RI-Arab Saudi: Menjaga Harmoni Dua Negara

Jum'at, 21 Desember 2018 - 09:29 WIB
RI-Arab Saudi: Menjaga Harmoni Dua Negara
RI-Arab Saudi: Menjaga Harmoni Dua Negara
A A A
Masduki Baidlowi
Ketua Harian Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Informasi dan Komunikasi (Infokom), Anggota Delegasi The Janadriyah Cultural And Heritage Festival

"PENGIKARAN terhadap persahabatan antara Saudi dan Indonesia, sama dengan mengingkari adanya matahari di siang bolong." (Raja Faisal di depan DPRGR RI pada Juni 1970). Dalam sepekan terakhir, Kantor Kedubes Arab Saudi di Jakarta lebih sibuk dari biasanya. Hari Ahad yang biasanya para stafnya pada libur ternyata harus lembur. Ada 600-an visa harus diselesaikan untuk keberangkatan para tamu dari Indonesia menuju Riyadh, ibu kota Arab Saudi. Ada apa gerangan?

Sejumlah pejabat tinggi, para tokoh agama, puluhan wartawan, dan sejumlah relasi diplomatik Arab Saudi lainnya di Indonesia, diundang menghadiri Festival Kebudayaan Tradisional Arab Saudi yang diselenggarakan besar-besaran. Festival yang disebut The Janadriyah Cultural And Heritage Festival itu dibuka langsung oleh Raja Salman pada Kamis, 20 Desember 2018.

Selain menampilkan kebudayaan Arab, seperti bermacam tarian, berbagai jenis olahraga, dan balap unta, acara ini juga memberi kesempatan pada setiap negara yang diundang menampilkan kreativitas seni dan budayanya. Inilah salah satu ajang pembuktian pada dunia internasional bahwa Arab Saudi telah membuka diri, bukan lagi negeri konservatif yang serba melarang atraksi seni dan budaya.

Tentu acara yang bertempat di Janadriyah, 40 km dekat Kota Riyadh ini sekaligus dijadikan ajang lobi efektif untuk kepentingan diplomatik masing-masing negara. Bagi Indonesia ini adalah kali pertama ditunjuk sebagai tamu kehormatan (guest of honor/dhoif al-syarof ). Rupanya tak mudah sebuah negara bisa menjadi tamu istimewa. Menurut Agus Maftuh Abegebriel, Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi, negara kita ditunjuk sebagai tamu kehormatan dalam festival ini melalui Dekrit Raja Salman pada September 2018 silam.

Padahal negara-negara lain antre ingin menjadi tamu kehormatan tersebut. Indonesia yang membawa moto Unity in Diversity for Strengthening Moderation and Global Peace ini akan memamerkan kekayaan budaya dan peradabannya dalam paviliun mewah seluas 2.500 meter persegi. Untuk melancarkan kegiatan ini, Agus Maftuh sebagai Duta Besar bersinergi dengan Kemendikbud dan sejumlah kementerian yang lain. "Indonesia akan mengukir sejarah yang tak akan terlupakan di Timur Tengah," katanya.

Jembatan Strategis
Lancarnya hubungan Indonesia dengan Arab Saudi tak bisa dilepaskan dari rangkaian peristiwa penting dari kunjungan Raja Salman ke Indonesia pada Maret 2017 silam. Kunjungan resmi dengan rombongan besar mencapai 800 orang itu merupakan balasan dari kunjungan Presiden Joko Widodo dua tahun sebelumnya ke Arab Saudi.

Kunjungan resmi Raja Faisal ke Indonesia ini menghasilkan penandatanganan 11 MoU yang empat di antaranya menyangkut soal ekonomi dan perdagangan. Empat MoU bidang ekonomi itu meliputi pengembangan usaha kecil dan menengah, kerja sama bidang kelautan dan perikanan, dan kerja sama perdagangan dan investasi. Ada dana yang ditaksir mencapai USD1 miliar akan diinvestasikan Arab Saudi ke Indonesia. Agar semua tak hanya berupa tanda tangan MoU di atas kertas saja, maka ajang festival kebudayaan ini bisa menjadi forum tindak lanjut untuk merealisasikan kerja sama kedua negara dan rencana-rencana setelah kunjungan Raja Salman ke Indonesia pada 2017 itu.

Diplomasi tak resmi seperti lewat jalur festival kebudayaan The Janadriyah Cultural ini sangat bermanfaat membangun keakraban hubungan antarpejabat atau pengusaha kedua negara. Sebab negara-negara Timur Tengah semacam Arab Saudi dan lainnya lebih mementingkan bangunan hubungan keakraban yang tidak terlalu resmi seperti kegiatan festival ini daripada lewat forum-forum resmi diplomatik. Pentingnya lagi, membangun kerja sama perdagangan dengan Arab Saudi punya nilai strategis untuk memacu dan meluaskan ekspansi ekspor Indonesia dari jalur-jalur tradisional yang selama ini ada.

Arab Saudi adalah negara yang pengaruhnya sangat kuat di kawasan regionalnya. Ia adalah anggota penting dari Gulf Cooperation Council (GCC) dengan enam anggotanya: Uni Emirat Arab, Kuwait, Bahrain, Oman, dan Qatar. Walau dalam perkembangan terakhir Qatar punya masalah serius secara diplomatik dengan Arab Saudi dan sebagian anggota GCC, tetapi tetap saja masalah tersebut tak akan mengubah konstelasi dan posisi strategis Arab Saudi untuk tetap dijadikan mitra strategis dalam kerja sama ekonomi dan perdagangan.

Seperti kata pepatah Melayu "sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui", maka kerja sama perdagangan intensif antara Indonesia dengan Saudi Arabia diharapkan negara-negara yang tergabung dalam GCC tadi akan terkena pengaruh positif dari kerja sama ini. Pengaruh positif ini diharapkan juga akan terus merembet ke negara-negara tetangga lainnya, seperti teori domino dalam pengaruh hubungan internasional—jatuhnya satu kartu domino (negara) akan menyebabkan jatuhnya kartu (negara) yang lainnya secara berurutan.

Bagi Indonesia, saat ini merupakan momentum tepat untuk membangun kerja sama perdagangan lebih erat dengan negara kaya minyak ini. Sebab inilah negara yang sedang mengalami masa transisi ekonomi secara besar-besaran. Arab Saudi saat ini mengalami proses transisi dari negara berbasis pada penghasil gas dan minyak ingin bertransformasi menjadi negara industri berbasis jasa dan pariwisata.

Dengan visi Arab Saudi 2030 yang sudah diluncurkan sejak 2016 silam, ada tiga pilar hendak dijadikan landasan untuk langkah transformatif itu. Pertama, menjadikan Arab Saudi sebagai jantung dunia Arab dan Islam. Jika dalam dekade terakhir ini jantung dunia Arab itu bergeser ke tetangganya: negara-negara Teluk, maka Arab Saudi dengan visi masa depannya itu ingin menggeser kembali ke negara Wangsa Saud itu.

Kedua, Saudi juga ingin menjadi negara tujuan investasi global, terutama yang berkaitan dengan investasi langsung. Ini wajar karena tak mungkin visi 2030 itu akan disangga dengan dana sendiri, tanpa investasi asing langsung ke negeri petro dolar tersebut. Ketiga, visi 2030 itu juga ingin mengubah negeri kerajaan ini menjadi jembatan perantara (hub) global: Asia, Eropa, dan Afrika.

Jelas Arab Saudi bukan cuma ingin menjadi jantung budaya dan agama bagi Arab dan Islam, tetapi juga ingin menjadi hub (jembatan penghubung) antara Asia, Eropa, dan Afrika. Potensi untuk memainkan peran sebagai jembatan penghubung global, selain sebagai negara industri jasa dan pariwisata religi, itu sebenarnya sudah dimiliki Arab Saudi. Sebab selama ini Saudi punya magnet kuat tetapi belum termanfaatkan dengan baik. Sekadar contoh, inilah negara yang di dalamnya ada kota suci Mekah, Kakbah, Madinatur Rasul, serta situs-situs sejarah sangat tua, seperti Kota Madain Shaleh, benteng-benteng kuno Abad 17 yang kini sedang direnovasi, serta situs-situs sejarah lainnya.

Belum lagi sektor industri lainnya yang akan dikembangkan lewat visi 2030. Misal, ekspor nonminyak akan terus digenjot dari kondisi sekarang 16% menjadi 50%. Kontribusi sektor swasta diharapkan bisa menyumbang 65% dari posisi sekarang yang mencapai 40% dari PDB. Selanjutnya Arab Saudi juga ingin meningkatkan pendapatan pemerintah dari sektor nonmigas menjadi 1 triliun riyal dari sekarang yang masih dalam posisi 163 miliar riyal.

Perhelatan festival di Janadriyah ini sebenarnya adalah bagian tak terpisahkan dari visi Arab Saudi 2030 bidang kebudayaan. Maksudnya, dunia internasional hendaknya mengetahui bahwa Arab Saudi sekarang tidak sama dengan Arab Saudi dulu: inilah negara yang bertransformasi lebih terbuka dan kompatibel dengan perkembangan modernitas global.

Hubungan bilateral antara Indonesia dan Arab Saudi secara resmi sudah terbangun sejak tahun 1950, lima tahun setelah Indonesia merdeka. Negeri yang di sebelah baratnya dibatasi Laut Merah ini merupakan salah satu negara pendukung kemerdekaan RI. Pada 1999 saat Indonesia menghadapi situasi politik pelik di Timor Timur (kini Timor Leste) dan harus menerima dilakukan jajak pendapat oleh PBB, Arab Saudi mendukung Indonesia.

Begitu pula sebaliknya. Maka wajar, jika almarhum Raja Faisal saat berkunjung ke Indonesia tahun 1970 memberi pernyataan sangat terkenal seperti yang dikutip di awal tulisan ini. Ada jarak 46 tahun antara kunjungan Raja Faisal dengan kunjungan Raja Salman pada 2017 silam.

Kunjungan terakhir ini, di mata Agus Maftuh Abegebriel, punya makna khusus, yaitu hubungan yang makin akrab antara Arab Saudi dan Indonesia sehingga Dubes RI yang sebelumnya berprofesi sebagai dosen di UIN Sunan Kalijogo itu punya istilah khusus mengenai keakraban dua negara ini: Saunesia; kependekan dari Saudi Arabia-Indonesia.

Tanda mata dari makna khusus itu adalah kepercayaan Arab Saudi terhadap Indonesia yang antara lain ditandai dengan memberi kesempatan untuk menjadi tamu kehormatan dalam Festival Janadriyah ini. Momen ini sangat penting untuk terus ditindaklanjuti Pemerintah Indonesia, para pengusaha, serta pelbagai pihak, agar terus menjaga hubungan kedua negara makin terjalin baik.

Pada giliran berikutnya, kondisi saling percaya antara kedua negara ini mesti diaktualkan dalam bentuk kerja sama saling menguntungkan dalam perdagangan dan ekonomi. Jika selama ini ternyata masih lebih banyak produk China, Thailand, atau Vietnam, yang memenuhi sejumlah supermarket di Arab Saudi, itu menandakan: betapa masih banyak dari kita yang kurang pandai memanfaatkan peluang menindaklanjuti secara riil dari hubungan bilateral yang terjalin baik itu.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6438 seconds (0.1#10.140)