Dai dan Wajah Toleransi Kita

Senin, 31 Desember 2018 - 08:30 WIB
Dai dan Wajah Toleransi...
Dai dan Wajah Toleransi Kita
A A A
Moh Nur Huda
Ketua Umum Forum Komunikasi Dai Muda Indonesia (FKDMI)

TAMPAKNYA kuburan mempunyai narasi agama dan kultural yang rumit. Penafsiran terhadapnya membutuhkan cara pandang yang bersih dan tenang. Anggaplah, seperti kebiasaan Nahdliyin menafsirkannya, kuburan begitu “keramat ” dalam pengertian upaya memperingati diri sendiri. Tak heran jika suatu ketika ada alim ulama wafat, melulu diburu tempat kuburan untuk mengucap tahlil dan doa.

Tak berhenti untuk mengingatkan diri bahwa nasib kita sama dengan yang berada di dalam kuburan itu, ngalap barokah juga menjadi tujuan. Logikanya sederhana, yang didoakan sudah banyak pahalanya, semakin didoakan tidak muat ruang pahalanya, luberannya itu yang kita ambil. Ibarat, gelas yang penuh dengan air putih, semakin kita tumpahkan air putih, maka akan tumpah airnya. Tumpahan itu, bagi Nahdliyin termasuk penulis, yang kita harapkan.

Cara memperlakukan kuburan—orang meninggal—tentu berbeda-beda. Ada pula yang sangsi dengan nasibnya. Misalnya dibiarkan saja tanpa perlu berbondong duduk di depan kuburannya lalu mendoakan. Bahkan keburu menafsir syirik terhadapnya. Mahbub Djunaidi, penulis kenamaan itu, pernah merilis sebuah tulisan bertajuk BisnisKuburan.

Ternyata baginya, kuburan bisa melatuk definisi kelas sosial. Di tempat kuburan A, satu petak tanah dengan ukuran beberapa meter itu, tarifnya berbeda dengan satu petak tanah lain di tempat kuburan B. Dari waktu ke waktu, sesuai ketetapan peraturan daerah setempat, tarif bisa berubah-ubah. Pun penjaga kuburannya bisa diganti.

Kata Mahbub, dalam penghujung tulisannya yang terbit pada Oktober 1977, “….sedikit sopanlah terhadap beliau-beliau yang sudah tiada, yang tiada kuasa lagi mengeluh atau pun protes, yang ingin tenang dan tenteram menunggu hari kiamat, tatkala bumi berguncang hebat, gunung-gunung berubah jadi abu yang berhamburan, tatkala orang-orang beruntung duduk bersila di antara bunga teratai tak berduri serta pohon pisang bersusun-susun sisirnya, tanpa mesti diganggu tagihan ongkos-ongkos, apalagi mesti berpindah-pindah kian kemari.”

Toleransi Kita

Narasi tentang kuburan, ada yang menarik dari Yogyakarta kemarin. Ada keluarga si orang meninggal yang harus menandatangani pernyataan. Nisan berbentuk salib musti diubah bentuknya. Lantarannya pun tak begitu jelas. Adat “Islam” di Kotagede, konon. Tetapi, atas dasar apa pun itu, citra toleransi masih membutuhkan kerja keras untuk memperbaikinya.

Rilis Lembaga Survei Indonesia (LSI), sebagaimana tertuang dalam Menguatnya Intoleransi dan Politik Identitas karya Burhanuddin Muhtadi (2018), meniup alarm yang mengkhawatirkan. Tren intoleransi dalam konteks religius-kultural kian lompat jauh pada 2018. Sejak 2010 intoleransi religius-kultural menurun. Tetapi, pada 2018 kembali menanjak. Menurut hasil survei itu, dikatakan, 30,7% muslim Indonesia sangat intoleran, 17,1% intoleran, 20% toleran, dan 32,2% sangat toleran.

Hasil di atas berdasar pada ukuran yang mencakup seberapa keberatan responden muslim (atau nonmuslim) jika ada pemeluk agama lain membangun rumah ibadah atau melakukan kegiatan keagamaan. Ukuran pertanyaan ini tentu menarik sebab mengafirmasi kejadian-kejadian sebelumnya berkaitan dengan tindakan intoleransi dalam wajah keberagaman kita.

Kebijaksanaan Sosial

Alarm ini patut menjadi perhatian utama, apalagi menjelang konstelasi politik dalam Pemilu 2019. Dikaitkan dengan politik, justru bagi Muhtadi, mempunyai dampak panjang. Ia tidak seperti pendapat beberapa pengamat yang mengatakan berdampak jangka pendek. Artinya, tren intoleransi bisa saut-menyaut, paling dekat sampai dengan Pemilu 2019. Apa yang harus dilakukan?

Beberapa amatan para pakar, barangkali bisa menjadi titik pijak yang baik untuk menerjemahkan tindakan toleransi di tengah perbedaan. Tidak hanya dalam perbedaan politik, sebagai realitas kehidupan bermasyarakat, perbedaan budaya, ras, dan agama menjadi titik penting nilai-nilai toleransi itu tertanam.

Perspektif self esteemsebagaimana Zakiyuddin Baidhawy dalam Ngainun Naim (Abdurrahman Wahid: Universalisme Islam dan Toleransi, 2006) menjelaskan pentingnya perspektif di atas dalam melihat hal yang berbeda di luar kita. Perspektif ini menjelaskan tentang kunci penting dalam toleransi terletak pada bagaimana mempersepsi diri dan orang lain. Perspektif di atas setidaknya menjelaskan mengenai diri dan orang lain dalam keadaan setara. Perbedaan-perbedaan yang menyertai manusia lain dan lingkungannya perlu dilihat sebagai sesuatu yang niscaya. Tidak ada lagi polarisasi, perlakuan yang berbeda terhadap yang minoritas atau bahkan mayoritas. Dalam payung pluralitas, di bawah naungannya perlu mendapatkan akses yang setara.

Persoalan selanjutnya, sebagaimana kita melihat dalam riak religius-kultural, atas dasar agama perilaku intoleransi kerap menjadi tontonan. Para pembawa dakwah tak jarang menunjukkan gaya imperatif dalam menilai orang-orang di luar kelompok dan agamanya. Mustinya yang terjadi adalah kejelian para dai melihat keberagaman sebagai kelonggaran membuka ruang dialektika demi kokohnya toleransi.

Adalah penting, hemat penulis, pemahaman agama yang utuh musti dibarengi dengan kebijaksanaan sosial. Tidak mungkin keduanya berjalan sendiri. Di ruas ini para dai setidaknya menjadi unsur dominatif sebagai upaya-upaya perwujudan toleransi. Tidak hanya dalam wilayah konstruksi kesadaran tentang toleransi, melainkan juga dalam laku kesehariannya. Selamat Tahun Baru 2019.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0810 seconds (0.1#10.140)