Negara Hadir
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
MENJELANG berakhirnya tahun 2018, pemerintah telah berhasil mencatat beberapa capaian gemilang. Beberapa variabel makroekonomi sudah tercapai atau sedang mendekati angka target.
Dari sisi pertumbuhan ekonomi misalnya, secara kumulatif hingga triwulan III-2018 sudah berada di kisaran 5,17%. Angka tersebut mendekati outlook APBN 2018 yang menargetkan pertumbuhan di kisaran 5,1–5,2%.
Sejumlah lembaga survei internasional (IMF, World Bank, dan OECD) serta Bank Indonesia (BI) juga menaksir realisasi secara kumulatif hingga akhir 2018 nanti akan berada di kisaran 5,2%. Hal ini cukup melegakan karena kita sempat terjepit kondisi kurs rupiah yang sempat menembus angka Rp15.000 per dolar AS.
Pelemahan kurs rupiah bisa berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, khususnya dari sisi impor dan investasi (melalui pembentukan modal tetap domestik bruto/PMTB). Namun kenyataannya kekuatan internal kita masih cukup tangguh untuk mengatasi persoalan struktural tersebut.
Hasil positif juga berhasil pemerintah raih pada indikator harga konsumen (inflasi). Pada November kemarin tercatat terjadi inflasi sebesar 0,27% (mtm).
Sepanjang tahun berjalan, tingkat inflasi kita berada pada posisi 2,50% (ytd) atau 3,23% (yoy). Realisasi tersebut sudah merapat pada target APBN sebesar 3,2% (yoy) dan menunjukkan stabilitas harga domestik yang cukup baik.
Namun kita tetap perlu hati-hati karena pada Desember ini biasanya terjadi kenaikan harga yang lebih besar lagi. Salah satu penyebabnya karena bertepatan dengan momentum perayaan Natal dan Tahun Baru yang sedianya meningkatkan konsumsi masyarakat secara relatif.
Selain itu momentum libur akhir tahun dan perubahan iklim akan meningkatkan inflasi pada komoditas transportasi dan kelompok pangan. Kedua kelompok sudah tampak gelagatnya semenjak bulan lalu.
Kurs rupiah dan neraca perdagangan mungkin menjadi bagian minor dari kinerja pemerintah sepanjang tahun. Kurs rupiah kita masih bablas dari target outlook APBN 2018 sebesar Rp13.973 per dolar AS. Akan tetapi lambat laun mulai ditekan hingga pekan kemarin tinggal Rp14.542 per dolar AS berdasarkan kurs referensi Jisdor.
Hingga akhir November kemarin tercatat rupiah terdepresiasi 7,64% (ytd) terhadap dolar AS. Tugas berat bagi pemerintah dan tentu saja BI untuk terus melakukan risk appetite hingga berbagai dampak negatifnya bisa kita hindari.
BI sudah melakukan langkah berani untuk meningkatkan suku bunga 7 day repo rate (7DRR) hingga sekarang terakumulasi sebesar 6%. Kebijakan pemerintah dari sisi fiskal khususnya melalui geliat ekspor dan investasi asing sangat dinantikan untuk menjaga agar cadangan devisa kita tetap sehat.
Cadangan devisa Indonesia per November kemarin tercatat sebesar USD117,2 miliar yang diperkirakan dapat membiayai impor selama 6,5 bulan impor atau 6,3 bulan impor beserta pembayaran utang luar negeri pemerintah. Angka tersebut masih melampaui batas standar kecukupan internasional yang ditetapkan sebesar 3 bulan impor.
Penguatan kurs rupiah yang terjadi akhir-akhir ini juga berdampak pada penurunan rata-rata tingkat SPN 3 bulan yang selama Januari–November 2018 tercatat sebesar 4,95%. Angka tersebut mendekati outlook APBN kita yang ditetapkan sebesar 5%.
Defisit perdagangan internasional mungkin kinerjanya yang paling mengkhawatirkan saat ini. Sepanjang Januari–November 2018 tercatat agregat defisit perdagangan kita sudah menembus USD7,52 miliar.
Neraca perdagangan pada November juga menunjukkan rapor merah karena angka defisitnya mencapai USD2,05 miliar. Nilai minus tersebut menjadi yang terparah setelah periode Juli 2013.
Nilai ekspor November 2018 menurun 6,69% bila dibandingkan dengan Oktober 2018 (mtm), sementara jika dibandingkan dengan November 2017 nilainya merosot 3,28% (yoy). Adapun dari sisi impor November 2018 kemarin juga turun 4,47% (mtm) bila dibandingkan dengan Oktober 2018, tetapi jika dibandingkan November 2017 angkanya melesat meningkat menjadi 11,68% (yoy).
Jikalau pemerintah tetap menggunakan dalih kenaikan impor ini karena adanya kenaikan produksi industri, semestinya ada sisi positifnya juga (di balik “tragedi” defisit fiskal), khususnya untuk pertumbuhan ekonomi. Terlebih lagi jika produk impor yang mayoritas digunakan untuk bahan baku dan barang penolong industri tersebut juga ditransformasikan sebagai produk yang layak ekspor. Karena kalau tidak, kita akan selalu kedodoran untuk membayar lunas atas dampak defisit neraca perdagangan yang kita alami.
Dalam konteks ekonomi global dengan pasar perdagangan lebih bermakna sebagai market interest, Indonesia cukup lama terasa kedodoran, terutama untuk melawan dinamika pasar internasional yang pergerakannya sangat cepat dan sulit diprediksi. Hal positif yang bisa kita petik sebagai pelajaran adalah pentingnya penguatan ekonomi domestik.
Kita berada pada situasi problematika ekonomi yang semakin kompleks. Belum lagi para pemangku kebijakan ekonomi internasional mulai berpikir parsial semata-mata hanya demi kepentingan negara atau sekutunya.
Gotong-royong perekonomian internasional semakin terasa dihitung sebatas kalkulasi untung-rugi bagi negaranya dalam jangka pendek. Menguatnya kerja sama bilateral dan multilateral yang melahirkan kelompok-kelompok kepentingan (dalam kasus tertentu) justru kian meruncingkan api persaingan yang tidak cukup sehat. Perang dagang antara China dan AS menjadi salah satu contoh sahihnya.
Persaingan dagang tidak hanya melibatkan kedua belah negara, tetapi sekutu-sekutunya juga dipaksa turut berperan aktif jika tidak ingin negaranya “dikucilkan” oleh dua negara kiblat perekonomian dunia tersebut. Indonesia pun dipaksa tidak bisa bersikap netral. Kita terlibat perdagangan ekspor-impor yang sangat dominan dengan China, khususnya dalam beberapa tahun terakhir. Sementara itu kita memiliki histori politik dan ekonomi yang cukup kental dengan AS.
Satu-satunya jalan yang tersisa untuk menyelamatkan perekonomian negara kita dalam jangka panjang sepertinya tinggal pilihan apakah kita bersedia untuk memantapkan kemandirian ekonomi. Pengembangan industri dan pelaku substitusi impor perlu digalakkan secara gradual.
Karena dengan upaya itulah kita bisa menghentikan paradoks antara manfaat dan bencana yang kita terima dari hasil impor yang telah dilakukan. Kita juga memiliki peluang yang lebih besar ketika semakin banyak sektor yang dibangun dan mampu menggandakan jumlah pelaku ekonomi yang terlibat di dalamnya.
Setidaknya ketika perekonomian dalam negeri bisa semakin menggeliat, semestinya perekonomian kita memiliki daya tahan yang lebih kuat dari godaan eksternal. Selain itu akan memunculkan kebanggaan tersendiri bagi masyarakat akan negaranya karena kebutuhannya (walaupun sebatas basic needs) telah dipenuhi secara mandiri oleh negara dan pemerintahnya. Bagaimana sebenarnya bentuk konkretnya, itulah yang perlu kita rembuk bersama.
Dalam kacamata penulis, sebetulnya banyak pelaku potensial untuk menggeliatkan kebijakan substitusi impor. Hanya saja belum cukup terbantu dengan adanya perlindungan atau keberpihakan dari pemerintah terhadap pelaku dan pasar domestik.
Proses perlindungan atau keberpihakan dapat diwujudkan antara lain dengan pemberian akses yang lebih mudah untuk jaringan permodalan, peningkatan efisiensi dan teknis produksi, ataupun akses pemasaran. Kebijakan asimetris juga dibutuhkan pada kondisi tertentu, misalnya ketika ada produk impor yang sebetulnya bisa kita produksi sendiri.
Pemerintah bisa memberikan perlindungan kepada pelaku usaha dengan produk identik, sebagai contoh melalui pengenaan pajak progresif atas barang impor tersebut. Jadi pemerintah bisa “mengintervensi” melalui daya saing harga produk lokal. Selain itu pemerintah juga bisa diuntungkan dengan adanya kenaikan pajak yang nantinya akan bermuara pada kapasitas fiskal, serta sumber daya yang meningkat untuk proses pemerataan pendapatan masyarakat.
Akan tetapi perlu juga disertai catatan bahwa pelaku lokal turut bersedia meningkatkan efisiensi dan kualitas produknya agar daya saing pasarnya bisa menguat. Dengan demikian kuncinya berada pada kapasitas kolaborasi antara pemerintah dan pelaku usaha lokal.
Namun kita perlu berhati-hati karena nantinya akan berisiko melahirkan kontroversi internasional.
Contoh nyatanya bisa kita lihat dari kebijakan Presiden AS Donald Trump yang sudah mencoba menerapkan perlakuan asimetris melalui peningkatan pajak impor, khususnya dari China. Dan hasilnya seperti yang kita lihat bersama, terjadi perang dagang dengan China sebagai negara yang paling dirugikan atas kebijakan tersebut.
Memang perlu banyak keberanian di dalamnya jika pemerintah ingin mentas dari situasi yang serba-kurang menguntungkan ini. Kita terlampau sering menyaksikan betapa produk lokal secara simultan “menghilang” karena minimnya perlindungan.
Keadilan harus ditempatkan pada proporsi yang tepat. Sebagai contoh kritik mengenai pajak atas produk sejenis yang nilainya sama antara barang lokal dan impor.
Padahal produk impor pada sisi hulunya memiliki keunggulan di mana di negaranya semua resources di-manage oleh pemerintahnya sehingga harga jualnya jadi lebih murah. Itu bisa juga kita adopsi sebagai langkah perlindungan awal.
Pemerintah menjadi pihak yang paling tahu, sektor mana saja yang sekiranya harus dilindungi, bagaimana proses melindunginya, serta sampai berapa lama hingga nantinya bisa dilepaskan dalam mekanisme pasar. Apa pun usahanya selama bertujuan untuk meningkatkan hasil investasi dan pembangunan serta tidak meninggalkan norma yang terkandung dalam hukum positif, tentu perlu kita dukung dengan sepenuh jiwa.
Kita berharap pada 2019 esok hari, pemerintah dapat semakin mengukuhkan keberpihakannya pada perekonomian nasional dengan meningkatkan komitmen governances maupun perbaikan sistem birokrasi yang semakin efektif. Harapan lainnya, dengan pemerintahan yang bersih dan tata kelola yang baik, hal itu akan menjadi modal dasar yang besar untuk “memperkuat” kehadiran pemerintah pada pembentukan perekonomian yang kuat dan mandiri. Semoga itu semua dapat segera terjadi.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
MENJELANG berakhirnya tahun 2018, pemerintah telah berhasil mencatat beberapa capaian gemilang. Beberapa variabel makroekonomi sudah tercapai atau sedang mendekati angka target.
Dari sisi pertumbuhan ekonomi misalnya, secara kumulatif hingga triwulan III-2018 sudah berada di kisaran 5,17%. Angka tersebut mendekati outlook APBN 2018 yang menargetkan pertumbuhan di kisaran 5,1–5,2%.
Sejumlah lembaga survei internasional (IMF, World Bank, dan OECD) serta Bank Indonesia (BI) juga menaksir realisasi secara kumulatif hingga akhir 2018 nanti akan berada di kisaran 5,2%. Hal ini cukup melegakan karena kita sempat terjepit kondisi kurs rupiah yang sempat menembus angka Rp15.000 per dolar AS.
Pelemahan kurs rupiah bisa berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, khususnya dari sisi impor dan investasi (melalui pembentukan modal tetap domestik bruto/PMTB). Namun kenyataannya kekuatan internal kita masih cukup tangguh untuk mengatasi persoalan struktural tersebut.
Hasil positif juga berhasil pemerintah raih pada indikator harga konsumen (inflasi). Pada November kemarin tercatat terjadi inflasi sebesar 0,27% (mtm).
Sepanjang tahun berjalan, tingkat inflasi kita berada pada posisi 2,50% (ytd) atau 3,23% (yoy). Realisasi tersebut sudah merapat pada target APBN sebesar 3,2% (yoy) dan menunjukkan stabilitas harga domestik yang cukup baik.
Namun kita tetap perlu hati-hati karena pada Desember ini biasanya terjadi kenaikan harga yang lebih besar lagi. Salah satu penyebabnya karena bertepatan dengan momentum perayaan Natal dan Tahun Baru yang sedianya meningkatkan konsumsi masyarakat secara relatif.
Selain itu momentum libur akhir tahun dan perubahan iklim akan meningkatkan inflasi pada komoditas transportasi dan kelompok pangan. Kedua kelompok sudah tampak gelagatnya semenjak bulan lalu.
Kurs rupiah dan neraca perdagangan mungkin menjadi bagian minor dari kinerja pemerintah sepanjang tahun. Kurs rupiah kita masih bablas dari target outlook APBN 2018 sebesar Rp13.973 per dolar AS. Akan tetapi lambat laun mulai ditekan hingga pekan kemarin tinggal Rp14.542 per dolar AS berdasarkan kurs referensi Jisdor.
Hingga akhir November kemarin tercatat rupiah terdepresiasi 7,64% (ytd) terhadap dolar AS. Tugas berat bagi pemerintah dan tentu saja BI untuk terus melakukan risk appetite hingga berbagai dampak negatifnya bisa kita hindari.
BI sudah melakukan langkah berani untuk meningkatkan suku bunga 7 day repo rate (7DRR) hingga sekarang terakumulasi sebesar 6%. Kebijakan pemerintah dari sisi fiskal khususnya melalui geliat ekspor dan investasi asing sangat dinantikan untuk menjaga agar cadangan devisa kita tetap sehat.
Cadangan devisa Indonesia per November kemarin tercatat sebesar USD117,2 miliar yang diperkirakan dapat membiayai impor selama 6,5 bulan impor atau 6,3 bulan impor beserta pembayaran utang luar negeri pemerintah. Angka tersebut masih melampaui batas standar kecukupan internasional yang ditetapkan sebesar 3 bulan impor.
Penguatan kurs rupiah yang terjadi akhir-akhir ini juga berdampak pada penurunan rata-rata tingkat SPN 3 bulan yang selama Januari–November 2018 tercatat sebesar 4,95%. Angka tersebut mendekati outlook APBN kita yang ditetapkan sebesar 5%.
Defisit perdagangan internasional mungkin kinerjanya yang paling mengkhawatirkan saat ini. Sepanjang Januari–November 2018 tercatat agregat defisit perdagangan kita sudah menembus USD7,52 miliar.
Neraca perdagangan pada November juga menunjukkan rapor merah karena angka defisitnya mencapai USD2,05 miliar. Nilai minus tersebut menjadi yang terparah setelah periode Juli 2013.
Nilai ekspor November 2018 menurun 6,69% bila dibandingkan dengan Oktober 2018 (mtm), sementara jika dibandingkan dengan November 2017 nilainya merosot 3,28% (yoy). Adapun dari sisi impor November 2018 kemarin juga turun 4,47% (mtm) bila dibandingkan dengan Oktober 2018, tetapi jika dibandingkan November 2017 angkanya melesat meningkat menjadi 11,68% (yoy).
Jikalau pemerintah tetap menggunakan dalih kenaikan impor ini karena adanya kenaikan produksi industri, semestinya ada sisi positifnya juga (di balik “tragedi” defisit fiskal), khususnya untuk pertumbuhan ekonomi. Terlebih lagi jika produk impor yang mayoritas digunakan untuk bahan baku dan barang penolong industri tersebut juga ditransformasikan sebagai produk yang layak ekspor. Karena kalau tidak, kita akan selalu kedodoran untuk membayar lunas atas dampak defisit neraca perdagangan yang kita alami.
Dalam konteks ekonomi global dengan pasar perdagangan lebih bermakna sebagai market interest, Indonesia cukup lama terasa kedodoran, terutama untuk melawan dinamika pasar internasional yang pergerakannya sangat cepat dan sulit diprediksi. Hal positif yang bisa kita petik sebagai pelajaran adalah pentingnya penguatan ekonomi domestik.
Kita berada pada situasi problematika ekonomi yang semakin kompleks. Belum lagi para pemangku kebijakan ekonomi internasional mulai berpikir parsial semata-mata hanya demi kepentingan negara atau sekutunya.
Gotong-royong perekonomian internasional semakin terasa dihitung sebatas kalkulasi untung-rugi bagi negaranya dalam jangka pendek. Menguatnya kerja sama bilateral dan multilateral yang melahirkan kelompok-kelompok kepentingan (dalam kasus tertentu) justru kian meruncingkan api persaingan yang tidak cukup sehat. Perang dagang antara China dan AS menjadi salah satu contoh sahihnya.
Persaingan dagang tidak hanya melibatkan kedua belah negara, tetapi sekutu-sekutunya juga dipaksa turut berperan aktif jika tidak ingin negaranya “dikucilkan” oleh dua negara kiblat perekonomian dunia tersebut. Indonesia pun dipaksa tidak bisa bersikap netral. Kita terlibat perdagangan ekspor-impor yang sangat dominan dengan China, khususnya dalam beberapa tahun terakhir. Sementara itu kita memiliki histori politik dan ekonomi yang cukup kental dengan AS.
Satu-satunya jalan yang tersisa untuk menyelamatkan perekonomian negara kita dalam jangka panjang sepertinya tinggal pilihan apakah kita bersedia untuk memantapkan kemandirian ekonomi. Pengembangan industri dan pelaku substitusi impor perlu digalakkan secara gradual.
Karena dengan upaya itulah kita bisa menghentikan paradoks antara manfaat dan bencana yang kita terima dari hasil impor yang telah dilakukan. Kita juga memiliki peluang yang lebih besar ketika semakin banyak sektor yang dibangun dan mampu menggandakan jumlah pelaku ekonomi yang terlibat di dalamnya.
Setidaknya ketika perekonomian dalam negeri bisa semakin menggeliat, semestinya perekonomian kita memiliki daya tahan yang lebih kuat dari godaan eksternal. Selain itu akan memunculkan kebanggaan tersendiri bagi masyarakat akan negaranya karena kebutuhannya (walaupun sebatas basic needs) telah dipenuhi secara mandiri oleh negara dan pemerintahnya. Bagaimana sebenarnya bentuk konkretnya, itulah yang perlu kita rembuk bersama.
Dalam kacamata penulis, sebetulnya banyak pelaku potensial untuk menggeliatkan kebijakan substitusi impor. Hanya saja belum cukup terbantu dengan adanya perlindungan atau keberpihakan dari pemerintah terhadap pelaku dan pasar domestik.
Proses perlindungan atau keberpihakan dapat diwujudkan antara lain dengan pemberian akses yang lebih mudah untuk jaringan permodalan, peningkatan efisiensi dan teknis produksi, ataupun akses pemasaran. Kebijakan asimetris juga dibutuhkan pada kondisi tertentu, misalnya ketika ada produk impor yang sebetulnya bisa kita produksi sendiri.
Pemerintah bisa memberikan perlindungan kepada pelaku usaha dengan produk identik, sebagai contoh melalui pengenaan pajak progresif atas barang impor tersebut. Jadi pemerintah bisa “mengintervensi” melalui daya saing harga produk lokal. Selain itu pemerintah juga bisa diuntungkan dengan adanya kenaikan pajak yang nantinya akan bermuara pada kapasitas fiskal, serta sumber daya yang meningkat untuk proses pemerataan pendapatan masyarakat.
Akan tetapi perlu juga disertai catatan bahwa pelaku lokal turut bersedia meningkatkan efisiensi dan kualitas produknya agar daya saing pasarnya bisa menguat. Dengan demikian kuncinya berada pada kapasitas kolaborasi antara pemerintah dan pelaku usaha lokal.
Namun kita perlu berhati-hati karena nantinya akan berisiko melahirkan kontroversi internasional.
Contoh nyatanya bisa kita lihat dari kebijakan Presiden AS Donald Trump yang sudah mencoba menerapkan perlakuan asimetris melalui peningkatan pajak impor, khususnya dari China. Dan hasilnya seperti yang kita lihat bersama, terjadi perang dagang dengan China sebagai negara yang paling dirugikan atas kebijakan tersebut.
Memang perlu banyak keberanian di dalamnya jika pemerintah ingin mentas dari situasi yang serba-kurang menguntungkan ini. Kita terlampau sering menyaksikan betapa produk lokal secara simultan “menghilang” karena minimnya perlindungan.
Keadilan harus ditempatkan pada proporsi yang tepat. Sebagai contoh kritik mengenai pajak atas produk sejenis yang nilainya sama antara barang lokal dan impor.
Padahal produk impor pada sisi hulunya memiliki keunggulan di mana di negaranya semua resources di-manage oleh pemerintahnya sehingga harga jualnya jadi lebih murah. Itu bisa juga kita adopsi sebagai langkah perlindungan awal.
Pemerintah menjadi pihak yang paling tahu, sektor mana saja yang sekiranya harus dilindungi, bagaimana proses melindunginya, serta sampai berapa lama hingga nantinya bisa dilepaskan dalam mekanisme pasar. Apa pun usahanya selama bertujuan untuk meningkatkan hasil investasi dan pembangunan serta tidak meninggalkan norma yang terkandung dalam hukum positif, tentu perlu kita dukung dengan sepenuh jiwa.
Kita berharap pada 2019 esok hari, pemerintah dapat semakin mengukuhkan keberpihakannya pada perekonomian nasional dengan meningkatkan komitmen governances maupun perbaikan sistem birokrasi yang semakin efektif. Harapan lainnya, dengan pemerintahan yang bersih dan tata kelola yang baik, hal itu akan menjadi modal dasar yang besar untuk “memperkuat” kehadiran pemerintah pada pembentukan perekonomian yang kuat dan mandiri. Semoga itu semua dapat segera terjadi.
(poe)