Muslim Uighur di Antara Tragedi Kemanusiaan dan Separatisme

Senin, 31 Desember 2018 - 05:37 WIB
Muslim Uighur di Antara...
Muslim Uighur di Antara Tragedi Kemanusiaan dan Separatisme
A A A
Imam Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation
Pendiri Pondok Pesantren Amerika

SEJAK beberapa hari terakhir ini isu kaum Muslimin di daerah Xingjian (dulu dikenal dengan Turkistan Timur), China menjadi isu hangat. Bahkan beberapa pekan lalu di Jakarta terjadi demo besar-besaran sebagai bentuk solidaritas umat Islam Indonesia kepada mereka.

Berbagai kalangan kemudian angkat bicara, baik kalangan pemerintah maupun non-pemerintah. Muhammadiyah misalnya melakukan pertemuan dengan Dubes China di Jakarta untuk membahas masalah ini.

Sementara itu kami di Amerika juga tidak ingin ketinggalan dan dianggap tidak peduli dengan sesama. Maka acara tahunan Nusantara Foundation yang dikenal dengan Nusantara Night tahun ini sepenuhnya didedikasikan untuk membangun solidaritas kepada umat Islam Uighur.

Acara Nusantara yang berlangsung semalam 28 Desember itu menjadi lebih spesial karena menghadirkan seorang pembicara orang Uighur asli. Beberapa anggota keluarganya menjadi korban kebiadaban Pemerintahan Komunis China di daerahnya.

Pelanggaran HAM Berat
Sejak memanasnya isu ini dalam beberapa waktu terakhir ragam informasi yang berkembang dan menyebabkan terjadinya perbedaan sudut pandang. Ada dua informasi yang paradoks yang sedang berkembang saat ini.

Informasi pertama mengatakan memang telah terjadi pelanggaran HAM besar di propensi Xingjian terhadap komunitas Muslim Uighur. Informasi yang kita dengar sejak lama misalnya mengatakan bahwa komunitas Muslim di bagian negara China ini dilarang melaksanakan ajaran agamanya.

Mereka dilarang naik haji, berpuasa, salat, bahkan dilarang memakai istilah-istilah agama seperti “Assalamualaikum”, “Insya Allah”, “Alhamdulillah”, dan seterusnya. Atau dilarang memakai nama-nama yang diidentikkan dengan nama Muslim seperti Muhammad, Ali, Umar, dan lain-lain.

Sebaliknya mereka dipaksa melakukan hal-hal yang dilarang agama seperti minum alkohol, memakan makanan haram seperti babi, dan lain-lain. Bahkan lebih jauh mereka dipaksa untuk lebur ke dalam ras dan etnik Han China dengan memaksa para perempuan Uighur untuk menikah dengan pria-pria dari kalangan etnis China asli (Han).

Lebih parah lagi mereka dipaksa untuk menerima idiologi komunisme dan meninggalkan keyakinan Islam mereka. Hal itu antara lain dengan pemaksaan kepada mereka untuk menerima dogma-dogma komunisme seraya menyatakan kekufuran kepada keyakinan Islam.

Yang paling parah kemudian adalah penangkapan massal jutaan kaum Uigur lalu ditempatkan di kamp-kamp konsentrasi di daerah-daerah yang tertutup dari dunia luar. Di kamp-kamp inilah mereka secara leluasa dipaksa untuk menanggalkan agama mereka dan menerima idiologi komunisme.

Bahkan terjadi pembasmian secara sistimatis dengan suntikan (injeksi) obat-obatan tertentu. Dengan suntikan itu, kaum Uighur banyak yang mati secara pelan-pelan. Perempuannya mengalami pendarahan parah yang tidak memungkinkan lagi untuk hamil.

Di kamp-kamp konsentrasi ini juga terjadi ragam penyiksaan. Misalnya mencabut kuku para tahanan atau merendam mereka di penjara dalam waktu yang lama, bahkan pemerkosaan massal kepada para perempuan.

Dan banyak lagi ragam tortur dan penyiksaan yang mereka alami. Baik di luar kamp-kamp konsentrasi maupun di dalam kamp-kamp konsentrasi itu.

Tentu lebih runyam dan rumit lagi karena kita kenal bahwa pemerintahan komunisme itu. Selain kejam, seperti yang pernah mereka lakukan ke bangsa Indonesia, mereka juga sangat tertutup. Maka kemungkinan besar informasi yang sampai ke dunia luar sangat terbatas.

Isu Separatisme dan Radikalisme
Informasi kedua yang berkembang adalah kekerasan yang terjadi di Xingjian ini tidak lain adalah sebagai respons terhadap upaya kaum Uighur yang berupaya memisahkan diri dari negara kesatuan China. Dengan sendirinya dipahami bahwa tindakan kekerasan Pemerintah China itu dalam rangkaian hak negera menjaga kedaulatanya. Pihak luar tidak punya hak untuk melakukan intervensi apapun.

Lebih jauh informasi kedua ini juga menyampaikan kepada kita bahwa komunitas Muslim Uighur dan Muslim lainnya di Xingjian aman-aman saja. Mereka bahkan diberi kebebasan penuh menjalankan agama dan keyakinan mereka.

Sekali lagi kalaupun terjadi kasus-kasus kekerasan maka itu karena Pemerintah China harus merespons upaya kaum Uighur memisahkan diri dari negara kesatuan China.

Selain isu separatisme, juga ada informasi yang berkembang bahwa tindakan Pemerintah China itu sebagai respons atas Muslim Uighur yang dianggap terpengaruh oleh radikalisme luar. Bahkan mereka (Muslim Uighur) dituduh menjadi bagian dari kelompok ISIS Timur Tengah.

Posisi Umat dan Bangsa
Melihat kepada realita kesimpangsiuran informasi itu tentu diperlukan sikap bijak dan hati-hati dalam menentukan sikap. Khusus untuk bangsa Indonesia yang lagi sedang berada dalam suasana kehangatan politik, khususnya dalam konteks pilpres saat ini, tentu diperlukan sikap bijak yang lebih besar. Jangan sampai isu Uighur kemudian menjadi santapan lezat kepentingan politik dan Pilpres.

Saat ini dan di hari-hari mendatang diperlukan pencarian informasi yang akurat. Sudah pasti informasi yang akurat hanya bisa didapatkan dengan akses langsung ke lokasi dan mendapatkan informasi itu langsung dari warga Uighur sendiri.

Selama Pemerintahan Komunisme China masih menutup rapat akses ke daerah Turkistan Timur atau Xingjian ini maka selama itu pula informasi yang didapatkan bersifat ambigu dan tidak pasti.

Ketertutupan Pemerintah China dari dunia luar tentunya sekaligus membangun kecurigaan besar jika informasi tentang pelanggaran HAM ini adalah fakta dan benar. Sebab jika informasi kekerasan pelanggaran HAM itu tidak ada, kenapa justru menutup diri dari akses dunia luar?

Karenanya hal yang terbaik adalah segera dibentuk tim independen dari dunia Islam dan internasional untuk melakukan fact finding (pencarian fakta). Pemerintah China harus segera memberikan akses penuh kepada tim ini untuk melakukan investigasi.

Sikap Indonesia
Indonesia itu unik dikarenakan dua hal. Pertama, Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia. Kedua, Indonesia merupakan negara yang memiliki tanggung jawab konstitusi, tidak saja secara domestik. Memiliki tanggung jawab konstitusi untuk menjaga ketertiban dunia dan menghapuskan segala bentuk kezaliman (penjajahan) di atas dunia ini.

Oleh karena itu, Indonesia baik rakyat maupun pemerintah memiliki tanggung dua kaki. Tanggung jawab moral (agama) dan juga tanggung jawab konstitusi untuk mengambil langkah-langkah aktif dalam menyikapi permasalahan ini. Bersikap masa bodoh, apalagi karena dihinggapi rasa takut dan minder karena kekuatan “kuku China” di negara ini adalah pengkhianatan kepada kedua amanah (agama dan konstitusi) itu.

Pemerintah dan semua pihak harus segera menginisiasi langkah-langkah pembentukan tim fact finding itu. Baik dalam kapasitasnya sebagai anggota besar OKI maupun di arena internasional (PBB dan Komisi HAM PBB Jenewa).

Jangan-jangan memang benar bahwa saudara-saudara kita di Xingjian saat ini sedang mengalami “eliminasi” massal. Lalu kita terbutakan dan terninabobokkan oleh informasi-informasi formal Pemerintahan Komunis China.

Kalaupun misalnya bahwa Pemerintahan China hanya melakukan hak menjaga keutuhan negara, lalu logiskah jika kamp-kamp konsentrasi itu eksis? Dapatkah diterima secara akal adanya kamp-kamp konsentrasi seperti yang dialami warga Yahudi di Eropa masa lalu?

Tentu kita harus menghormati kedaulatan negara lain. Kita tidak ingin intervensi urusan dalam negara lain. Tapi ketika sudah menyangkut hidup dan kemuliaan manusia (human dignity) maka Indonesia dan dunia internasional punya tanggung jawab moral dan konstitusi untuk menyuarakan resistensi.

Jika Indonesia dan dunia Islam, bahkan dunia internasional memilih diam maka sekali lagi, itu adalah pengkhianatan nyata kepada nilai-nilai kemanusiaan, agama dan konstitusi.

Kesimpulannya kita tidak punya kepentingan melihat Xingjian (Turkistan Timur) memisahkan diri dari China. Sebagaimana kita tidak mau negara lain mendukung Papua untuk memisahkan diri dari NKRI. Tapi moral dan konstitusi kita mengamanahkan untuk menjunjung tinggi hak-hak semua manusia untuk kebebasan beragama (freedom of religion) dan kemuliaan kemanusiaan (human dignity).

Oleh karenanya kita tunggu langkah apa yang akan diambil oleh Pemerintah Indonesia ke depan. Apalagi mulai Januari ini Indonesia menjadi salah satu anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Apakah hanya menjadi penghibur dan pelengkap di DK? Mengikuti ritme nyanyian dunia yang penuh kepura-puraan?

Atau Indonesia akan berani untuk melakukan langkah-langkah dan terobosan baru dalam meminimalisir berbagai ketidakadilan dunia. Uighur, Rohingya, dan tentunya Palestina menunggu penuh harap. Kita juga menunggu!

*New York, penghujung tahun 2018.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0742 seconds (0.1#10.140)