Seriuskah AS Menekan Saudi?
A
A
A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
DUA pekan lalu, Senat Amerika Serikat (AS) dari kubu Republikan dan kubu Demokrat mengadakan voting untuk meninjau dukungan AS terhadap perang di Yaman. Hasilnya, para Senator memutuskan bahwa AS harus menarik dukungan dari Koalisi Arab yang dipimpin oleh Arab Saudi.
Keputusan ini memperkuat tekanan terhadap Arab Saudi pascapembunuhan Jamal Kashoggi pada November 2018. Saya sendiri masih ragu sejauh mana keputusan ini akan mengurangi bencana kemanusiaan yang terjadi di Yaman di mana rata-rata 130 anak mati setiap hari menurut Lembaga Save The Children.
Saya ragu karena para senator itu juga yang dulu membiarkan AS mendukung Koalisi Arab menyerang Yaman dengan menggunakan amunisi dan senjata canggih dari AS. Apakah hanya karena terbunuhnya Kashoggi di Turki, para senator tersebut menjadi sadar akan karakter pemerintah Arab Saudi? Atau mereka sebenarnya lebih peduli soal audit BPK AS yang menemukan bahwa AS “tanpa sengaja” menyumbang sekitar USD331 jutaan dolar dalam bentuk “Refueling Warplanes” jet-jet Saudi saat beroperasi di Yaman?
Saya belum melihat ada dasar argumentasi yang lebih kokoh dari tindakan Senat AS untuk mengkritik Koalisi Arab dalam perang di Yaman. Intervensi Koalisi Arab di Yaman terjadi bukan karena tindakan sepihak, melainkan lebih utama karena AS semasa pemerintahan Barack Obama mengizinkan hal itu terjadi.
Keraguan yang sama juga dialamatkan kepada Turki yang saat ini tengah menekan keluarga Kerajaan Arab Saudi. Presiden Erdogan sedikit demi sedikit mengeluarkan bukti-bukti pembunuhan Kashoggi ke dunia.
Turki juga dulu adalah salah satu negara yang mendukung keterlibatan Koalisi Arab dalam mengintervensi konflik internal di Yaman. Beberapa hari setelah intervensi militer tersebut, pemerintah Turki di bawah Presiden Erdogan menyatakan simpati mereka terhadap perang tersebut.
Secara khusus, Kementerian Luar Negeri Turki pada Maret 2015 mengatakan dalam pernyataan persnya bahwa “…Kami mendukung diluncurkannya operasi militer oleh koalisi (Arab) di kawasan, dipimpin oleh negara-negara Gulf Cooperation Council melawan gerakan Houthi sesuai permintaan dari Presiden Hadi yang dipilih secara sah, di mana Arab Saudi sejak dini telah menginformasikan Turki (hal tersebut).” Pernyataan itu menegaskan bahwa Arab Saudi telah minta permisi kepada Turki sebelum penyerangan di Yaman terjadi.
Saya lebih melihat bahwa peristiwa politik yang berlangsung ini hanyalah proses “balance and rebalance” dalam konteks keseimbangan kekuatan regional di Timur Tengah. Paul Salem dari Middle East Institute mengatakan bahwa konflik di Timur Tengah berporos pada tiga konflik.
Konflik-konflik itu adalah konflik antara Iran dan negara tetangganya, konflik antar negara-negara penganut paham Suni dan terakhir konflik antara Israel-Palestina. Konflik-konflik itu telah berstruktur secara laten dan akan menjelma menjadi peristiwa politik mulai dari pengisolasian sebuah negara seperti yang terjadi kepada Qatar hingga penyerangan militer seperti di Yaman.
Posisi negara antara satu dengan yang lain akan berubah sesuai dengan konteks yang dihadapinya masing-masing. Ini yang saya sebut sementara ini sebagai politik mencari keseimbangan alias “balance dan rebalance”.
Kita ambil contoh dukungan Turki kepada Arab Saudi dan negara-negara yang tergabung di Koalisi Arab untuk menyerang Yaman adalah upaya untuk memperbaiki hubungan Turki-Arab Saudi yang retak pada 2013. Saat itu Turki mengutuk Arab Saudi karena mendukung kudeta yang dilakukan oleh Militer Mesir terhadap pemerintahan Mohammed Morsi pada 2013. Morsi adalah presiden terpilih dari kelompok Moslem Brotherhood yang akar pemikiran dan ideologinya sama dengan Partai Keadilan pimpinan Erdogan di Turki.
Saat ini Erdogan mundur atau minimal mengendurkan dukungan kepada Koalisi Arab Saudi atas perang di Yaman karena kerja sama dengan Rusia dan Iran dalam menyelesaikan konflik di Suriah. Iran selama ini dianggap sebagai pihak yang membantu kelompok Huti dalam melawan mantan presiden salah yang didukung Koalisi Arab Saudi.
Perubahan sikap Turki terjadi karena ia merasa ditinggalkan oleh AS dan negara-negara Eropa ketika kelompok-kelompok perlawanan yang dibiayai selama ini untuk memberontak terhadap pemerintah Suriah tidak memberikan harapan kemenangan.AS di bawah Presiden Donald Trump dan sebagian dari negara-negara Eropa yang dulu gencar memberikan bantuan terhadap kelompok perlawanan di Suriah kini tidak lagi memberikan bantuan yang maksimal.
Hal ini menjadi penyebab Turki kemudian beralih posisi untuk bekerja sama dengan Rusia dan Iran untuk mengurangi kemenangan kelompok-kelompok di Suriah, terutama kelompok dari Kurdi yang berencana untuk mendirikan negara Federasi di sepanjang wilayah perbatasan Turki-Iran dan Irak.
Erdogan dalam pernyataannya di pertemuan G-20 di Argentina mengatakan: “Solusi politik yang inklusif kelihatannya menjadi jalan satu-satunya mencapai perdamaian yang abadi dan stabil. Kami mendukung upaya-upaya PBB untuk menstimulasi proses negosiasi. Dalam konteks ini, kami berharap bahwa proses dapat dimulai dengan mempertemukan segala pihak yang sudah absen bertatap muka dalam lebih dua tahun ini di Swedia demi membawa perdamaian di Yaman dalam waktu sesingkat-singkatnya”.
Kita mungkin sudah terlalu sering mendengar dan mungkin menjadi jenuh dengan apa yang terjadi di Timur Tengah. Jenuh karena tidak ada jalan keluar yang dapat dicapai oleh berbagai pihak untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah.
Meski demikian, dengan alasan kemanusiaan karena mengingat banyak kelompok masyarakat yang tidak bersalah seperti anak-anak, perempuan, orang tua, dan kelompok lain menjadi korban, maka kita tidak boleh menyerah untuk terus mencari jalan keluar.
Sikap balance dan rebalance ini akan terus berulang. Ketidakpercayaan di antara sesama negara Arab selama ini adalah “mesin” yang terus-menerus menciptakan konflik di Timur Tengah.
Mesin itu akan terus bekerja dan menghasilkan konflik ketika bertemu dengan konteks yang dapat mengeluarkan sifat “evil” (jahat) dari mesin tersebut. Pembunuhan Jamal Kashoggi adalah konteks yang membuat rasa ketidakpercayaan Turki terhadap Arab Saudi berbuah menjadi seruan untuk mengisolasi Arab Saudi.
Konflik internal di Yaman adalah konteks yang membuat ketidakpercayaan dengan Iran berbuah jadi peperangan yang mengakibatkan korban anak-anak yang tidak berdosa.
Dibutuhkan waktu yang panjang untuk dapat menemukan dasar untuk membangun saling percaya di antara negara-negara Timur Tengah. Namun demikian, kita dapat mencegah agar tidak terjadi konteks yang dapat mendorong ketidakpercayaan di antara negara-negara Timur Tengah ini berkembang menjadi konflik regional yang luas.
Hal ini dapat secara maksimal dilakukan bila lembaga perdamaian dunia seperti PBB atau lembaga lain bisa berfungsi secara efektif. Indonesia bisa menyumbang dengan gagasan dan tindakan untuk membuat lembaga-lembaga itu efektif sehingga secara tidak langsung juga dapat mencegah konflik di Timur Tengah berkembang.
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
DUA pekan lalu, Senat Amerika Serikat (AS) dari kubu Republikan dan kubu Demokrat mengadakan voting untuk meninjau dukungan AS terhadap perang di Yaman. Hasilnya, para Senator memutuskan bahwa AS harus menarik dukungan dari Koalisi Arab yang dipimpin oleh Arab Saudi.
Keputusan ini memperkuat tekanan terhadap Arab Saudi pascapembunuhan Jamal Kashoggi pada November 2018. Saya sendiri masih ragu sejauh mana keputusan ini akan mengurangi bencana kemanusiaan yang terjadi di Yaman di mana rata-rata 130 anak mati setiap hari menurut Lembaga Save The Children.
Saya ragu karena para senator itu juga yang dulu membiarkan AS mendukung Koalisi Arab menyerang Yaman dengan menggunakan amunisi dan senjata canggih dari AS. Apakah hanya karena terbunuhnya Kashoggi di Turki, para senator tersebut menjadi sadar akan karakter pemerintah Arab Saudi? Atau mereka sebenarnya lebih peduli soal audit BPK AS yang menemukan bahwa AS “tanpa sengaja” menyumbang sekitar USD331 jutaan dolar dalam bentuk “Refueling Warplanes” jet-jet Saudi saat beroperasi di Yaman?
Saya belum melihat ada dasar argumentasi yang lebih kokoh dari tindakan Senat AS untuk mengkritik Koalisi Arab dalam perang di Yaman. Intervensi Koalisi Arab di Yaman terjadi bukan karena tindakan sepihak, melainkan lebih utama karena AS semasa pemerintahan Barack Obama mengizinkan hal itu terjadi.
Keraguan yang sama juga dialamatkan kepada Turki yang saat ini tengah menekan keluarga Kerajaan Arab Saudi. Presiden Erdogan sedikit demi sedikit mengeluarkan bukti-bukti pembunuhan Kashoggi ke dunia.
Turki juga dulu adalah salah satu negara yang mendukung keterlibatan Koalisi Arab dalam mengintervensi konflik internal di Yaman. Beberapa hari setelah intervensi militer tersebut, pemerintah Turki di bawah Presiden Erdogan menyatakan simpati mereka terhadap perang tersebut.
Secara khusus, Kementerian Luar Negeri Turki pada Maret 2015 mengatakan dalam pernyataan persnya bahwa “…Kami mendukung diluncurkannya operasi militer oleh koalisi (Arab) di kawasan, dipimpin oleh negara-negara Gulf Cooperation Council melawan gerakan Houthi sesuai permintaan dari Presiden Hadi yang dipilih secara sah, di mana Arab Saudi sejak dini telah menginformasikan Turki (hal tersebut).” Pernyataan itu menegaskan bahwa Arab Saudi telah minta permisi kepada Turki sebelum penyerangan di Yaman terjadi.
Saya lebih melihat bahwa peristiwa politik yang berlangsung ini hanyalah proses “balance and rebalance” dalam konteks keseimbangan kekuatan regional di Timur Tengah. Paul Salem dari Middle East Institute mengatakan bahwa konflik di Timur Tengah berporos pada tiga konflik.
Konflik-konflik itu adalah konflik antara Iran dan negara tetangganya, konflik antar negara-negara penganut paham Suni dan terakhir konflik antara Israel-Palestina. Konflik-konflik itu telah berstruktur secara laten dan akan menjelma menjadi peristiwa politik mulai dari pengisolasian sebuah negara seperti yang terjadi kepada Qatar hingga penyerangan militer seperti di Yaman.
Posisi negara antara satu dengan yang lain akan berubah sesuai dengan konteks yang dihadapinya masing-masing. Ini yang saya sebut sementara ini sebagai politik mencari keseimbangan alias “balance dan rebalance”.
Kita ambil contoh dukungan Turki kepada Arab Saudi dan negara-negara yang tergabung di Koalisi Arab untuk menyerang Yaman adalah upaya untuk memperbaiki hubungan Turki-Arab Saudi yang retak pada 2013. Saat itu Turki mengutuk Arab Saudi karena mendukung kudeta yang dilakukan oleh Militer Mesir terhadap pemerintahan Mohammed Morsi pada 2013. Morsi adalah presiden terpilih dari kelompok Moslem Brotherhood yang akar pemikiran dan ideologinya sama dengan Partai Keadilan pimpinan Erdogan di Turki.
Saat ini Erdogan mundur atau minimal mengendurkan dukungan kepada Koalisi Arab Saudi atas perang di Yaman karena kerja sama dengan Rusia dan Iran dalam menyelesaikan konflik di Suriah. Iran selama ini dianggap sebagai pihak yang membantu kelompok Huti dalam melawan mantan presiden salah yang didukung Koalisi Arab Saudi.
Perubahan sikap Turki terjadi karena ia merasa ditinggalkan oleh AS dan negara-negara Eropa ketika kelompok-kelompok perlawanan yang dibiayai selama ini untuk memberontak terhadap pemerintah Suriah tidak memberikan harapan kemenangan.AS di bawah Presiden Donald Trump dan sebagian dari negara-negara Eropa yang dulu gencar memberikan bantuan terhadap kelompok perlawanan di Suriah kini tidak lagi memberikan bantuan yang maksimal.
Hal ini menjadi penyebab Turki kemudian beralih posisi untuk bekerja sama dengan Rusia dan Iran untuk mengurangi kemenangan kelompok-kelompok di Suriah, terutama kelompok dari Kurdi yang berencana untuk mendirikan negara Federasi di sepanjang wilayah perbatasan Turki-Iran dan Irak.
Erdogan dalam pernyataannya di pertemuan G-20 di Argentina mengatakan: “Solusi politik yang inklusif kelihatannya menjadi jalan satu-satunya mencapai perdamaian yang abadi dan stabil. Kami mendukung upaya-upaya PBB untuk menstimulasi proses negosiasi. Dalam konteks ini, kami berharap bahwa proses dapat dimulai dengan mempertemukan segala pihak yang sudah absen bertatap muka dalam lebih dua tahun ini di Swedia demi membawa perdamaian di Yaman dalam waktu sesingkat-singkatnya”.
Kita mungkin sudah terlalu sering mendengar dan mungkin menjadi jenuh dengan apa yang terjadi di Timur Tengah. Jenuh karena tidak ada jalan keluar yang dapat dicapai oleh berbagai pihak untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah.
Meski demikian, dengan alasan kemanusiaan karena mengingat banyak kelompok masyarakat yang tidak bersalah seperti anak-anak, perempuan, orang tua, dan kelompok lain menjadi korban, maka kita tidak boleh menyerah untuk terus mencari jalan keluar.
Sikap balance dan rebalance ini akan terus berulang. Ketidakpercayaan di antara sesama negara Arab selama ini adalah “mesin” yang terus-menerus menciptakan konflik di Timur Tengah.
Mesin itu akan terus bekerja dan menghasilkan konflik ketika bertemu dengan konteks yang dapat mengeluarkan sifat “evil” (jahat) dari mesin tersebut. Pembunuhan Jamal Kashoggi adalah konteks yang membuat rasa ketidakpercayaan Turki terhadap Arab Saudi berbuah menjadi seruan untuk mengisolasi Arab Saudi.
Konflik internal di Yaman adalah konteks yang membuat ketidakpercayaan dengan Iran berbuah jadi peperangan yang mengakibatkan korban anak-anak yang tidak berdosa.
Dibutuhkan waktu yang panjang untuk dapat menemukan dasar untuk membangun saling percaya di antara negara-negara Timur Tengah. Namun demikian, kita dapat mencegah agar tidak terjadi konteks yang dapat mendorong ketidakpercayaan di antara negara-negara Timur Tengah ini berkembang menjadi konflik regional yang luas.
Hal ini dapat secara maksimal dilakukan bila lembaga perdamaian dunia seperti PBB atau lembaga lain bisa berfungsi secara efektif. Indonesia bisa menyumbang dengan gagasan dan tindakan untuk membuat lembaga-lembaga itu efektif sehingga secara tidak langsung juga dapat mencegah konflik di Timur Tengah berkembang.
(poe)