Menyoal Kemitraan Pengemudi dengan Penyedia Jasa Aplikasi Daring

Selasa, 18 Desember 2018 - 06:37 WIB
Menyoal Kemitraan Pengemudi dengan Penyedia Jasa Aplikasi Daring
Menyoal Kemitraan Pengemudi dengan Penyedia Jasa Aplikasi Daring
A A A
Husni Arifin

Bekerja di perusahaan digital dan meminati isu bisnis rintisan

UNJUK RASA para pengemudi transportasi daring masih acap kali terjadi. Perselisihan antara pengemudi dengan penyediaplatformseolah tak akan pernah berakhir. Meski pemerintah sudah ikut turun tangan dengan menetapkan peraturan khusus, nyatanya ketidakpuasan masih saja ada pada sebagian pengemudi. Unjuk rasa dan mogoknarikjadi cara untuk mereka mencoba menekan pihak perusahaan penyediaplatform sekaligus mendapatkan simpati publik.

Namun yang terjadi, tiap kali unjuk rasa digelar, kemacetan lalu lintas pun terjadi. Masyarakat justru merasa terhambat aktivitasnya dan menjadi antipati dengan upaya para pengemudi itu. Lebih dari itu, terlihat pula pihak penyediaplatformseolah tak begitu peduli dengan unjuk rasa mitra pengemudinya. Mereka tak takut dengan mogok narik para pengemudi. Jika demikian terjadi, bisa dibilang gagal total usaha para pengemudi mendapatkan apa yang mereka sebut sebagai “keadilan”.

Kemitraan antara kedua pihak yang selama ini dilakukan sepertinya akan terus dalam bayang-bayang ketidakpuasan pihak pengemudi. Terlepas apakah sudah adil atau belum hasil kemitraan bagi mereka, posisi para pengemudi memang lebih lemah. Mari kita cermati bersama, semoga pihak para pengemudi menyadarinya.

Pertama, hubungan kerja di antara kedua pihak sebenarnya sudah dari awal “tak seiring sejalan”. Siapa saja yang paham model bisnisstartupdigital, pasti paham cara kerja bisnis ini. Data pengguna aplikasilah yang sebenarnya diincar penyediaplatform. Pendapatan dari sewa ojek atau taksi hanyalah pendapatan sampingan. Bahkan, mungkin bisa dibilang recehan. Seperti juga pendapatan darifeepenjualan die-commerce atau feedi transaksifintech, bahkan hal sama terjadi di media sosial.

Perusahaan penyediaplatformtransportasionlinejelas berbedabangetdengan perusahaan transportasi konvensional. Pada perusahaan taksi konvensional, pendapatan sewa dari penumpang benar-benar pendapatan utama. Tujuan para pengemudi dan perusahaan tempatnya bekerja sama, yaitu mendapatkan sewa dari penumpang sebanyaknya. Jika tak memenuhi target, kedua pihak sama-sama rugi. Jika biaya operasional naik, pemilik perusahaan membutuhkan kenaikan harga tarif, pengemudi juga perlu hal sama agar setoran atau target terpenuhi. Mereka “seiring sejalan”.

Kedua,ternyata tak semua pengemudi taksi atau ojek daring memahami model bisnis yang dijalankan penyediaplatform. Karena itu, mereka tak paham jika ternyata “tidak seiring sejalan”. Dari berkali-kali berbicara dengan sejumlah pengemudi daring, mereka tak bisa membedakan bisnis penyediaplatformtransportasi daring dengan perusahaan transportasi konvensional.

Tidak aneh, kemudian sebagian dari mereka masih berpikir jika mogok narik akan bisa menekan pihak penyediaplatform. Mereka menganggap pendapatan utama penyedia platform adalah dari biaya sewa yang dibayarkan penumpang. Jadi, anggapan mereka, jika tarif dinaikkan, seharusnya penyediaplatformjuga akan senang. Namun, mengapa justru tarif masih saja ditahan di bawah, tak dinaikkan, bahkan bonus kepada penumpang terus diberikan.

Para pengemudi itu tak paham, justru jika sewa tetap murah dan banyak bonus, akan menguntungkan penyediaplatform. Tarif murah akan menjadi daya tarik bagi konsumen, baik pengguna baru maupun lama. Pendapatan dari tarif yang dibayarkan penumpang sekali lagi hanya recehan dan bukan sumber dana utama untuk pengembangan bisnis.

Sumber dana utama penyediaplatformadalah dari para investornya. Ada banyak investor yang beberapa di antaranya bahkan sampai kasih guyuran hingga belasan triliun rupiah. Wow! Potensi bisnis dari kepemilikan data pengguna aplikasi yang dimiliki penyedia platformlah yang membuat para investor tak segan mengguyurkan dana besar.

Tentu ini berkebalikan dengan harapan dan bayangan para pengemudi. Mereka butuh kenaikan tarif karena akan bisa menaikkan pendapatan. Keliling-keliling kota seharian bawa penumpang, bahkan ada yang mulai dari pagi hingga mau pagi lagi, pendapatan mestinya juga sepadan. Apalagi dari pendapatanngojekitu, mereka juga harus bayar cicilan motor atau mobil LCGC yang dipakai narik. Belum lagi kebutuhan keluarga yang tentu tak sedikit. Inilah mengapa kita bisa sebut mereka bermitra namun sebenarnya “ tak seiring sejalan”.

Ketiga, belum ada regulasi yang mengatur model hubungan kerja dengan latar belakang model bisnis yangbeginian. Keberadaan perusahaan rintisan sudah sejak beberapa tahun lalu. Begitu juga dengan kemunculan bisnis transportasi daring yang kini sudah merambah ratusan kota, termasuk ke kota-kota kecil dan akan terus meluas. Puluhan kali unjuk rasa para pengemudi juga sudah terjadi, belum lagi perselisihan antarpengemudi ojek/taksi daring dengan pengemudi konvensional.

Soal regulasi yang pas untuk mengatur bisnis transportasi digital juga terjadi kebingungan di pemerintah sendiri. Siapa sesungguhnya yang benar-benar paling tepat menanganinya, apakah Kementerian Perhubungan atau Kementerian Komunikasi dan Informatika? Jika kita masih ingat, di awal-awal kemunculan polemik atas keberadaan transportasi daring, pihak penyediaplatformjelas mengatakan mereka bukan perusahaan transportasi. Mereka perusahaan digital.

Hubungan antara mereka hanya kemitraan. Pengemudi tidak terikat jam kerja dan bahkan tidak pula dikenakan target setoran. Jelas berbeda dengan sopir angkot atau taksi model lawas. Mobil atau motor juga bukan milik penyediaplatform. Model atau tipe mobil atau motor juga terserah pengemudinya. Namun jelas, aturan main dalam kemitraan ini dibuat sesimpel mungkin sehingga bisa menghindarkan penyedia platform menjadi perusahaan transportasi.

Transparansi Model Bisnis

Lalu, apa solusi atas persoalan yang ada? Karena jelas posisi para pengemudi itu jauh di bawah penyediaplatform, maka sepantasnya mereka tak ditekan lebih dalam lagi. Pihak penyediaplatformsepantasnya mengalah untuk memberikan penjelasan mengenai bisnis mereka, pastikan setiap pengemudi memahaminya.

Jadikan materi pemahaman bisnis ini menjadi bagian dari syarat dan ketentuan untuk kemitraan yang mereka jalin. Jika mereka belum paham, tak bisa dijadikan mitra. Dengan saling memahami posisi masing-masing, maka model kerja sama yang berbentuk kemitraan itu akan menjadi lebih kuat. Masing-masing pihak menjadi saling memahami dan menyepakati konsekuensinya.

Apa boleh buat, teknologi digital memungkinkan suatu model bisnis karena para penyediaplatformbisa menjadi perusahaan digital yang hanya memiliki hubungan minimal dengan pihak pengguna platform. Pola hubungan kerja seperti ini berarti mengubah pola hubungan kerja yang selama ini ada dalam hubungan industrial, antara perusahaan dengan para karyawan atau buruhnya. Apakah Kementerian Tenaga Kerja sudah mengantisipasinya?

Akan lebih elok jika klaim para penyedia platform bahwa mereka telah menyediakan lapangan kerja bagi jutaan penduduk negeri ini juga disertai dengan transparansi kepada para mitra pengemudinya. Dengan demikian, tidak ada kecurigaan bahwa penyediaplatformsengaja memanfaatkan ketidakpahaman para mitra pengemudinya untuk mengeksploitasi mereka. Jika transparansi sudah mereka lakukan, terserah kepada para pengemudi apakah akan mengambil kesempatan kerja yang mereka ciptakan atau tidak.

Teknologi digital sepertinya memang mendorong setiap orang untuk bisa tidak terlalu terikat satu sama lain, meski mereka menjadi semakin mudah terhubung. Produsen tak perlu lagi terikat dengan distributor untuk bisa menjual produknya. Petani tak perlu lagi terikat dengan para tengkulak. Penyedia jasa juga tak perlu terikat dengan agen untuk mendapatkan pelanggan. Pengemudi pun tak perlu lagi terikat dengan perusahaan angkutan untuk mendapatkan orderan penumpang.

Pada akhirnya, seiring dengan terus berkembangnya ekonomi digital di negeri ini, edukasi kepada masyarakat luas perlu dilakukan. Oleh siapa saja yang memiliki pengetahuan, sumber daya, serta kepedulian untuk menyiapkan masyarakat memasuki era ekonomi digital. Sepertinya pemerintah kewalahan dalam hal ini atau memang sengaja lebih mementingkan pihak penyediaplatformyang bisa mendatangkan investasi miliaran dolar.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5380 seconds (0.1#10.140)