Polemik Hak Pilih Difabel Mental

Selasa, 18 Desember 2018 - 05:03 WIB
Polemik Hak Pilih Difabel...
Polemik Hak Pilih Difabel Mental
A A A
M Syafi’ie

Dosen Fakultas Hukum UII, Peneliti Sasana Inklusidan

Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) dan Pusham UII

KOMISI Pemilihan Umum (KPU) hampir pasti menolak keberatan salah satu partai dan beberapa orang yang mempertanyakan atas masuknya orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dalam daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2019. KPU menyatakan memiliki landasan kuat untuk memasukkan ODGJ dalam daftar pemilih. Namun, ada persyaratan tambahan yang harus dilengkapi ODGJ ketika mau memilih, yaitu harus memiliki surat keterangan sehat dari dokter.

Respons penulis terhadap KPU ada dua. Pertama, mengapresiasi karena lembaga ini telah menghormati hak politik dan kewarganegaraan ODGJ yang di dalam UU Nomor 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas telah dimasukkan sebagai bagian dari difabel mental.Kedua, persyaratan surat sehat dari dokter sebagai bagian pemenuhan hak pilih difabel mental perlu didiskusikan lebih jauh. Persyaratan sehat jasmani dan rohani bagi difabel sudah lama menjadi momok menakutkan, dalam praktik persyaratan ini berdampak pada diskriminasi dan penghilangan hak-hak difabel.

Terkait dengan hak pilih difabel—dalam hal ini salah satunya ODGJ—secara spesifik hak ini telah dijamin dalam undang-undang yang mengatur hak-hak difabel. Dalam Pasal 13 UU Nomor 8/2016 dinyatakan bahwa hak politik bagi difabel di antaranya adalah hak memilih dan dipilih dalam jabatan, memilih partai politik dan/atau individu yang menjadi peserta dalam pemilihan umum, berperan serta aktif dalam sistem pemilihan umum pada semua tahap dan/atau bagian penyelenggaraannya, memperoleh aksesibilitas sarana-prasarana penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/wali kota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain, serta memperoleh pendidikan politik.

Begitu pentingnya hak politik bagi difabel, maka Pasal 75 ayat (1) dan (2) UU ini memandatkan kewajiban pada pemerintah pusat dan daerah untuk menjamin agar difabel dapat berpartisipasi efektif dan penuh dalam kehidupan politik serta menjamin hak dan kesempatan difabel untuk memilih dan dipilih. Pemerintah pusat dan daerah yang dalam hal ini tanggung jawabnya dijalankan KPU dan KPUD agar memperhatikan keragaman disabilitas serta memastikan prosedur, fasilitas, dan alat bantu pemilihan bersifat layak, bisa diakses, mudah dipahami, dan bisa digunakan oleh difabel.

Norma hukum yang secara khusus juga menjamin hak pilih difabel adalah UU Nomor 19/2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas. Pasal 29 Konvensi ini menegaskan bahwa negara harus menjamin hak politik difabel dan memastikan difabel menikmatihak-hak tersebut atas dasar kesetaraan dengan orang-orang lain. Karena itu, negara wajib menjamin prosedur, fasilitas, dan materi yang memadai, dapat diakses, mudah dipahami, dan digunakan. Termasuk jaminan untuk memilih secara rahasia.

Pernah Menjadi Polemik

Hak pilih ODGJ pernah ditiadakan secara hukum pada 2015. Peniadaan struktural ini kemudian dikasuskan di Mahkamah Konstitusi (MK). Pada waktu itu, Perhimpunan Jiwa Sehat yang dipimpin Jenny Rosanna Damayanti, Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA PENCA) yang dipimpin Arini, dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang dipimpin Titi Anggraini, melakukanjudicial review Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Nomor 8/2015 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Pasal 57 ayat (3) huruf a menyatakan bahwa salah satu persyaratan warga negara Indonesia bisa didaftar sebagai pemilih adalah orang yang sedang “tidak terganggu jiwa/ingatannya”. Ketentuan ini oleh para pemohondinilai berpotensi menghilangkan hak seorang warga negara untuk terdaftar sebagai pemilih dan memberikan suaranya dalam penyelenggaraan pemilihan. Pasal ini dinilai merugikan hak konstitusional yang dijamin pada Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya dalamhukum dan pemerintahan dan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan sama di hadapan hukum.

Setelah dilakukan pemeriksaan permohonan dan alat bukti di antaranya mendengarkan keterangan saksi, mendengarkan keterangan ahli, dan keterangan para pihak, MK lewat Putusan Nomor 135/PUU-XIII/2015 menyatakan mengabulkan permohonan untuk sebagian. Pasal 57 ayat (3) huruf a dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frase “terganggu jiwa/ingatannya” tidak dimaknai sebagai “mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan permanen yang menurut bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum”

Membaca putusan MK yang kita kenal sebagai pelindung konstitusi(the guardian of constitution),pengawal, dan pelindung hak-hak konstitusional warga negara, maka kita akan mengerti bahwa ODGJ tidak bisa digeneralisasikan dan tidak semua ODGJ tidak memiliki hak pilih. Keputusan MK menyatakan pada prinsipnya ODGJ memiliki hak pilih sepanjang “gangguan jiwa atau ingatan” tidak permanen. Keputusan MK ini didasarkan pada pendapat profesional di bidang kesehatan bahwa hilangnya ingatan atau gangguan jiwa permanen bisa dimaknai juga menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum.

Merujuk pada putusan MK, maka sudah selayaknya KPU-KPUD memikirkan bagaimana cara mengidentifikasi permanen atau tidaknya seorang ODGJ dan bagaimana cara tepat memfasilitasi hak pilih difabel ODGJ. Terkait hal ini, sudah selayaknya KPU-KPUD mengajak diskusi aktivis dan pendamping difabel mental yang ada di Indonesia. Tujuan besarnya adalah menampung bagaimana cara mengenali difabel mental yang ternyata tidak tunggal, belajar bagaimana cara yang tepat berinteraksi, dan terpenting menelaah bagaimana model fasilitasi yang harus dipersiapkan para petugas pemilihan umum. Hal ini penting agar tidak terjadi diskriminasi berulang-ulang pada difabel mental yang diberikan hak pilihnya.

Pada sisi lain, analisis normatif hak pilih difabel dan tinjauan putusan MK di atas memberikan pesan agar tidak ada lagi pihak mempertanyakan hak pilih difabel ODGJ. Sama dengan manusia pada umumnya, ODGJ juga memiliki hak pilih. Lebih jauh hak ini merupakan sarana bagi komunitas difabel mental untuk memperbaiki nasib mereka dengan memilih pemimpin yang memikirkan hak-hak mereka yang tercerabut. Selama ini keberadaan mereka disingkirkan dalam pikiran dan wacana publik serta tidak pernah diperhatikan dengan serius oleh pemangku kebijakan sehingga banyak di antara mereka harus menjadi korban kekerasan di jalanan, diperkosa oleh orang-orang tidak bertanggung jawab, dan dipermainkan dalam beberapa momen kekerasan. Pertanyaannya, betulkah hak pilih akan menjawab problem dan hak-hak kaum ODGJ? Belum tentu. Tapi, hak ini adalah sarana awal pengakuan eksistensi kaum paling marginal di negeri ini.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0646 seconds (0.1#10.140)