok pemisah antara AS dan Meksiko sebesar USD5 juta.
Penghentian sebagian pelayanan pemerintah ini mengukuhkan government shutdown sebagai bagian dari tradisi politik di AS. Di Indonesia, hal ini tidak terjadi karena bila APBN tidak disetujui maka akan digunakan APBN tahun sebelumnya.
Masalah berat yang mungkin terjadi hanyalah tidak ada kegiatan baru pemerintah yang dapat dibiayai. Hal ini berbeda dengan AS. Sekali suatu APBN tidak disetujui, tidak ada landasan untuk mengeluarkan uang, bahkan untuk gaji pegawai.
Sistem politik semacam ini di satu sisi bisa positif karena memaksa dua kubu politik, yaitu kubu pemerintah dan kubu oposisi, untuk mencapai konsensus atau mufakat tentang suatu hal. Kubu pemerintah biasanya berafiliasi terhadap salah satu dari dua partai politik terbesar di AS, yaitu Demokrat dan Republik.
Meski demikian, dapatlah terjadi anggota dari partai politik pendukung pemerintah membelot dan setuju dengan oposisi. Biasanya hal ini terjadi karena mereka mementingkan pemilih dari daerah atau negara bagian pemilihnya.
Sisi negatif dari sistem ini adalah apabila terjadi mufakat seperti yang terjadi pada hari ini. Kebuntuan negosiasi antarpihak menyebabkan rakyat, terutama pegawai negeri, menjadi korban.
Masyarakat AS sudah terbiasa menghadapi situasi ini. Namun, tetap saja peristiwa ini membawa kekhawatiran akan terjadi aksi balas dendam di masa pemerintahan berikutnya.
Di sisi yang lain, kita juga perlu paham bahwa dasar dari kebuntuan negosiasi ini adalah masalah ekonomi. Ekonomi Amerika saat ini sedang mengalami defisit.
Anggaran Pemerintah Federal di tahun fiskal 2019 mengalami defisit USD985 miliar. Belanja pemerintah USD4,4 triliun lebih tinggi daripada pendapatan mereka: USD3,4 triliun. Defisit ini 18% lebih tinggi dibandingkan tahun lalu.
Orang-orang kemudian bertanya, apa yang terjadi dengan program ekonomi pemerintahan Donald Trump? Bukankah angka pengangguran sudah berhasil diturunkan? Bukankah pemerintah juga telah memberikan potongan pajak bagi pengusaha yang seharusnya potongan itu dapat digunakan untuk membuka lapangan pekerjaan yang baru?
Trump memang telah berhasil menurunkan angka pengangguran di AS. Angka pengangguran AS di bulan September 2018 turun 3,7% dan menjadi angka yang paling rendah sejak 1969.
Penurunan angka ini semestinya dapat menggembirakan dan membuat optimistis pelaku usaha dan politisi di AS, namun pada kenyataannya tidak demikian. Para ekonom menghitung ramalan bahwa pada 2019 AS akan mengalami pelambatan pertumbuhan ekonomi.
Goldman Sach mengatakan pertumbuhan PDB AS akan melambat menjadi 1,8% pada kuartal ketiga 2019 dan menjadi 1,6% selama kuartal keempat. Ramalan tersebut di sisi lain ingin menjelaskan bahwa meningkatnya jumlah orang yang bekerja ternyata tidak mampu menggerakkan ekonomi AS.
Secara teoretis, meningkatnya orang bekerja akan dapat merangsang pertumbuhan ekonomi. Para pekerja yang telah mendapat gaji akan membelanjakan gajinya dan hal itu akan mendorong produksi. Kenyataannya itu tidak selalu terjadi.
Salah satu penyebabnya, menurut Richard D Woff, adalah upah yang terlalu rendah. Para pekerja dengan upah rendah cenderung bersikap protektif dan tidak mau terlalu konsumtif.
Sikap ini juga menunjukkan bahwa AS belum berhasil pulih dari krisis ekonomi yang terjadi pada 2008-2009. Banyak pekerja yang masih punya utang kemudian lebih memilih menyimpan uang atau membayar utangnya daripada membeli barang-barang baru. Dengan kata lain, pekerja cenderung berhemat.
Karena itu, walaupun tingkat suku bunga the Fed rendah beberapa tahun lalu, pertumbuhan ekonomi AS tidak dapat terdorong untuk lebih tinggi lagi. Hal ini berdampak pula kepada para pengusaha yang telah diuntungkan dengan pemotongan pajak di pemerintahan Trump untuk lebih memiliki investasi di pasar saham yang mendatangkan keuntungan lebih cepat.
Mereka juga masih enggan berinvestasi di sektor produksi mengingat relasi politik di dalam negeri AS juga belum dapat disimpulkan sebagai stabil. Presiden Trump masih mengeluarkan kebijakan dan langkah-langkah politik kontroversial yang sulit diprediksi.
Situasi tersebut mungkin dalam jangka pendek menguntungkan Indonesia. Para pengusaha AS yang kelebihan uang karena potongan pajak yang lahir dari kebijakan ekonomi Trump saat ini ternyata lebih memilih menanamkan uangnya di pasar saham negara-negara emerging market seperti Indonesia.
Bagaimana dampaknya dalam jangka panjang, masih penuh dengan spekulasi. Pastinya saat ini perdagangan Indonesia ke AS mengalami surplus 8,5% sepanjang 2013 hingga 2017, meskipun turun di Oktober 2018 akibat kebijakan proteksionis AS.
Surplus itu terutama dari sektor tekstil, manufaktur, dan produk-produk pertanian dan perkebunan. Apabila kita ingin memanfaatkan krisis ekonomi AS di jangka panjang, kita harus mengembangkan produksi lain di sektor lain seperti kimia, jasa, atau teknologi. Strategi ini penting agar kita dapat bertahan karena AS akan mencabut fasilitas kemudahan ekspor kita pada 2019 ini.
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
SEBANYAK 75% pegawai negeri di Amerika Serikat (AS) masih dapat menikmati malam Natal 2018 dan Tahun Baru 2019 tanpa rasa cemas. Mereka tidak khawatir karena gaji mereka telah disetujui Kongres pada bulan Oktober 2018.
Nasib menyedihkan terjadi pada 25% pegawai negeri sipil lain yang gajinya belum dibayarkan karena pihak eksekutif dan legislatif di DPR tidak dapat menyetujui UU APBN AS untuk anggaran 2019.
Kebuntuan politik itu secara otomatis menyebabkan sebagian pelayanan pemerintah federal terhenti atau yang disebut dengan government shutdown sejak tengah malam 22 Desember 2018. Akibatnya, sekitar 800.000 orang tidak mendapat gaji.
Sebagian besar dari pegawai negeri tersebut bekerja di Departemen Pertanian, Kehakiman, Keuangan, Dalam Negeri, Perhubungan, Keamanan Dalam Negeri, Perumahan Rakyat dan sejumlah departemen lain. Perkaranya, pihak legislatif belum memberikan persetujuan permintaan anggaran untuk membangun tembok pemisah antara AS dan Meksiko sebesar USD5 juta.
Penghentian sebagian pelayanan pemerintah ini mengukuhkan government shutdown sebagai bagian dari tradisi politik di AS. Di Indonesia, hal ini tidak terjadi karena bila APBN tidak disetujui maka akan digunakan APBN tahun sebelumnya.
Masalah berat yang mungkin terjadi hanyalah tidak ada kegiatan baru pemerintah yang dapat dibiayai. Hal ini berbeda dengan AS. Sekali suatu APBN tidak disetujui, tidak ada landasan untuk mengeluarkan uang, bahkan untuk gaji pegawai.
Sistem politik semacam ini di satu sisi bisa positif karena memaksa dua kubu politik, yaitu kubu pemerintah dan kubu oposisi, untuk mencapai konsensus atau mufakat tentang suatu hal. Kubu pemerintah biasanya berafiliasi terhadap salah satu dari dua partai politik terbesar di AS, yaitu Demokrat dan Republik.
Meski demikian, dapatlah terjadi anggota dari partai politik pendukung pemerintah membelot dan setuju dengan oposisi. Biasanya hal ini terjadi karena mereka mementingkan pemilih dari daerah atau negara bagian pemilihnya.
Sisi negatif dari sistem ini adalah apabila terjadi mufakat seperti yang terjadi pada hari ini. Kebuntuan negosiasi antarpihak menyebabkan rakyat, terutama pegawai negeri, menjadi korban.
Masyarakat AS sudah terbiasa menghadapi situasi ini. Namun, tetap saja peristiwa ini membawa kekhawatiran akan terjadi aksi balas dendam di masa pemerintahan berikutnya.
Di sisi yang lain, kita juga perlu paham bahwa dasar dari kebuntuan negosiasi ini adalah masalah ekonomi. Ekonomi Amerika saat ini sedang mengalami defisit.
Anggaran Pemerintah Federal di tahun fiskal 2019 mengalami defisit USD985 miliar. Belanja pemerintah USD4,4 triliun lebih tinggi daripada pendapatan mereka: USD3,4 triliun. Defisit ini 18% lebih tinggi dibandingkan tahun lalu.
Orang-orang kemudian bertanya, apa yang terjadi dengan program ekonomi pemerintahan Donald Trump? Bukankah angka pengangguran sudah berhasil diturunkan? Bukankah pemerintah juga telah memberikan potongan pajak bagi pengusaha yang seharusnya potongan itu dapat digunakan untuk membuka lapangan pekerjaan yang baru?
Trump memang telah berhasil menurunkan angka pengangguran di AS. Angka pengangguran AS di bulan September 2018 turun 3,7% dan menjadi angka yang paling rendah sejak 1969.
Penurunan angka ini semestinya dapat menggembirakan dan membuat optimistis pelaku usaha dan politisi di AS, namun pada kenyataannya tidak demikian. Para ekonom menghitung ramalan bahwa pada 2019 AS akan mengalami pelambatan pertumbuhan ekonomi.
Goldman Sach mengatakan pertumbuhan PDB AS akan melambat menjadi 1,8% pada kuartal ketiga 2019 dan menjadi 1,6% selama kuartal keempat. Ramalan tersebut di sisi lain ingin menjelaskan bahwa meningkatnya jumlah orang yang bekerja ternyata tidak mampu menggerakkan ekonomi AS.
Secara teoretis, meningkatnya orang bekerja akan dapat merangsang pertumbuhan ekonomi. Para pekerja yang telah mendapat gaji akan membelanjakan gajinya dan hal itu akan mendorong produksi. Kenyataannya itu tidak selalu terjadi.
Salah satu penyebabnya, menurut Richard D Woff, adalah upah yang terlalu rendah. Para pekerja dengan upah rendah cenderung bersikap protektif dan tidak mau terlalu konsumtif.
Sikap ini juga menunjukkan bahwa AS belum berhasil pulih dari krisis ekonomi yang terjadi pada 2008-2009. Banyak pekerja yang masih punya utang kemudian lebih memilih menyimpan uang atau membayar utangnya daripada membeli barang-barang baru. Dengan kata lain, pekerja cenderung berhemat.
Karena itu, walaupun tingkat suku bunga the Fed rendah beberapa tahun lalu, pertumbuhan ekonomi AS tidak dapat terdorong untuk lebih tinggi lagi. Hal ini berdampak pula kepada para pengusaha yang telah diuntungkan dengan pemotongan pajak di pemerintahan Trump untuk lebih memiliki investasi di pasar saham yang mendatangkan keuntungan lebih cepat.
Mereka juga masih enggan berinvestasi di sektor produksi mengingat relasi politik di dalam negeri AS juga belum dapat disimpulkan sebagai stabil. Presiden Trump masih mengeluarkan kebijakan dan langkah-langkah politik kontroversial yang sulit diprediksi.
Situasi tersebut mungkin dalam jangka pendek menguntungkan Indonesia. Para pengusaha AS yang kelebihan uang karena potongan pajak yang lahir dari kebijakan ekonomi Trump saat ini ternyata lebih memilih menanamkan uangnya di pasar saham negara-negara emerging market seperti Indonesia.
Bagaimana dampaknya dalam jangka panjang, masih penuh dengan spekulasi. Pastinya saat ini perdagangan Indonesia ke AS mengalami surplus 8,5% sepanjang 2013 hingga 2017, meskipun turun di Oktober 2018 akibat kebijakan proteksionis AS.
Surplus itu terutama dari sektor tekstil, manufaktur, dan produk-produk pertanian dan perkebunan. Apabila kita ingin memanfaatkan krisis ekonomi AS di jangka panjang, kita harus mengembangkan produksi lain di sektor lain seperti kimia, jasa, atau teknologi. Strategi ini penting agar kita dapat bertahan karena AS akan mencabut fasilitas kemudahan ekspor kita pada 2019 ini.
(poe)